Arsip Tag: SlideShare

Lianju Hujan Musim Gugur

Puisi John Kuan

———  bersama Meng Jiao  dan Han Yu

 

Sepuluh ribu jerit pohon bersahut,

uap seratus sungai bergumul.   – Meng Jiao

 

Pekarangan bergolak pohon renggang merapat,

jendela menjelma semata jernih dan rukun.   – Han Yu

 

Seribu dua ratus tahun dan seguyur hujan berlalu,

satu baris kuning trengguli menyusup ke kolam waktu.

Walau deras belum habis tumpah ke mulut sungai,

terbang terapung bahkan naik menusuk awan    – Meng Jiao

 

Tuntun kenangan hingga ke gunung hampa,

dengar air menggelepar lewat pasir dan batu.   – Han Yu

 

Jujur di sini hujan tanpa musim gugur, teh celup,

Edith Piaf mendayu, seekor kucing kuyup di bawah mobil.

Atap miring menitis hujan sehelai sutera putih,

pintu air meluap sungai lebar dan jernih.    – Meng Jiao

 

Liur manis genangi embun dan hujan padi wangi,

perlahan lembabkan sebatang sudamala gundul berisi.   – Han Yu

 

Daun dipetik jatuh sehelai E Minor. Langit sebuah

microwave: hangatkan beberapa ruas mimpi dan tulang rematik.

Ombang-ambing di dasar ngarai gema bertengkar,

di dalam gigil angin ringkuk dibasuh sungai.   – Meng Jiao

 

Sepoi datang mengelus di depan kelambu,

kembali tinggi hinggap di langit luar.   – Han Yu

 

Ditempias Hujan Bulan Juni: SDD, tampak mirip

Du Mu. Agak ringan, mungkin tidak suka ngebir.

Betapa sempit liang belalang gelap dan sesak,

Tonggeret dari ranting ke ranting melumur muntahan jerit.   – Meng Jiao

 

Pagar mapel dan krisan berhamburan wangi bunga baru,

anggrek di sisi setapak menyepuh kelabu senja.   – Han Yu

 

Tarik keluar sepotong sajak dari kulkas waktu. Keras dingin

: kata sendok posmo. Haagen-Daz rasa sirup mapel bisa bersaksi.

Sekeping cermin bumi pantul pagi pantul petang,

kolam gemintang ternyata apung berlari.   – Meng Jiao

 

Decak kagum hanya satu bunyi lumrah,

tertuang penuh tenggorok sebaris seruling bambu.   – Han Yu

 

Cempaka Amir Hamzah tumbuh di dalam suhu kamar.

Aduhai bunga pelipur lara/ Terlebih pula duduk di sanggul.

Artikel Terkait:

Puisi Sejoli Sunyi

Puisi Sebuah Anti Travelogue

Puisi Bukan Sebuah Anti-Travelouge

Bukan Sebuah Anti-Travelouge

Puisi John Kuan

Setetes Air Hujan

setetes air hujan juga bisa nyanyi

bisa menari di atas jamur tumbuh

bunga mekar sebatang flamboyan

ekor anjing liar, ujung lancip bulan sabit

saat mereka berbaris ketuk sekali

tap dance, riang saat kau juga sudi

mengerutkan diri, membuka selaput

agar-agar waktu, ketuk tapak kaki

menari, bawa lapisan atsmosfer kalbu

pergi bersama, telah lama kau ingin

satu perjalanan tapi tidak terbentang

pada terang dan malam, bagai sepotong

agar-agar, kenyal melompat ke jauh

ke tempat setetes air hujan, begitu

leha-leha, bagai seorang gelandangan

membawa seluruh kisahnya, lupa

dirinya, pernah adalah setetes hujan

Lewat Gubuk Rumput Du Fu

kau di dalam senja sebiji jeruk

mengapit tunas rumput, angin sepoi,

dataran luas, musim gugur segera

matang, umpama kuning kepodang

papan catur baru digambar isteri

Gubuk berjingkat, langkahi dangkal

dalam sealir sungai, dari sana waktu

pasang naik, lalu diam-diam surut

biji catur masih di tangan, sisi depan

kabut, sisi belakang sedikit debu

ikan juga arak juga, dari celah-celah

waktu disodor keluar, matahari terbenam

juga, saat begini tiada orang datang

tiada orang pergi, titian di bawah kaki awan

dijalan jadi selembar peta, tampak jauh

adalah papan catur, siapa masih di dalam

angin malam bermain, taruh dua biji

tiga biji bintang tidak kalah tidak menang

dari mana ada pasukan tentara musuh

pada hidup itu ( atau hidup ini )

kau angkat kepala adalah dataran luas

( atau pantulan dataran luas ), sejarah

juga bukan sejarah, kekacauan atau bukan

kekacauan sekejap itu, dalam hening kelam

malam kepak sayap terbang ke angkasa

Mykonos Terapung

Salju yang siuman, jatuh di punggung

atap rumah musim panas, salah sangka

adalah mimpi lupa dibawa pergi rusa

waktu itu, orang-orang terapung di tengah

angkasa, dengan gaya punggung dan

kupu-kupu berenang, melampaui

hidup lalu yang diterjang ombak

juga hidup lalu yang lalu, dari jauh

terapung datang, di luar bingkai mimpi

kampung halaman entah siapa.

penjaja ikan keliling satu teriakan

sudah pecah berderai

Seekor Rusa Hujan di Nara

Kau pelan-pelan mengunyah

Opium. Ranting zaitun.

Tiga puluh juta seketika

Hujan jatuh di telapak licin

tumbuh jadi sebatang

pohon di tengah mimpi gelap

disambung dengan benang

Esok. Tak terhitung jamur,

serangga juga burung dara

pasti akan terbang naik

putus-putus nyala-nyala

di dalam hujan

di dalam lidah api

Dan kau hanya mengunyah

dedaunan yang riang

menari sepenuh langit

jatuh ke bumi lapuk

bagai lautan termanis

tetesan air paling asin

kau hanya mengunyah

sebatang pohon hidup

dengan langkah tidak bisa

kuberi nama, berkedip mata

ah, perahu biji zaitun itu

menumpang onak mimpi

di saat warna langit

menginjak pingsan senja

luap keluar indah kilau cahaya

 

Artikel Terkait:

Sebuah Anti Travelogue

Tiga Kilasan Gaya John Kuan.