gambar diunduh dari bp.blogspot.comSetiap tahun, ratusan perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri di seluruh Indonesia mencetak sekian banyak wisudawan, sarjana-sarjana yang siap kerja dengan berbagai visi dan karakter juga watak yang bebeda. Seiring dengan semakin banyaknya tenaga lulusan perguruan tinggi justru memunculkan spekulasi-spekulasi yang baik disadari atau tidak oleh masyarakat, sering terlupakan dalam perkembanganya. Sudah cukupkah hanya dengan ijazah dengan IPK tinggi dan gelar sarjana menjadikan individu tersebut dibilang berhasil? Lantas keberhasilan yang bagaimana?
Seseorang bisa dikatakan berhasil bukan hanya dipandang dari segi berapa banyak jumlah gaji yang diperoleh dari pekerjaan, atau berapa besar kekayaanya setelah mereka bekerja, melainkan keberhasilan yang lebih mencerminkan sebuah hasil yang telah kita lakukan dari hasil kerja atau kegiatan yang berintegritas. Banyak bukti yang dapat kita lihat secara mata telanjang dan terjadi di sekeliling kita, dapat kita lihat di setiap cover surat kabar, atau pun menjadi topik perbincangan terhangat di berita elektronik ibukota, mulai dari masalah maraknya korupsi baik di badan pemerintahan tertinggi sampai rakyat jelata atau masalah-masalah di dunia pendidikan misalnya saja, adanya demo mahasiswa yang anarki bahkan berbagai berita yang membahas tindakan-tindakan tercela para pendidik yang semestinya di gugu dan tiru malah memberi bocoran soal ujian pada siswanya. Sungguh hal menghawatirkan serta memberikan dampak besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin membuktikan banyaknya pelanggaran-pelanggaran.
Integritas Generasi Muda
Salah satu penyebab dikatakan tidak berhasilnya seseorang adalah terkait telah hancurnya integritas masyarakat baik secara kolektif dan terutama personal. Perlunya kder- kader baru yakni genereasi muda yang sedari sekarang kita pupuk dan tumbuhkan dalam pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial di sistem sosial serta mampu menjadi penyatu unsur-unsur di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat
Sudah sewajibnya mulai dari sekarang generasi muda khususnya menyadari bahwa pemuda menjadi tonggak kemajuan segala bidang, yang harus mulai menumbuhkan loyalitas dan integritasnya. Sekarang bukan waktunya untuk mengutuk kegelapan atas apa yang terjadi di negara kita, lebih baik mulai dari masing-masing individu untuk menyalakan obor penerang, dengan menjadi leaderships visioner dan transformative, serta berkekuatan intelektual dan mampu menggunakan kemampuan tersebut secara bijak dan berintegritas. Begerak sesuai jalur dalam birokrasi, tidak melanggar hukum, dan menjadi pribadi anti korupsi. Yang bukan hanya memahami dan menghayati tapi jauh berimbas bila kita mau mengubah pikiran dan pandangan kita akan arti kesuksesan itu dan tentunya diimbangi dengan nilai-nilai budaya serta keagamaan dari masing-masing individu.
Nailatul Faiqoh adalah mahasiswa fakultas teknik sipil Universitas Negeri Semarang
Fenomena SEKS PRANIKAH, merupakan sebuah fenomena yang menimbulkan persoalan sekaligus merugikan kehidupan kaum perempuan. Fenomena tersebut memunculkan luka mendalam bagi perempuan, terlebih lagi juga mengganggu psikologisnya. Pemikiran saya, sebagai kaum muda untuk membantu menyembuhkan ‘luka’ akibat seks yang dilakukan oleh perempuan yang terlanjur menyerahkan kehormatannya kepada lelaki yang ternyata tidak menjadi suaminya adalah dengan memberinya motivasi, memberikan banyak dukungan dan membangunkan semangatnya kembali. Memberi dukungan adalah hal yang sangat perlu diberikan karena hal tersebut merupakan salah satu obat yang bisa menyembuhkan luka terlebih lagi secara psikologisnya perempuan itu mengalami guncangan yang dahsyat. Karena dengan semangat yang kita berikan itulah ia merasa bahwa hidupnya belum berakhir dan ia tidak akan merasa hidup sendirian di dunia ini.
Seharusnya kesalahan yang telah diperbuatnya, kita sebagai sesama kaum perempuan tidak perlu mengejeknya atau bahkan mengucilkannya. Dukungan dari semua pihak yang terdiri dari dukungan kedua orang tua, teman-teman dan lingkungan di sekitarnya sangat diperlukan. Memberikan dia motivasi juga sangat perlu dilakukan karena hal tersebut dapat membuka hati dan pikirannya karena dengan mendapat motivasi dan dukungan dari semua pihak, perempuan tersebut dapat melanjutkan hidupnya, meraih masa depannya dan berada di jalan yang semestinya ia jalani seperti perempuan yang lainnya pada umumnya.
Konsultasi antar keluarga juga diperlukan untuk mengurangi beban yang ia pikul sendiri. Peran orang tua sangat diperlukan, dengan kasih sayang dan kehangatan dari keluargalah yang dapat menghapus beban dan pikirannya. Belajar dari pengalaman yang sudah terjadi, orang tua harus dengan senang hati dan tak pernah lelah memberikan nasehat dan tidak boleh lengah dalam mengawasi anak perempuannya. Hal tersebut sangat dianjurkan untuk mencegah agar tidak jatuh pada lubang yang sama. Keluarga merupakan segalanya untuk kita karena dalam kondisi apapun kita pasti kembalinya akan keluarga kita juga.
* Penulis adalah Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang. Catatan: Opini ini terpilih sebagai opini favorit dari rekan mahasiswa tentang ‘Seks Pranikah’
Gerundelan Alra Ramadhan gambar diunduh dari bp.blogspot.comPernah terpikir olehku bahwa dunia ini akan berakhir bahagia. Bahwa kehidupan ini akan memberi akhir yang menyenangkan bagi semua manusia. Bahwa akhir kehidupan ini tak sebegitu ngeri. Bahwa dunia ini berakhir dengan penuh pengertian Yang Maha. Bukan berakhir dengan berbagai perhitungan dan hukuman-hukuman, seperti yang diceritakan kitab-kitab, guru agama, atau kyai. Di suatu senja yang memerah aku terpikir hal tersebut.
“Kau sudah sinting!”
Demikian kata salah satu teman rumah kontrakku ketika suatu hari kuceritakan apa yang terserak dalam pikiranku tersebut.
“Tidak kawan,” timpalku.
Aku diam sejenak, mendeham.
“Percayalah, kehidupan ini berakhir bahagia kelak. Dan hal yang kukatakan ini bukan pula tanpa alasan. Alasan, tepatnya dasar teori, itu begitu banyak. Semuanya bercampur, melebur, dan lantas kutarik kesimpulan sederhana bahwa kehidupan ini berakhir dengan damai.”
“Peradaban,” kataku lagi kemudian. “bukankah dapat dipandang sebagai suatu proses bagaimana manusia menunjukkan kemampuannya dalam menaklukkan alam semesta?”
Mungkin saja bila Adam tak diturunkan ke dunia ini, beliau akan tetap hidup bergantung pada Tuhan. Di surga, atau sekali waktu berjalan-jalan di sekitar neraka bila bosan atau kedinginan. Tapi Tuhan sungguh baik, kawan, Ia tetap tak mau Adam yang dibuat-Nya dengan sesempurna mungkin itu hanya bermanja-manja saja di khayangan. Maka ditakdirkan oleh Yang Maha demikian:
Makhluk yang sudah ia ciptakan sebelumnya, malaikat, salah satu di antara mereka membangkang ketika Tuhan memerintahkan bersujud kepada Adam. Keduanya beradu, Tuhan dan pembangkang tersebut.
“Aku hanya mau bersujud kepada-Mu,” kata pembangkang itu.
Tuhan pun menghukum malaikat tersebut: melemparkannya, dengan kengerian yang kau sendiri tak bisa bayangkan, ke padang tanah gersang. Lantas memburukkan rupanya, menjadi apa yang disebut iblis.
Aku menghela napas.
Ketika satu saat malaikat pembangkang tersebut hendak mencari kawan, digodalah Adam dan Hawa. Ia masuk ke taring ular dan lantas berbicara pada Adam agar memakan buah terlarang yang ada di surga. Tuhan, meskipun aku sendiri tak mengerti bagaimana Yang Maha Tahu bisa ‘kecolongan’ atas tindakan tersebut, lantas menghukum Adam dan Hawa dengan hukuman yang sama dengan apa yang didapatkan si pembangkang: turun ke dunia. Dihilangkan-Nya kemewahan surga, terbukalah aurat di antara keduanya, tapi keduanya terpisah sedemikian jauh di dunia ini.
“Inilah alasanku!!” kataku. Kawanku tetap diam.
“Usaha,” lanjutku.
Itulah usaha manusia pertama untuk yang pertama kali. Mereka berdua berjalan, berjalan, dan berjalan sedemikian jauh, untuk bertemu. Mereka berjuang agar mereka dapat berjumpa kembali dan kemudian dapat saling mengisi dan melengkapi. Tuhan masih tetap Maha Baik, mereka dipertemukan. Lalu terjadilah putra dan putri dari mereka. Dunia semakin meriah. Putra-putrinya pun disilangkan, maka semakin berkelompoklah manusia. Kemudian, terjadilah peradaban manusia. Malaikat pembangkang yang membuat istana di gua tua yang mendengar berita tersebut tak bisa menerima begitu saja keputusan Tuhan. Bagaimana mungkin ia dihukum, tanpa mendapatkan kemudahan, hanya gara-gara tak mau bersujud. Sedang Adam Hawa yang makan buah terlarang, masih diberi kemudahan. Ia menggoda Adam, juga Hawa, juga keturunan peradaban manusia tersebut.
“Hingga detik terakhir,” demikian niatnya.
Tuhan tetap Maha Baik, peradaban tersebut diizinkan tetap berusaha dan berjuang. Entah berapa abad setelah era Adam Hawa, konsepsi pertama yang dicari adalah tentang Tuhan. Sembari berburu, lalu bercocok tanam, menunggu hujan, atau pun ketika membangun keluarga dan anak turun. Segalanya dikaitkan dengan Tuhan Tertinggi: tak terkonsepkan. Tapi manusia sungguh makhluk Tuhan yang pantang menyerah. Mereka menguji seberapa tangguh mereka melawan alam semesta buatan Tuhan. Tidakkah ini bentuk pembangkangan pula, kawan?
Kawanku diam.
Dan hingga sekarang, di antara beberapa manusia telah banyak mencipta benda untuk menaklukkan keterbatasan mereka. Manusia, termasuk aku dan kau, mulai dapat mengendalikan kekuatan yang besar dan yang kecil. Aku contohkan, ribuan tahun lalu manusia memanfaatkan keberadaan hewan untuk dapat dimakan dan tetap bertahan hidup. Manusia memanfaatkan kulitnya untuk berlindung dari badai. Juga taringnya untuk berburu hewan selanjutnya, atau bila dirangkai, jadilah pemanis di leher mereka. Tetumbuhan dibabat, dijadikan tempat tinggal yang lebih hangat dari bebatuan gua. Dedaunan dapat dimasak. Bebuahan bisa menjadi cemilan ketika menunggu buruan lengah.
Dan berabad berlalu, manusia menemukan alat untuk mempersingkat jarak. Dengan telepon, jarak jauh sekali pun mereka tetap dapat saling bersapa. Atau dengan internet, berbicara, bahkan melihat foto atau pun gambar gerak dapat dilakukan dengan mudah. Manusia telah dapat memperluas kemampuan indera mereka, melebihi yang diberikan Tuhan.
Kau pikir Tuhan marah?
“Tidak kataku!!” Tuhan, bagiku, tetap Maha Baik. Berabad berlalu lagi, orang tuli kini sudah dapat mendengar suara dari yang lain dengan alat bantu yang pastilah buatan manusia. Petir, dapat ditangkal dengan sebuah kabel yang terhubung ke tanah, kekuatannya dapat dikendalikan ke arah tanah dengan itu. Motor juga mobil, menaklukkan waktu, mempersingkatnya, sayang tak memikirkan dimensi ruang. Manusia tak hanya berdiam di dunia, mereka menjelajah dunia lain, planet lain, meneliti sumber cahaya kehidupan, lain sebagainya.
“Dan bukan tidak mungkin esok, lusa, atau beberapa waktu nanti, Tuhan dapat dijelaskan dengan akal sehat yang dimiliki manusia,” kataku sembari mengepulkan asap kretekku.
“Pemikiranmu terlalu sederhana, kawan!!” katanya bersungut.
“Hmm, mungkin…”
Tapi bisa saja, suatu hari manusia dapat merumuskan bagaimana Tuhan. Bentuk-Nya, singgasana-Nya, dan lantas takjub melihat mata Tuhan. Mereka kembali menemukan yang telah berabad tak diketahui manusia: Tuhan. Aku rasa, Tuhan menakdirkan Adam dan Hawa tak bercerita tentang wujud-Nya. Karenanya berabad kemudian barulah manusia sadar akan kehadiran Yang Maha.
Dan di suatu senja yang mulai memerah inilah aku terpikir bahwa akhir dunia ini adalah bahagia: ketika, suatu saat kelak, Tuhan dapat terumuskan oleh manusia. Dan manusia yang mulanya menentang kehadiran-Nya menjadi percaya. Tak lagi ada peperangan keyakinan, tak ada lagi alasan manusia dapat menyerang agama lain karena keyakinannya lebih benar.
Saat itulah Tuhan ikut turun ke dunia, memberi penghargaan kepada manusia atas apa yang diperjuangkannya. Tuhan bertemu mereka tanpa perantara barang kabut pun—seperti ketika Musa bercengkerama di Sinai. Saat itulah, manusia mendapat bukti nyata bahwa mereka berasal dari satu sumber Yang Maha. Manusia kembali percaya pada satu Tuhan Tertinggi yang kekuasaannya sungguhlah amat dahsyat.
Kemudian dunia bosan menari……
Malang, 21 Maret 2012
Alra Ramadhan, Lahir 9 Maret 1993 di Kulon Progo, salah satu nama kabupaten di D.I. Yogyakarta.. Saat ini berkuliah di Jurusan Teknik Elektro Univ. Brawijaya, Malang.. Lebih lanjut, dipersilakan berkunjung di @alravox..
Oleh Nia Oktaviana Gambar diunduh dari bp.blogspot.comSejenak kupejamkan mata, menelan semua kepahitan hidup yang terkadang memaksa kita menitikkan air mata. Akan seperti apapun usahanya untuk menutupi dan menghentikan tetesan air mata , semua itu hanya bagian dari usaha yang akan sulit terwujud dalam menghentikan sebuah tangisan. Hati nurani memang tak pernah berkata dusta tentang perasaan seseorang terhadap sebuah kesedihan, kebahagiaan, kerinduan, kekecewaan, kekaguman atau bahkan kasih sayang yang bisa menjadi alasan demi menetesnya air mata.
Menangis itu indah saat kita bisa berbagi sebuah tangisan bersama orang yang kita sayangi.
Menangis itu menyedihkan ketika orang yang kita tangisi tak pernah mempedulikan kita.
Menangis itu istimewa saat setiap tetesan air mata jatuh di tangan seseorang yang kita sayangi sedang menggenggam tangan kita.
Menangis itu mengharukan saat selembar kertas berisikan tentang puisi kerinduan terhadap orang yang telah tiada terbasahi oleh tetesan air mata.
Menangis adalah kerinduan saat seorang kekasih terpaku di hadapanmu lalu mengusap air matamu.
Menangis itu menyakitkan saat kita merasa iba memandangi seseorang yang kita sayangi terbaring sakit tak berdaya.
Menangis itu kekecewaan saat perasaan tulus kita kepada seseorang hanya dipandang sebelah mata
Menangis itu kagum saat kita melihat seorang sahabat yang berhasil meraih impian besarnya.
Menangislah untuk sebuah kebahagiaan dan kesedihan yang telah mewarnai sepanjang kisah hidupmu.
Bicaralah pada Tuhan Yang Maha Mendengar untuk segala keluh kesahmu di setiap malam yang tak seorang pun bisa mendengar setiap tangisanmu.
Hadapkan dirimu pada Tuhan Yang Maha Melihat atas ketidakberdayaanmu terhadap dunia dan orang-orang yang berlaku tidak adil terhadapmu.
Menangislah selepas kau bisa, agar setiap beban hidup tidak tersimpan dan membusuk terlalu lama dalam hatimu.
Karena dibalik sebuah tangisan selalu tersimpan banyak makna di dalamnya.
Terkadang Tuhan pertemukan dua orang untuk saling jatuh cinta
tetapi tidak untuk saling memiliki.
gambar diunduh dari bp_blogspot.comDia memakai kemeja hitam dan jeans hitam. Senang sekali bisa bersamanya di luar jam kuliah. Meskipun kami tidak hanya berdua. Ada Ferdi, Ilma dan Ares. Kami berada di cafeteria kampus. Entah keberapa kalinya aku kembali satu kelompok dengan Dee. Seperti biasa, dia sangat dingin dan tidak bersahabat. Padahal ini bukan pertamakalinya kami ada di kelompok yang sama.
“Ini, Ree … Hasil penelitian dari Kampung Leles. Udah aku susun semuanya,” kata Ilma sambil menyerahkan flashdisk-nya. Sementara Dee, Ares dan Ferdi sibuk dengan kegiatan mereka serta obrolannya.
“Hei, siapa yang belum ngasihin tugasnya ke Ilma?!” tanyaku sinis kepada mereka bertiga setelah meneliti data-data dalam flashdisk Ilma.
“Ares udah loh, Ree. Iya kan, Il?” tanya Ares meminta pembelaan Ilma. Ilma mengangguk.
“Aku udah !!” jawab Ferdi sambil mengangkat tangannya, seperti ditodong polisi.
Aku menatap Dee. Meskipun aku menyukainya bukan berarti dia bebas dari tugasnya.
“Sepertinya cuma aku aja yang belum. Maaf ya Ree, sini biar aku aja yang beresin” ucap Dee sambil menggaruk-garuk kepalanya. Aku mencibir. Tidak biasanya dia seperti ini.
“Berarti tinggal buat BAB I dan BAB III-nya” ucapku.
“Kata Pengantar, Daftar Isi dan Daftar Pustaka” tambah Ilma. Aku mengacungi jempol ke arahnya.
Tidak lama kemudian kami semua sibuk dalam pembuatan BAB I dan BAB III. Aku, Dee dan Ferdi membuat BAB I sementara Ilma dan Ares menyelesaikan BAB III.
“Aduh .. kok pusing gini ya” ucapku setelah sepuluh menit berlalu tanpa mengetik apapun.
“Santei aja, Ree” sahut Ferdi tanpa menoleh ke arahku.
Tidak lama kemudian, Dee tiba-tiba kembali mengeluarkan suara emasnya. “Di, ini ..” katanya sambil menyerahkan BB-Touch miliknya pada Ferdi.
“Apaan?” Ferdi bingung.
“Kita foto-foto dulu biar ga ruwet” jawabnya.
Eh? Sejak kapan Dee jadi peduli dengan sekitarnya?.
“Fotoin aku sama Ares, Di …” kata Ilma antusias. Teman-teman sekelasku memang seperti ini, selalu eksis depan kamera. Aku tidak menghiraukan mereka, aku melanjutkan tugasku.
“Ferdi, fotoin sama Ree” kata Dee.
“Eh?” aku melongo ke arah Dee. Dee tidak sakit kan?. Dee acuh dan sudah siap dengan gaya cool-nya.
“Gaya dong Ree” kata Ferdi. Aku cepat-cepat mengubah ekspresi kaget dengan tersenyum depan kamera. Dan jadilah fotoku dan Dee yang sedang tersenyum.
Senja itu diakhiri dengan selesainya tugas penelitian Sistem Sosial Budaya Indonesia yang harus segera di kumpulkan sebelum UAS berlangsung. Oh, Tuhan … ! Ini luar biasa, aku berfoto bersama Dee ! Aku menjadikannya wallpaper di handphone-ku. Rasanya lucu sekali. Ini benar-benar diluar dugaan. Terimakasih, Dee …
***
Siang ini dia berjaket tebal. Jaket tebal berwarna merah dengan jeans biru dan sepatu kets coklat. Siang ini mendung, dan angin bertiup kencang. Mungkin itu sebabnya dia berpakaian layaknya orang eskimo. Aku memandangnya, sesekali tertunduk agar mataku dan mata sayunya tidak beradu pandang. Hari ini UAS Penulisan Berita, dan itu adalah alasan mengapa aku dan dia ada di tempat yang sama.
Hembusan angin memainkan rambut disekitar keningnya. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat rambut belakangnya sedikit berantakan. Kemudian berjalan menuju kumpulan anak-anak kelas.
Aku duduk bersandar menghadapkan badanku agar selaras dengan tempatnya duduk sekarang. Dia lebih menawan ketika tersenyum dan tertawa. Melihatnya seperti ini rasanya cukup. Ya, cukup untuk mengobati kerinduan tentangnya. Meskipun rasa yang semakin mengendap ke dasar nurani ini butuh jawab.
“Dee, sini …” teriak Syila, kemudian Dee menghampirinya. Syila langsung menarik tangan Dee. Dan … jepret .. jepret …
Kamera Canon EOS 550D itu merekam frame mereka. Syila menggandeng tangan Dee ! Aah, Tuhan .. mengapa harus merasa sulit seperti ini. Aku hanya memalingkan wajah, berusaha fokus pada UAS yang akan berlangsung.
Dee memang dingin. Jadi dia hanya tersenyum tipis ketika berfoto. Tangannya melipat tepat diatas perutnya. Dan .. yah … tangan Syila mencari celah untuk bisa bergantung diantara tangan Dee.
“Arial, Rena, Tio, Refa, Lila” panggil dosen, namaku ada diantaranya. Aku bergegas memasuki ruangan ujian. Meninggalkan Dee yang masih berfoto dengan Syila. Aku berharap bisa berdampingan dengannya di ruang ujian ini.
Dua menit berlalu dan sejauh ini ujian lisanku lancar. Berita yang ku buat hanya -1. Tinggal mengubah Lead-nya saja. Kemudian Dee masuk bersama beberapa orang selanjutnya. Aku masih mengotak-atik Lead yang sudah di salin dua kali di kertas yang sama. Aku terus mengamatinya. Ingin lebih lama di ruangan ini. Aku sudah selesai dengan tugasku. Tapi dia belum juga mendapat giliran untuk mempertanggung jawabkan beritanya. Aku penasaran, apakah skill-nya sebanding dengan permainannya di lapangan ?
Aah, tapi ini terlalu lama! Aku sudah selesai sementara nama Dee belum juga dipanggil oleh dosen. Beberapa temanku yang masuk bersama telah keluar sejak tadi.
“Kamu belum selesai?” tanya Dosen melirik ke arahku.
“Oh, iya Pak … udah ..” jawabku tidak bisa menyela, dengan berat hati harus meninggalkan ruangan ini. Aah, Dee … aku duluan .. Aku melihatnya sekilas kemudian meninggalkannya di ruang ujian.
***
Terbaring di bangsal berwarna putih ini memang menyebalkan. Bagaimana lagi, seminggu dua kali harus Hemodialisis . Pada akhirnya aku memang akan mati, namun ini adalah usaha agar hidupku di dunia ini tidak terlampau sia-sia.
“Sendirian aja, dek? Mana pacarnya?” tanya perawat cantik itu, dengan sigap dia mempersiapkan alat-alatnya. Aku hanya tersenyum. Pacar? Ah, aku ingat pada Dee …
“Gimana kuliahnya?” tanya Miss Dinda, dokter muda yang menangani ku sejak pertamakali melakukan Hemodialisis. Aku lebih senang memanggilnya Miss. Usianya sekitar 25 tahun.
“Lancar Miss … Kemarin baru selesai UAS Penulisan Berita” jawabku sumringah, dengan hati-hati Miss Dinda memasukkan jarum yang diikuti selang untuk mengalirkan darah di tubuhku ke Dializer .
“Hasilnya? Baguskan?” tanyanya lagi.
“Belum tahu, Miss … tapi aku optimis …” jawabku mantap.
“Nah, seharusnya semua mahasiswa itu seperti kamu Ree .. Ga gampang nyerah, lagi sakit juga tetep ambisi pengen IP 4” ucap Miss Dinda sambil tersenyum penuh makna.
Aku hanya tersenyum mendengar gurauannya. Dokter muda nan cantik ini memang memesona. Dan aku nyaman berada di dekatnya.
Hemodialisis berlangsung selama tiga jam. Dan itu membuatku sangat bosan, sebenarnya. Rasanya sudah tidak sakit lagi, tidak … sakit sebenarnya tapi tubuhku sudah mulai terbiasa. Jadi, tidak masalah. Aku membuat beberapa catatan kecil tentang Dee …
Aku jatuh cinta, Dee ..
Entah cinta seperti apa yang hadir di pelupuk mataku
Definisi itu begitu teoritis dan empiris jika dijabarkan
Maka aku tak dapat ungkapkan seperti apa
Aku jatuh cinta, Dee …
Rasa itu menyelinap dan mencari celah untuk dapat bernafas
Bukan, tetapi mencari kehidupan ditempat yang telah tandus
Perlahan namun semakin menjalar
Jatuh cinta memang indah. Tapi aku merasa tertatih ketika mencintaimu, Dee. Mungkin karena rasa ini hanya aku yang miliki, bukan kita. Minggu ini terakhir kita bertemu, sebelum UAS resmi dari fakultas minggu depan. Aah, Dee aku tidak yakin akan bertahan sampai liburan semester depan. Aku masih berharap dapat melihat senyum menawan milikmu di semester depan.
***
Hari ini Dee sangat rapi dan tetap menawan. Kemeja coklat dengan jeans biru, sepatu kets coklat dan tas punggung hitamnya membuat dia tampak makin cool. “Dee, selamat pagi …” sapaan itu hanya mampu berbisik dalam hati. Dia duduk di ujung barisan kedua dekat jendela, itu tempat favoritnya. Aku lebih sering melihatnya memilih kursi disana. Tapi duduk disana memang menyenangkan. Aku pernah mencobanya. Penarasan karena dia selalu duduk di tempat itu. Kursi itu memang strategis, saat bosan dengan ceramah-ceramah dosen, kamu bisa berpaling ke luar dan melihat langit biru serta taman kecil samping kelas yang jarang dilalui orang. Dee, makhluk seperti apa dirimu?
“Basket ikut ya Ree ..” ucap Syila sambil menepuk bahuku. Aku tersenyum ke arahnya.
“Siaap !!” berusaha agar nada suaraku terkesan meyakinkan. Hei, apa aku kuat? Aah, pasti bisa.
“Ayoo, sini dulu … Briefing sama coach” ajak Syila. Dan para pemain basket wanita yang hanya berjumlah 10 orang ini segera mengerubuninya. Dee. Dee didampingi Ares menyusun strategi. Kami akan bertanding dengan anak-anak Public Relations. Pertandingan persahabatan memang, tapi kami tetap ingin menang.
Aku ikut mengerubuni Dee. Dee salah satu pemain terbaik jurusan kami di cabang basketball. Tidak heran lagi jurusan kami selalu memboyong piala setinggi 1 meter, tahun ini pun demikian.
Tiba-tiba aku tersadar. Oh Tuhan, aku ada di dekat Dee … sangat dekat! Aku menatap wajahnya di jarak sedekat ini. Dia sibuk berceloteh kepada yang lain. Aku lebih fokus menatapnya, bukan memperhatikan strateginya.
“Ree, kamu jadi pertahanan disini ya …” ucap Dee, menatap ke arahku kemudian menunjuk ke gambar yang dibuatnya. Pandangan kita beradu ! Ohh, Tuhan …
“Ahh, iya Dee ..” ujarku dan aku segera mengalihkan pandangan. Tidak ingin dia tahu aku menatapnya sejak tadi.
“Sukses ya semuanya !” ucap Dee sambil beralu setelah menyampaikan arahannya.
“Jangan kupa dateng ya Dee…” pinta Syila, merajuk.
Dee hanya mengangguk dan pergi. Dee, sampai jumpa di lapangan … ucapku yang hanya sampai ditenggorokan saja.
“Eh, Ree …” Dee tiba-tiba memanggilku ! Oh, Tuhan … Aku menoleh ke arahnya. “Nanti sms aku ya jadwal UAS yang lainnya”
Aku menatapnya datar “I-i-ya …” speechless ! Aku hanya menjawab sekenanya.
“Makasih ya. Aku duluan Ree …” Dia pamit dan berlalu begitu saja.
Aku tersenyum geli. Ini pertama kalinya Dee memintaku seperti itu. Dan ini pertama kalinya aku berbincang dengannya diluar tugas kuliah. Dee …
“Speechless ni yee …” goda Nadia yang ternyata memperhatikanku sejak tadi.
“Keliatan ya?” tanyaku cengengesan.
“Bego ..” katanya sambil menimpuk kepalaku. Kami cengengesan. Hari ini benar-benar indah.
***
Pertandingan dimulai. Dee tidak juga muncul di lapangan. Kemana dia? Aku bermain seperti yang Dee katakan ketika breifing. Tapi aku sama sekali tidak bersemangat.
“Ree, jaga nomor 4” teriak Fany. Aku sekuat tenaga berlari untuk menghalangi si nomor 4 ini, berusaha merebut bolanya. Aku berhasil merebut bola membawanya ke wilayah lawan. Tapi … tiba-tiba pandanganku kabur. Semua yang ada dihadapanku terasa berputar. Aku ambruk.
“Ree …!!” teriakan mereka membawaku dalam dunia yang lebih gelap.
***
Karbol. Obat. Sayur bening tanpa rasa. Bau yang tidak asing lagi. Jarum infus terpasang ditangan kananku. Selang oksigen masih berbelit diantara hidung dan mulut bagian atas. Aku tidak mengira lima menit berada di lapangan itu bisa demikian parahnya. Padahal aku merasa sehat. Aku tidak ingat lagi setelah kegelapan menyelimutiku waktu itu. Aku benci hal ini, mengapa harus ada penyakit kutukan ini? Semuanya terasa amat terbatas.
Mungkin saja petahanan tubuh ini makin melemah. Ini sudah bulan ke enam. Sejak awal semester melakukan Hemodialisis. Tanganku tidak lagi semulus gadis lain, setiap tempat penuh dengan bekas tusukan jarum. Aku hanya tersenyum, lagi pula waktuku tidak akan cukup untuk mencapai kehidupan indah bernama pernikahan. Bahkan rasa yang mengendap itu masih saja merengek meminta jawab. Tapi aku terlalu takut. Takut bila Dee tidak akan pernah membalasnya. Jadi, akan lebih baik jika rasa itu tenggelam lebih dalam lagi. Agar perlahan menghilang di kegelapan.
***
Hari ini UAS terakhir sebelum libur panjang. UAS Filsafat. Aku mempersiapkan dengan matang karena tidak begitu paham dengan mata kuliah yang satu ini. Ujian lisan lagi. Aku sampai di tempat ujian. Dee sudah disana bersama beberapa teman sekelas. Dia duduk di anak tangga ke empat dari bawah menuju lantai 4. Aku melihatnya sekilas, dia sedang membaca catatannya.
Hei, Dee … sudah menghapal? Kamu siap? Aku berlalu, mencari tempat yang lebih sunyi untuk me-review hapalanku.
Ujian dimulai. Enam orang pertama masuk. Sepuluh menit kemudian satu persatu mereka keluar. Aku segera masuk karena ingin ujian cepat berakhir. Ruangan itu mendadak seperti tempat eksekusi narapidana hukuman mati. Kami duduk sembarang, ada enam orang dalam ruangan dengan empat kursi yang saling berhadapan.
Aku melihat Dee masuk ruangan setelah salah seorang di ruangan ini selesai. Dee duduk disampingku ! Bukan, maksudku satu kursi dari sampingku. Jadi ada kursi kosong diantara kami. Sekarang giliranku untuk menjawab soal-soal dari dosen. Aku menjawab sebisaku. Dan cukup.
“Silahkan keluar …” kata dosen setelah menandatangani kartu ujianku. Aah, padahal aku ingin lihat Dee … Ingin memberinya support.
Semoga berhasil, Dee … Aku melihat ke arahnya. Dan sosoknya menghilang dari pandanganku begitu aku keluar dari ruangan itu.
***
Aku berjalan di sekitar koridor. Memandang taman yang nampak indah. Transpalasi ginjal tidak berjalan baik. Ya, aku akan segera mati. Ginjal yang sudah digantikan ini tidak mau berfungsi. Aku akan segera meninggalkan keindahan dunia. Cepat atau lambat.
Pandanganku teralihkan. Ada sosok yang ku kenal diatas kursi roda yang di dampingi suster itu. Dia duduk diatas kursi roda dengan mata tertutup perban. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Aku segera mendekat ke tempatnya.
“Dee?” tanyaku, kemudian dia mengarahkan kepalanya ke sumber suara.
“Oh, kamu temannya?” tanya suster itu. Aku mengangguk. “Baiklah, tolong temani dia jalan-jalan ya .. Saya masih harus mendatangi pasien lain, tidak apa-apakan?”
“Ya, suster … jangan sungkan ..” jawabku. Dan suster itu beranjak meninggalkan kami yang masih terdiam.
“Maaf, siapa ya?” tanya Dee setelah suster itu pergi. Aku mendorong kursi rodanya perlahan. Membawanya ke dekat jendela.
“Pemain Basketball yang pingsan saat lima menit pertamanya …” jawabku singkat.
“Aah, Ree?” tanyanya lagi. “Kenapa ada disini?”
“Entahlah, hehe … Aku sedang demam, jadi datang kesini ..” Aku berbohong pada Dee.
“Memangnya di Bandung tidak ada rumah sakit ya?”tanya Dee tertawa renyah. Sikapnya lebih bersahabat.
“Memangnya di Depok tidak ada rumah sakit?” aku balik bertanya, membalas tawanya.
“Bodoh … Depok lebih dekat ke Jakarta” jawabnya singkat, lengkungan manis itu menghiasi wajahnya yang pucat.
Sungguh, ditengah keputusasaan ini dia datang sebagai oase kehidupan. Tuhan, terimakasih masih memberiku kesempatan untuk melihatnya.
***
Liburan di rumah sakit tidak begitu buruk. Apalagi ada Dee disini. Ketika berjalan menuju kamar Dee, aku melihat dr. Joe keluar dari kamar yang sama. Tanpa basa-basi aku langsung bertanya padanya.
“Dokter, bisakah beri tahu aku tentang kondisi Dee?” tanyaku ketika berpapasan dengan dr. Joe di koridor menuju ruangan Dee.
“Kamu?” dr. Joe mengerutkan keningnya menatapku heran.
“Saya Ree temannya Dee, pasien dr. Dinda. ” jawabku singkat.
“Oh, baiklah … kita bicara di ruangan saya saja” ajaknya, aku mengekor dibelakang dr. Joe.
Sampai di ruangannya, dr. Joe langsung menjelaskan kondisi Dee saat ini.
“Setahun yang lalu Dee pernah kecelakaan yang menyebabkan matanya rusak dan sempat mengalami kebutaan selama beberapa bulan, namun bisa pulih kembali walaupun tidak seperti keadaan semula. Dan seminggu yang lalu matanya terkena hantaman keras dari bola sepak. Saya ragu dia akan bisa melihat kembali.”
“Apakah artinya … dia akan buta permanen?” tanyaku ragu-ragu.
“Itu kemungkinan terburuknya. Tapi saya belum berani mengatakan itu pada Dee. Kondisi psikologis sangat buruk.”
“Tidak adakah donor mata baginya?”
“Saya sedang berusaha mencari pendonor bagi matanya. Sulit sekali menemukan pendonor mata terutama di Indonesia”
“Bisakah dokter melakukan tes pada mataku?” pintaku tanpa ragu. dr. Joe mengangguk tanpa bertanya apapun lagi.
***
Sebelum masuk ruang Hemodialisis, aku berkunjung ke ruangan Dee. Sekedar menyapa dan menghiburnya. Aku rasa dia kesepian tanpa teman di tempat berbau karbol ini. Ya, sama sepertiku. Tanpa ayah dan ibu. Ayah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kerja terutama sejak Ibu meninggal. Katanya rumah selalu mengingatkan pada Ibu. Aku paham dan tidak lagi memintanya untuk pulang. Bahkan ketika keadaanku sedang sekarat, aku tidak pernah mengatakan hal ini pada Ayah. Entahlah, aku menghela nafas sebelum masuk ke ruangannya. Aku masuk tanpa mengetuk.
“Selamat pagi, Dee …” sapaku, ruangan Dee sama seperti ruanganku. Tidak ada yang menunggu disana.
“Ree? Kamu masih disini?” tanyanya heran.
“Iya, hehe. Aku masih harus menginap disini Dee …”
“Kamu sakit apa?” tanyanya antusias.
“Demam Dee … entahlah aku tidak begitu tahu tentang hal-hal medis …” jawabku sambil mengambil kursi dan duduk di samping bangasalnya.
“Semoga cepat sembuh ya … ” ucapnya sambil tersenyum, perban di matanya masih belum dilepas. Ini bagus, dia tidak akan melihatku dalam keadaan yang mengenaskan.
“Kamu sendiri, kenapa terdampar disini?” tanyaku iseng.
“Aku … mataku kena hantaman bola, Ree … Konyol kan?” jawabnya sambil menyeringai.
“Oh, Kok bisa ya … Ga elit banget sih Dee… Haha”
“Begitulah …” Dee hanya tersenyum kemudian terdiam cukup lama setelah itu dia berkata pelan “Aku takut Ree … Takut jika aku tidak dapat menikmati keindahan dunia ini melalui mataku lagi”
Aku tahu kekhawatiran itu Dee, aku tahu ketakutan yang sedang menyelimutimu. Aku yang akan menghilangkan ketakutanmu. Aku janji, Dee …
Aku hanya menepuk bahunya “Tenang saja Dee …” bisikku dalam hati.
***
“Miss, aku akan segera mati kan?” tanyaku di ruangan Hemodialisis. Miss Dinda tidak seperti biasanya. Dia nampak panik.
“Kamu harus tetap optimis” jawab Miss Dinda tanpa menatap wajahku. Sikap Miss Dinda tidak biasa.
Aku menarik lengan Miss Dinda. “Jelaskan padaku yang sebenarnya”
Miss Dinda menghela nafas panjang “Baiklah, Ree … Sebenarnya tubuhmu sudah menolak proses Hemodialisis ini. Keadaanmu akan semakin memburuk.” jawab Miss Dinda, matanya agak berembun.
“Berapa lama lagi aku bisa bertahan?” aku tahu, Izrail pasti sedang mengintaiku sekarang.
“Tidak lama lagi, Ree …” jawab Miss Dinda sambil memelukku yang terbaring di bangsal. Mataku ikut berembun, tiba-tiba dadaku menjadi sesak. Tapi aku tetap tersenyum. Tidak ingin membuat Miss Dinda lebih sedih.
“Aku punya permintaan terakhir, Miss …” ucapku sambil menatapnya. Miss Dinda mengusap pipinya kemudian mendengarkanku dengan seksama.
***
“Terimakasih, Suster …” ucapku setelah dia mengantarku ke kamar Dee. Tenagaku tidak cukup kuat untuk mendorong kursi roda ini. Suster itu tersenyum kemudian pamit meninggalkanku di depan bangsal Dee.
“Selamat pagi, Dee …” sapaku berusaha agar suaraku terdengar ceria. Dee sedang mendengarkan musik di Ipod-nya.
“Ree?” tanyanya seperti tidak yakin.
“Iya, ini aku ..” jawabku agak lemas.
“Kamu tidak seperti biasanya. Masih sakit?”
“Iya … Tapi sebentar lagi juga pulang” jawabku singkat. Mataku mulai memanas. Keadaanku makin memburuk, Dee … batinku.
Dee tersenyum kemudian menyerahkan sebelah earphone-nya kepadaku “Coba dengarkan lagu ini …”
Aku menancapkan earphone itu dan potongan lagu mulai terdengar I wish upon tonight … To see you smile … If only for awhile to know you’re there … A breath away not far … To where you are .
“Wow …” aku agak terkejut kemudian tersenyum manis sambil terus mendengarkan.
“Kenapa?” tanya Dee, padahal suaraku pelan.
“Aku juga suka lagu ini” jawabku dan terus menikmati lagu ini.
Aku menghela nafas kemudian memandang Dee. Hei, Dee .. sekalipun aku dalam kesunyian, aku masih bisa mendengar suaramu. Karena ingin melihatmu setiap hari maka aku bertahan dan terus berjuang. Menikmati tiap detik seperti saat ini sungguh menyenangkan bagiku. Ku rasa, jika Tuhan memintaku kembali pada-Nya maka aku akan pulang dengan tersenyum. Setidaknya aku tidak akan gentayangan seperti arwah-arwah yang mati penasaran. Aku akan pergi dengan tenang jika kamu dalam keadaan baik, Dee.
***
Suster membantuku naik ke bangsal. Dengan susah payah dan tenaga yang ku punya, aku mengangkat tubuhku yang makin kurus dan kering. Sesungguhnya, keadaan seperti ini sangat menyiksa. Tapi aku masih ingin bertahan. Masih ingin melihat senyummu, Dee.
“Bagaimana harimu? Menyenangkan?” Miss Dinda mengembalikanku ke alam sadar.
“Menyenangkan” jawabku singkat sambil tersenyum ke arah Miss Dinda. “Bagaimana?”
“Hasilnya cocok, kamu tidak perlu cemas” jawabnya sambil menggenggam erat tanganku. Karena beberapa hari ini aku tidak bisa bertemu dr. Joe maka Miss Dinda membantuku dengan menemui dr. Joe secara langsung.
“Bisakah kau memelukku, Miss?” aku merasakan kehangatan seorang ibu dalam diri Miss Dinda. Miss Dinda langsung memelukku, dia menangis sesegukkan. “Terimakasih, Miss… Terimakasih” bisikku membuat tangisnya makin menjadi.
***
Dua bulan kemudian …
“Terimakasih, Dokter …” ucap Dee sebelum meninggalkan rumah sakit. Hampir empat bulan dia berada di rumah sakit ini.
“Berterimakasihlah pada Dokter Dinda, dia yang menemukan pendonor untukmu” jawab dr. Joe.
Dee bingung dibuatnya. “Siapa dr. Dinda?”
“Dia adalah dokter penyakit dalam, dia yang lebih tahu tentang pendonor itu” dr. Joe menjawab dengan bijak, walaupun sebenarnya dia tahu tentang pendonor mata Dee.
Dee merasa dia harus tahu tentang pendonor matanya. Walaupun Dee tidak yakin pendonor matanya masih bernafas seperti dirinya. Dee bergegas menemui dr. Dinda, dia ingin tahu tentang pendonor matanya. dr. Dinda ada di ruangannya. Seolah mengerti tanpa banyak bertanya, dr. Dinda menyerahkan secarik kertas dan sebuah buku diary berwarna biru pada Dee.
Jantungnya berdebar kencang, tangannya gemetar. Kertas putih itu dia buka perlahan. Lipatan demi lipatan dia buka. Matanya terpaku pada paragraf pertama dari surat itu …
Hei, Dee … Apa kabar? Senang bisa menyapamu seperti ini. Cinta memang gila ya, atau mungkin aku yang sudah gila? Entahlah bagiku tidak penting. Yang terpenting kamu bisa kembali hidup dan menikmati kehidupan.
Aku bahagia bisa memberikan kehidupan bagi orang yang masih memiliki banyak waktu. Aura kehidupanku makin meredup dari hari ke hari. Aku tahu, karena ada segerombolan orang berbaju putih melambai-lambai ke arahku bahkan mengulurkan tangannya padaku. Waktu hidupku tidak banyak lagi. Terimaksih, Dee … telah hadir di kehidupanku yang singkat. Aku pikir aku akan mati dalam kesunyian dan kegelapan. Tapi berkat kamu, akhir hidupku menjadi indah.
Maaf, Dee … menjadi pendonor matamu secara diam-diam. Bahkan ketika sekarat pun aku ingin memberikan kehidupan bagimu. Hiduplah dengan bahagia, agar aku tidak menyesal mendonorkan mata ini untuk kehidupanmu … Dee, I love you …
Salam,
Ree
Ada rasa sesak dan penyesalan dalam hatinya. Dia terlambat menyadari tentang perasaannya pada Ree. Dee memejamkan matanya yang mulai berair dan menarik nafas dalam-dalam. Sayup-sayup Dee mendengar lantunan lagu milik Josh Groban … That you are mine. Forever love. And you are watching over me from up above ..
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati, Bandung
gambar diunduh dari lil4ngel5ing_files_wordpress_com1# Manahku Menggema
Dalam riak air danau itu
Dalam harum mekar merah di taman
Dalam hatiku merasa
Dalam sukma kosong yang hampa
Kala meraung menjerit
Tapi kini kau
Memenuhi ether yang ada
Akasa dalam diri
Citta manahku menjejakimu
Menggaung dan menggema
Memukau
Indriaku tersenyum
Mengikat aku untukmu
2# Isakku Menggelut Malam
Daun-daun berguguran
Menemaniku dalam malam-malam yang berlapis
Suara jangkrik mengitariku
Kabut malam selalu menyelimuti bhatinku
Aku seorang diri
Menggigil di balik daun pintu yang melambai-lambai
Ternyata deru hatiku terhanyut
Tanpa menyesatkan diri dipikiranmu
3# Membusuk di Pantai Candidasa
Belaian udaramu, merapikan barisan rambutku yang pirang
Desir ombakmu serasa menghapus luka sukmaku
Mencium bibirmu serasa kau menarik pengkhianatan itu
Bercumbu dalam keindahanmu
Pantai Candidasa..
Ku tulis perih hatiku dalam lembaranmu
Sakit yang menusuk-nusukku
Dengan mematahkan sayap-sayapku
Dan ranting-ranting tubuhku
Aku menjelaskan padamu
Tapi segera kau menghapus lukaku dengan kesucianmu nan jernih
Melenyapkan duka
Pantai Candidasa
Mendesir desir
Getaran tanganmu mengusap tangisanku
Keperihan dan luka bhatinku
Dapatkah aku berjalan?
Di mana jalan terang yang harus ku pijaki?
Cerita Nia Oktaviana
Editor Ragil Koentjorodjati Gambar diunduh dari bp.blogspot.comLangkahku terhalang oleh kabut tebal yang bergelantungan di udara, hujan mengguyur di tempat aku berdiri. Gemuruh petir bersambut pada sore hari yang kelam oleh langit yang bertumpuk kegelapan. Aku berdiri selama beberapa detik ternyata waktu tak segera tiba. Kemudian kusabarkan diri menunggu hingga beberapa menit namun juga tidak hadir yang kuharapkan. Hingga akhirnya aku bosan menunggu. Tak tahu kapan hujan akan setia menghentikan langkah kakiku yang pilu. Kupandangi air hujan yang menetes membasahi bumi ini. Banyak yang berkeluh akan kedatangannya.
Ketika aku mulai terlarut dalam dinginnya sore itu, kudapati diriku termenung dalam hujan.
Semakin lama aku terdiam semakin banyak pula orang beramaian merapat mendekatiku dan duduk di sampingku. Namun mereka semua sibuk dengan keluh kesahnya kepada hujan. Dan tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku dan mencoba mengisi kekosongan hatiku yang membeku karena hujan dan segenap udara yang mendinginkan suasana waktu.
Aku duduk bersama deretan teman-teman yang tak cukup aku kenal namun di antara kami masih menggunakan atribut yang sama yaitu seragam sekolah. Untungnya hujan berbaik hati menahanku untuk pulang ke rumah di posisi saat aku masih berada di sekolah, jadi aku sedikit lega dan tidak merasa asing di tempat itu.
Sejenak aku berpikir, mengapa aku harus menangisi hujan yang sebenarnya adalah anugerah dari Tuhan? Mengapa aku tidak menyambut hujan dengan penuh cinta? Mengapa aku harus berpikir bahwa hujan telah mengganggu hidupku?
Semua pertanyaan itu terjawab ketika aku mencoba mengamati orang-orang di sekelilingku.
Sepasang kekasih saling berpegangan tangan dengan penuh cinta dalam dinginnya hujan. Mereka justru memberi kasih sayang yang lebih saat hujan tiba. Mereka lebih saling melindungi saat kemungkinan hujan akan membuat salah satu dari mereka sakit. “Tetaplah disini bersamaku karena hujan masih saja deras dan aku takut kau sakit karenanya,” itulah perkataan yang kudengar dari mulut si lelaki muda itu ketika mencoba menahan kekasihnya ingin bergegas pulang ke rumah.
Hujan telah membuat mereka menghabiskan waktu lebih lama dalam suasana penuh cinta.
Kualihkan pandangan ke sudut lain yang lebih menggugah hatiku. Kucermati, lelaki tua yang biasa disebut seorang ayah sedang menjemput salah satu dari temanku yang sedang terjebak di dalam sekolah karena hujan yang membuat dia takut melangkah lebih jauh dari posisi dia berpijak. Bapak tua itu mengenakan jaket tebal tanpa jas hujan, sedang menunggu putrinya berjalan menghimpit mencari celah agar tidak terkena hujan. Ketika putrinya datang, tampak raut bapak tua yang tadinya cemas sedikit pudar ketika melihat putrinya berjalan cepat menghampirinya. Tanpa banyak waktu terbuang, segera bapak tua itu mengenakan ponco ke tubuh putrinya dengan penuh kasih. Lagi-lagi hujan telah meluluhkan hati seorang ayah untuk berusaha melindungi putrinya dari hujan.
Tak lama kemudian, mereka menghilang dari pandanganku. Mobil sedan silver melaju pelan memasuki sekolah kami. Oh ternyata itu mobil temanku yang terkenal akan kekayaannya yang cukup mengagumkan itu. Maklum dia putra seorang konglomerat negeri ini. Kemudian mobil berhenti tepat di hadapanku. Seorang sopir yang gagah keluar dari mobil sambil memekarkan payungnya dan satu payung lagi tergenggam erat di tangannya . Dia sedang mencari anak dari majikannya yang sangat dia hormati. Sopir itu menghampiri temanku dengan penuh rasa hormat memberikan payung lalu menuntunnya masuk ke dalam mobil mewah itu. Sungguh, untuk kali ke tiga hujan telah membuat siapa pun bersikap lebih baik dan penuh kasih dari biasanya.
Tidak lama setelah itu, aku sedikit tergugah dari kesendirianku oleh canda tawa beberapa teman dan sahabat-sahabatnya. Mereka berlarian saling berkejaran dalam suka dan kegembiraan. Mereka tidak menghiraukan basah yang memusatkan banyak perhatian orang-orang terhadap mereka. Tawa manis mereka menari di atas genangan air hujan. Mereka pikir karena hari itu hari sabtu, jadi mereka tak peduli jika mereka harus basah kuyub. Hanya tawa yang aku dengar dari mulut mereka. Mereka mencoba mengajakku bergabung, namun aku menolak dengan senyuman. Hujan telah menghangatkan persahabatan mereka.
Kuhela nafas cukup panjang, senyum simpul membekas di bibirku lalu kupikirkan tentang apa yang kulihat dan kurasakan di sekelilingku. Aku melihat, merasakan, dan mendengar semua larut dalam cinta karena hujan. Sejak saat itulah semua fakta telah mengubah cara berpikirku tentang hujan yang banyak orang keluhkan namun sangat berarti banyak cinta jika kita mampu memahami hikmah di dalam hujan. Kupandangi jam tanganku, mengagetkan. Ternyata sudah jam 5 sore namun tak ada yang bisa kulakukan selain memandangi mereka yang menarik perhatianku. Lalu kulanjutkan menikmati hujan bersama kata-kata yang membisu di bibir namun berteriak dalam hati tentang keindahan hujan .
Sesaat setelah itu, kurasakan kehadiran sosok lelaki yang mungkin sedang aku rindukan. Jejak kakinya terdengar jelas di telingaku. Bau parfumnya, aku sangat hafal. Ternyata dia kekasihku. Seharian itu aku tidak melihatnya. Namun tiba-tiba kehadirannya mengagetkanku di sore itu. Sambil memberikan teh hangat kepadaku, dia berkata,” Maaf ya telah membuat harimu sedikit kosong. Aku baru saja menyelesaikan semua tugasku yang sempat aku tunda. Akan kubalas kekosongan harimu dengan menghabiskan waktu bersama hujan denganmu. Aku akan menunggumu sampai hujan reda lalu mengantarkanmu pulang. Tenanglah dan minumlah teh ini untuk menghangatkanmu”.
Yang kurasakan adalah rasa syukur yang tak ternilai ketikan dia mengucapkan beberapa patah kata untuk menghiburku. Dan cinta yang aku sebut-sebut dalam hujan saat itu telah menghampiriku lewat lelaki yang aku cintai dengan penuh cinta dan kasih bersedia bersamaku saat hujan walaupun hanya sebentar. Kehadirannya membawa warna-warni cinta saat hujan turun.
Kini aku sadar, melebihi manusia yang tersadar dari tidur panjangnya, bahwa aku bersyukur Tuhan dengan penuh kasih menurunkan hujan supaya manusia tidak merasa kekeringan. Air hujan yang menetes terus-menerus itu tanda bahwa kasih sayang Tuhan terhadap manusia tak pernah putus.
Kupandangi hujan, lalu kutemukan banyak cinta di dalamnya. Tidak hanya yang dialami orang lain, tapi hujan memang jelas tergambar bersama cinta . Hujan telah mengajarkan banyak hal padaku tentang warna-warni cinta.
Cerita KauMuda Bangkit G. Saputra
Editor Ragil Koentjorodjati Ilustrasi dari blogspot.comDenting bel berbunyi nyaring, semua siswa serentak masuk ke dalam kelas. Rani seorang siswa cantik yang merupakan bidadari terindah di kelas atau bahkan di sekolah merasa bosan karena setiap melirik ke samping kanan belakang tempat duduknya pria itu selalu menatapnya dengan senyuman. Tak pernah berubah dari hari ke hari.
Pria itu bernama Dochi. Seorang siswa yang sama sekali tidak menunjukkan aura ketampanan. Sangat kurang memperhatikan penampilan. Dia selalu membawa buku ke mana-mana, dengan mengenakan kacamata tebal menjadi ciri khasnya sehari-hari. Bagi Rani tak ada yang menarik dalam diri Dochi. Memang tak pantas jika membayangkan Dochi bersanding dengan Rani. Membayangkannya saja sudah tidak pantas, namun itulah yang selalu menghiasi benak Dochi. Perasaan yang tak dapat ia hindari, walau sesungguhnya ia ingin menghindarinya.
Pelajaran berhitung menjadi kegemaran Dochi sejak kecil, sangat mengasyikan jika melihat angka-angka itu bertaburan di pikirannya. Namun akhir-akhir ini berbeda, dia menjadi seorang penyamun yang gemar menulis kata-kata indah. Bidadari itulah yang menjadi objek inspirasinya. Dia tak berharap untuk mengatakan dan menyatakan perasaannya, sebab Dochi sudah nyaman dengan menjadi seorang pecinta di belakang layar. Begitu banyak syair dan puisinya tersusun rapi. Berjuta kata teruntai dengan indah, hanya teruntuk bidadari hatinya itu. Namun hingga kini keberanian itu belum menghampiri. Cintanya terpendam rapat bersama karya-karya indahnya.
Pagi itu kelas di awali dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa dianjurkan satu persatu untuk maju ke depan kelas dan membacakan puisi karya sendiri. Kali ini tiba giliran Dochi, tak sulit untuknya. Tentu, karena dia punya begitu banyak puisi. Tinggal pilih salah satu yang terbaik saja. Dia membacakan puisi karyanya yang berjudul “Syair Separuh Malam”. Dochi membawakan dengan penuh penghayatan dan menunjukkan ekspresi yang begitu dalam. Tak sengaja hati Rani bergetar, entah kenapa dia merasa hidup dan memiliki peran dalam syair itu. Mata Dochi sempat memandangnya namun tak lama dia mengalihkannya. Namun cukup jelas bagi Rani, puisi itu tercipta untuknya.
Saat istirahat makan siang Rani sengaja menghampiri Dochi.
“Puisi kamu bagus, aku tak pernah menyangka dalam diri kamu bersemayam seorang seniman kata-kata,” puji Rani tersenyum manis.
Dochi merasa kaget, senang, dan tak pernah terpikirkan bahwa seorang Rani akan menghampirinya untuk memuji puisinya. Puisi yang memang bisa tercipta begitu dalam karena sosok yang ada di depannya saat ini.
“Oh.. i.. iya.. terima kasih Ran, puisi kamu juga bagus,” sambung Dochi. “Aku membuat puisi itu untuk…”
Belum habis Dochi berkata Rani sudah dipanggil oleh temannya. Rani pun berlalu tanpa tahu apa yang ingin Dochi katakan. Dochi memandangi Rani penuh cinta, setiap langkahnya tak luput dari pandangan Dochi. Seakan tak pernah hiraukan kenyataan, perasaan itu semakin besar dan berkembang. “Biarkan ini kunikmati, walau hanya mimpi. Kau akan tetap di hati,” ucap Dochi dalam hati.
Malam itu hujan deras sekali. Angin berhembus tak karuan semakin membuat hati tak tenang. Dochi yang tinggal hanya dengan ibunya merasa was-was. Terang saja dia merasa begitu, karena kondisi rumahnya yang memprihatinkan. Sebuah gubuk dari bambu yang sudah reot. Redup, karena hanya ada lilin kecil sebagai satu-satunya penerangan. Tidak masalah untuk Dochi karena dia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Dia dan ibunya sudah bersyukur masih bisa makan sehari-hari. Hujan semakin deras dengan diselingi halilintar yang mulai memekikkan. Sembari belajar dia memperhatikan sekitar. Bagian yang bocor sudah ditadah dengan ember. Namun dia melihat dinding bambunya bergoyang. “Tuhan, lindungi aku dan ibuku. Kami lemah tanpamu. Engkau maha pengatur segalanya dan maha berkehendak,” doa Dochi.
Dochi semakin tak tenang untuk belajar. Angin kencang dan derasnya hujan begitu gaduh. Dia menutup buku dan menghampiri ibunya di kamar. Saat membuka pintu dia terkejut, ibunya tergeletak lemah di lantainya yang berupa tanah. Sontak Dochi segera membopong ibunya ke tempat tidur.
“Ibu.. ibu kenapa? Bangun ibu..,” ujar Dochi panik.
Ibunya tak bergerak, semakin membuat Dochi khawatir. Mata Dochi berair, ibu Dochi memang sudah lama sakit. Penyakit asmanya tak kunjung sembuh. Karena hanya diobati seadanya, perekonomian keluarganya sejak dulu tak bisa berbicara banyak. Kali ini tak pernah terbayangkan Dochi. Dadanya semakin sesak, ia mengambil minyak angin. Dioleskan di jari lalu dia dekatkan dengan hidung ibunya. Dochi berharap ibunya hanya pingsan dan akan segera sadar. Beberapa saat setelah itu ibu Dochi bergerak. Matanya perlahan terbuka. Dochi merasa begitu lega.
“Ibu.. bangun ibu.. Dochi takut. Ibu tidak apa-apa kan?” ucap Dochi sesenggukan. Ibunya tersenyum kecil, lalu berbicara dengan terbata.
“Dochi, ibu tak apa. Terima kasih..”
Dochi memeluk erat ibunya, air matanya mengucur deras. Dia begitu takut jikalau ibunya pergi.
“Dochi.. kamu baik-baik ya, Ibu sudah tak kuat. Hapus air mata kamu. Senyum kamu bahagia ibu,” bisik Ibu lirih.
“Tidak ibu.. Ibu pasti kuat, Dochi ingin sama-sama dengan Ibu. Dochi belum bahagiakan ibu. Dochi ingin..”
Mata ibu terpejam perlahan, tubuhnya melemah.
“Ibu.. Ibu… bangun ibu.. Ibu….” Dochi berusaha membangunkan ibunya. Upayanya tak berhasil, takdir sudah tertulis, ibu Dochi telah pergi. Satu-satunya orang tercinta yang Dochi miliki. Kasih sayang terbesar yang dia dapatkan selama ini. Ingin sekali ia membalasnya dengan mewujudkan mimpi dan cita-citanya.
Hingga kini Dochi tak pernah berhenti untuk tekun dan gigih dalam belajar. Semua dilakukan semata karena ingin menggapai mulianya keinginan Dochi. Membuat ibunya hidup berkecukupan dan bahagia. Kini semua berlalu, dia harus menghadapi hidup ini sebatang kara. Ibunya pergi dengan senyuman bangga, seakan berbisik “Aku bahagia nak, kau permata terindahku. Jangan putus asa, gapai inginmu. Ibu selalu di sisimu, setiap saat dan setiap waktu.”
Esok hari di kelas, seorang siswa memberitakan bahwa ibu Dochi telah meninggal dunia. Sejenak terasa hening, seisi kelas menunduk dan mendoakan beliau. Rani merasa iba, dia seakan merasakan kepahitan Dochi. Teman Dochi bercerita padanya bahwa Dochi sejak kecil hidup hanya dengan Ibunya. Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Itulah yang membuat Dochi giat dalam belajar. Menjadi kurang pergaulan karena saking fokusnya pada bidang akademik. Dia berkeyakinan bahwa jika ingin hidup sukses harus jadi orang pintar.
Sepulang sekolah Rani mengunjungi rumah Dochi. Teman-temannya tidak ikut karena saat itu hujan begitu deras, sedangkan rumah Dochi terletak di pelosok desa. Namun Rani tak menghiraukan itu. Dia sudah bertekad ingin mengunjungi Dochi. Dengan petunjuk salah satu teman sekelasnya, akhirnya Rani sampai di rumah Dochi. Pintu diketuknya berulang kali, namun tak ada jawaban. Tak sengaja pintu terdorong olehnya. Rumah ini terlihat sangat sepi, berdebu, dan begitu sederhana karena tak ada perabot semacam kursi tamu, meja, dan sejenisnya. Dilihatnya dalam bilik kamar sesosok pemuda sedang duduk menunduk tak bergerak. Didekatinya perlahan, semakin dekat ia menuju sosok itu.
“Dochi..,” panggil Rani sembari menyentuh pundaknya. Dochi menengok, matanya sembab, berkantung karena kurang tidur. Rani memandanginya begitu iba. Dochi tak berkata apapun. Pandangannya kosong lalu menunduk kembali dan memandangi ranjang ibunya.
Rani mengerti apa yang dirasakan Dochi. Sewajarnya begitu, karena kepergian ibunya adalah sebuah pukulan yang begitu berat untuk seorang Dochi. Sesaat pandangan Rani tertuju pada lembar-lembar kertas yang tertempel di dinding kamar reot itu. Dihampirinya salah satu lembaran, dia mengenal tulisan itu. Puisi Dochi waktu itu di kelas. “Syair Separuh Malam”. Jelas terbaca syair itu: Kudengar samar nyanyian malam
Mengalun syahdu tenangkan kalbu
Semenjak awal kala perkenalan
Terbesit rasa yang tak menentu
Malam ini, bulan dan bintang berteman gerimis
Menyuguhkan irama senandung nan ritmis
Semua tentangku tak senada inginmu
Kecewa dan sedih tak henti mengiringi
Kau dengarkan hati terus bernyanyi
Bersama lagu nuansa egois
Tentang janji yang tak berujung manis
Kupersembahkan syair separuh malam
Pada sucinya hati wahai adinda
Kutanyakan pada Pemilik Alam
Adakah saat untuk berjumpa
Mengulas rasa, cinta, dan cita
Membendung rindu, kesah, dan pilu ..
Hanya dengan syair separuh malam
Ku mencintamu dalam-dalam ..
Di bawahnya ada lukisan sketsa gambaran tangan Dochi. Gambar itu tak lain adalah Rani. Sesosok gadis sedang melangkah sembari menengok ke belakang dengan senyum manis. Begitulah Dochi menuangkan perasaannya pada Rani. Tak hanya dengan puisi dan lukisan sederhana. Di sisi lain dinding tergantung serangkaian bunga. Teruntai indah membentuk sebuah nama. RANI.
Rani kagum dan tak menyangka bahwa Dochi begitu mendambanya. Perasaan yang sudah terasa saat di sekolah. Rani merasa sangat berdosa jika menghindari kata hatinya. Secara tidak sadar dia juga menyayangi dan mengkhawatirkan Dochi. Dipeluknya Dochi dari belakang. Penuh cinta dan sejenak menjadi penghapus pilu Dochi. Serasa tak percaya Dochi merasakan hangatnya pelukan Rani.
“Ran.. Rani.. kamu. Aku..,” ujar Dochi terbata.
“Jangan sedih lagi Dochi.. Aku di sini untuk kamu.” sahut Rani. Inikah rencana indah Tuhan? Inikah jawaban dari penantian pajang? Tuhan selalu menyelipkan pelangi setelah hujan badai. Dukanya kini sedikit terbagi. Karena hari-harinya dilalui bersama Rani, bidadari yang selalu diimpikannya.
Tiba saatnya hari kelulusan. Dochi menjadi siswa dengan nilai terbaik. Seluruh warga sekolah bangga dengan prestasinya. Riuh tepuk tangan menghiasi hari itu. Rani memberinya kecupan tanda bangga. Dengan wajah sedikit memerah Dochi merasa senang. Dia menatap langit, ada bayangan ibunya tersenyum manis. Terima kasih Tuhan, jaga ibuku agar selalu didekatMu.
Dochi mendapatkan beasiswa dan berkesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri terbaik di kotanya. Namun dia harus terpisah dengan Rani. Sebab orang tua Rani berkehendak ingin menyekolahkan putri tunggalnya itu di luar negeri. Hari itu sekaligus menjadi hari perpisahan Dochi dan Rani. Seakan tak mau berpisah, Rani memeluk erat kekasihnya itu. Dochi menggenggam jemari Rani. Diberikannya sebuah kotak kaca yang berisi patung romeo dan juliet. Kotak itu bila dikocok akan terlihat seperti ada hujan salju di dalamnya. Pemberian sederhana yang akan selalu dikenang Rani.
Sebelum berpisah Dochi meyakinkan Rani, “Percayalah pada kekuatan dan keindahan cinta, kita pasti bersama lagi,” ucap Dochi sembari menatap Rani. Dengan lirih Rani mengiyakannya. Dia tak sanggup menahan kepedihannya. Namun ini kenyataannya. Suratan yang harus dihadapi oleh pasangan yang saling mencinta itu. Rani tak bisa merelakan untuk berpisah.
Esok pagi Rani dan keluarga sudah harus bertolak ke bandara. Karena takut terlambat Ayah Rani menyuruh sopirnya supaya lebih kencang melajukan mobilnya. Rani masih sedih sembari memandangi kotak kaca romeo dan juliet. Tidak sadar dia tertidur pulas dengan memeluk kotak itu.
Braak! Mobil Rani menabrak seseorang.
“Astaga, sudah Pak.. lari saja. Jalan sepi, kita sudah tak punya waktu.” kata Ayah Rani.
“Ttt.. tapi Pak..,” sahut sopir panik. Ayah Rani tak peduli dan menegaskan untuk segera beranjak pergi. Jam keberangkatan pesawat sudah dekat.
Sesampai di bandara Rani terbangun dari tidurnya. Segera menuju pesawat dan berangkat ke Prancis. Dalam perjalanan Rani selalu memikirkan Dochi. Ingin sekali menghubunginya lewat telepon, namun tak memungkinkan karena ia sedang di dalam pesawat. Dia lupa memberi kabar bahwa dia sudah berangkat.
“Pasti Dochi menunggu-nunggu kabar dariku, maafkan aku Dochi,” gumam Rani.
Malam yang indah, Suasana Paris sungguh romantis. Rani menunggu-nunggu telepon dari Dochi. Sejak siang tadi Dochi tak bisa dihubungi. Situasi yang tidak biasa sebelumnya. Salju turun perlahan, terlihat sangat indah. Sebuah mahakarya dari Tuhan. Tubuh Rani sedikit menggigil namun dia merasa hangat karena membayangkan satu nama, Dochi.
Tiba-tiba ada sosok pemuda yang memeluk Rani dari belakang. Rani terpejam dan merasakan aroma tubuh yang tak asing baginya. Pemuda itu berbisik,“Jangan sedih lagi Rani.. Aku disini untuk kamu,” sembari mendekap erat Rani.
Pyaarrr…!! Kotak kaca itu terlepas dari genggaman Rani, jatuh dan pecah. Dochi melepaskan pelukannya perlahan. Rani sangat bahagia, matanya berkaca-kaca karena kehadiran Dochi. Tubuh Dochi memudar, menjadi ringan seakan ingin melayang. Rani tak percaya apa yang dilihatnya.
“Dochi.. kamu mau k emana? Jangan tinggalin aku..,” bujuk Rani penuh harap.
“Aku cinta kamu Rani.. akan selalu hidup di hati kamu,” suara Dochi menggema. Air mata Rani tumpah seiring berlalunya bayangan itu. Bayangan cinta Dochi.
Di dalam kamarnya Rani semakin bingung, ada apa sebenarnya. Nyatakah tadi yang dialaminya. Terbesit dalam pikirnya, dia segera menghubungi teman sekolahnya yang dekat dengan Dochi.
“Halo Fadli, ini aku Rani. Kamu tahu di mana Dochi?” tanya Rani penuh rasa ingin tahu.
“Tut.. tut.. tut..,” panggilan tiba-tiba terputus. Rani segera menelpon ulang. Sebelum menekan tombol panggil, ada pesan singkat masuk: Aku tak sanggup mengatakannya, Dochi telah tiada. Saat ini aku di depan makamnya. Maafkan aku Rani.
Cerita KauMuda April Safa
Editor Ragil Koentjorodjati
Ilustrasi dari googleSejak kecil aku telah merasakan perbedaan, aku berbeda dari ayah, ibu, kakak ataupun teman – teman sebayaku. Aku ingin bermain, berlarian, berjabat tangan tapi itu semua tak bisa aku rasakan secara sempurna. Menangis, merengek dan merajuk, ekspresi itu yang bisa aku lakukan saat itu. Aku belum paham makna kehidupan yang sesungguhnya. Surabaya, 15 September 2001
Aku ingin sekali seperti mereka, saling berjabatan tangan, bertepuk tangan, belajar menulis menggunakan tangan secara normal, belajar memegang sendok untuk makan sendiri.
Aku sedih, Tuhan menciptakanku seperti ini. Aku tidak punya lengan tangan, aku punya kaki tapi tidak bisa digunakan untuk berjalan secara sempurna. Aku ingin menikmati masa kecilku seperti kebanyakan teman – temanku. Aku ingin berjalan sendiri ke kelas, tidak selalu digendong ayah. Aku malu dengan keadaanku.
Aku selalu mengadu pada ibu jika ada yang mengejekku dan ibu tak pernah sekalipun mengeluh, marah, membentak ataupun sebal dengan sikapku. “Siapa bilang Allah itu tidak adil, Nak? Lihatlah kakak, punya kaki dan tangan yang sempurna tapi selalu mengeluh capek minta pijat, mengaduh kesakitan jatuh dari motor. Adek nggak pernah minta pijat kan? Allah itu sayang sama adek, meskipun seperti ini Allah tidak ingin adek capek. Allah menjaga adek dengan keadaan seperti ini. Allah ingin adek selalu gembira. Rizki Bintang Nusantara, nama itu ibu beri supaya adek selalu membawa berkah dan menjadi inspirasi semua orang di Indonesia maupun di dunia,” kata – kata itu yang aku ingat dari ibu. Wanita yang selalu menginspirasiku, tidak hanya dari tutur kata tapi juga perlakuan ibu yang tegas dan penuh kelembutan yang mampu menghilangkan tangisku.
Ayah, ibu dan kakak, tiga kombinasi yang mampu membangun mentalku untuk harus siap menerima kenyataan. Ibu berusaha mengenalkanku pada dunia sosial luar sejak masih taman kanak – kanak. Ayah selalu mengajakku ke tempat usaha bengkel ayah untuk mengenalkanku pada dunia otomotif sekaligus belajar sosialisasi dengan para pekerja dan pembeli. Kakak yang setia mengajakku bergabung untuk bermain dengan teman – temannya.
Mereka berusaha untuk membuka pandanganku bahwa dunia itu tak sekejam yang aku bayangkan, lingkungan akan menerimaku jika aku memberikan hal – hal yang positif pada mereka. Fisikku memang tidak sempurna tapi aku diberi otak yang lumayan encer dan komunikasi bicara yang cukup bagus karena sering menemani ayah di bengkel. Surabaya, 16 Juli 2003
Menginjak umur memasuki sekolah dasar ibuku bersikeras agar aku masuk di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa. Karena aku hanya cacat fisik, bukan cacat mental seperti siswa SLB pada umumnya. Tapi apa daya, sekolah umum yang ibu datangi hanya melihatku secara sebelah mata, padahal aku mempunyai kemampuan berpikir yang tak kalah dengan siswa pada umumnya.
Akhirnya ibuku mendaftarkanku di sebuah SLB daerah Surabaya Barat. Aku mulai belajar memfungsikan kakiku seperti tanganku. Mulai dari menulis, menggambar dan membuka pintu, tapi untuk bersalaman lebih baik aku tidak menggunakan kakiku. Dan aku mulai menikmati menulis cerita, puisi, menggambar, melukis.
“Lukisan Bintang bagus, lebih bagus dari gambar bapak.”
“Coretan warna sesuka saya, ini tidak jelas Pak. Lebih bagus lukisan Pak Yudhi,” kataku dengan sedikit bangga.
“Tinggal latihan yang sering ya Nak. Bapak yakin, Bintang pasti jadi pelukis terkenal.” Kata – kata Pak Yudhi yang mantap kubalas dengan anggukan..
Pak Yudhi, guru lukis yang setiap coretannya seakan menghasilkan karya dari sang maestro pelukis terkenal di dunia. Aku suka Pak Yudhi, orangnya ramah dan penuh semangat. Aku semakin semangat mengikuti setiap gerak tangannya yang menghasilkan suatu gambar. Aku jatuh cinta pada melukis.
Dengan melukis aku bisa berimajinasi membayangkan keindahan tempat – tempat pemandangan meskipun kakiku belum sempat menapakinya. Beliau selalu memuji lukisanku lebih artistik, lebih indah daripada buatannya sendiri meskipun aku melukisnya dengan menggunakan kaki.
Aku selalu menunjukan hasil lukisanku pada ibu, ayah dan kakak. Dan aku sering didaulat untuk mengikuti perlombaan melukis serta tidak pernah pulang dengan tangan kosong karena mendapat juara.
Berkat Pak Yudhi, aku semakin percaya diri dengan kemampuanku. Banyak orang yang tidak menyangka, bahwa lukisan yang aku hasilkan berasal dari goresan kaki yang kurang sempurna.
Ibuku semakin bangga denganku dan memberikan peluang yang lebar untuk mengasah setiap goresan yang dihasilkan kakiku dengan memasukkanku ke sebuah sanggar lukis.
Saat Allah belum mengabulkan do’a kita, mungkin Allah telah menyiapkan suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya jika kita mau bersabar dan bersyukur. Salah satu guru SLB melihatku mempunyai potensi yang luar biasa seperti anak pada umumnya meskipun terdapat kekurangan pada fisikku. Aku bersyukur mempunyai seorang guru seperti Ibu Amalia, senantiasa rela membantuku untuk mengenyam di sebuah sekolah yang lebih layak dan dengan kurikulum yang cocok denganku, bukan seperti di SLB.
Kesempatan bersekolah di sekolah umum negeri akhirnya terwujud setelah aku menginjak kelas IV. Sebuah sekolah di daerah Surabaya utara bersedia menerima kekurangan fisikku.
Saat hari pertama masuk di sekolah umum, ibuku sangat khawatir hingga senantiasa menunggu mulai dari mengantar hingga pulang sekolah. Satu minggu berjalan, ibuku mulai mempercayai kemandirianku sehingga ibu cukup mengantar dan menjemput saja. Kecuali untuk urusan buang air, aku perlu menelpon ibuku untuk datang dan meminta bantuan beliau.
Sehari – hari untuk menunjang aktifitasku, ayah merakit sendiri sepeda roda tiga untukku. Alat itu yang membantuku mengelilingi tempat – tempat di sekolah tanpa merepotkan orang lain karena terdapat tombol yang otomatis. Sehingga aku tak kesulitan menggerakkannya.
“Di mana ada ibu, di situ ada Bintang.”
Teman – temanku sering berkata seperti itu. Tak masalah, karena aku memang masih membutuhkan bantuan ibu. Aku tak tahu, apa jadinya jika ibu tidak ada di sampingku yang selalu mengingatkan, berada di belakangku untuk memberi dorongan yang positif. Aku ingin sekali, membalas belaian tangan lembut beliau, mencium punggung tangan ayah dan ibu serta menggandeng tangan mereka. Meskipun begitu, aku berharap mereka merasakan sentuhan hatiku yang membelai lembut hati mereka dan kakakku tercinta. Surabaya, 20 Mei 2011
Hari ini, ada yang melihat lelang lukisanku dan membelinya. Setahun yang lalu, ayahku membuatkan galeri hasil goresan kakiku dekat ruang tamu berukuran 5×10 meter. Semenjak itu aku semakin ketagihan menorehkan setiap warna kuas cat minyak pada kanvas. Tiga puluh menit waktu yang cukup untuk mengubah polosnya kanvas menjadi suatu kanvas penuh makna dan filosofi. Mungkin orang yang belum tahu, tak mengira semua itu karena kelihaian kakiku yang telah dilatih selama di sanggar lukis.
“Jika Allah telah membukakan pintu rezekinya, Allah akan senantiasa mengalirkannya tanpa henti,” itu salah satu penggalan kalimat yang kuingat dari guru agama islam di sekolahku.
Selain banyak yang membeli lukisanku, banyak juga yang simpati terhadap kegigihanku. Banyak yang memberi peluang – peluang membantuku mengikuti setiap acara perlombaan hingga aku mendapat banyak penghargaan. Pertolongan Allah itu nyata, beberapa pengusaha sukses mulai menawariku beasiswa hingga kuliah.
Aku bersyukur lahir di dunia ini, tidak hanya untuk menyusahkan orang lain, tidak hanya untuk dikasihani orang lain. Aku mulai mengerti arti hidup yang sebenarnya. Janganlah melihat segala sesuatu hanya dari satu sisi tapi jadikan kelemahan yang kita miliki itu sebagai suatu kelebihan terutama bagi para penyandang cacat fisik.
Semua kemudahan yang aku dapatkan sejauh ini bukanlah kebetulan saja tapi melalui proses yang penuh kesabaran dan keikhlasan. Aku ingin membuktikan pada semua orang bahwa orang cacat masih dapat berkreasi, dapat berkembang serta dapat memberikan manfaat jika diberi ruang untuk beraktifitas sesuai minat layaknya orang normal.
Ibu, lihatlah aku sekali lagi. Anakmu yang cacat ini tidak akan menyerah melawan kerasnya hidup. Aku akan berusaha membangkitkan semangat saudara – saudaraku yang bernasib sama denganku. Aku ingin menyemangati mereka, mendorong mereka seperti ibu yang tak pernah lelah memberiku dorongan secara moril maupun materiil.
Ayah, aku akan berusaha menjadi lelaki tangguh penuh prinsip yang siap menaklukan dunia, tentu dengan bantuan sepeda roda tiga buatan ayah.
Kakak, jangan pernah bosan membakar semangatku untuk terus berjuang dan mendorongku menjadi orang yang bermanfaat serta mampu menyukseskan orang lain dengan keterbatasanku ini.
Kawan, kenali aku lebih dekat. Sejatinya aku sama seperti kalian, hanya fisik yang membedakan kita. Tapi kebutuhan dan keinginan kita akan kepercayaan, kesetiaan, kebahagiaan memiliki porsi yang sama. Tanpa kalian, aku hanyalah seorang anak cacat tak berkawan. Bersama kalian, akulah anak cacat yang memiliki seribu kebahagiaan untuk aku bagikan dan seribu harapan untuk masa depan bersama.
Cinta dan doaku akan senantiasa mengalir untuk kalian.
April Safa adalah Mahasiswi ITS Surabaya, tinggal di Surabaya.
Cerita KauMuda Karya Nailatul Faiqoh*
Editor Ragil Koentjorodjati
Ilustrasi dari masbeni.file.myopera.comLangit abu-abu tertiup angin pagi sepoi-sepoi, mendayu-dayu menerpa bulu roma sampai bergidik. Perlahan butiran air gerimis menghujam kulit yang semakin terasa tajamnya. Tak juga kunjung terang airnya. Sudah sedari malam gerimis seperti ini membasahi desa kami. Luapan sungai sudah hampir di atas mata kaki. Padi musim panen kali ini sudah rubuh tertiup angin kencang tengah malam tadi. Hal yang lebih ditakutkan warga bila angin terus berhembus dengan kencangnya adalah robohnya rumah-rumah gedheg atau bahkan menumbangkan pohon besar di area sekitar rumah. Untungnya pagi ini angin tak lagi menggarang, hanya menyisakan gerimis dan langit mendung.
Jam tujuh hampir tercapai namun ruang kelas masih terlihat sepi, hanya beberapa anak yang rumahnya di sekitar sekolah sibuk membantuku memindahkan bangku dan meja ke tempat yang lebih kering. Masih kurang beberapa anak yang belum datang sampai aku putuskan pelajaran harus dimulai. Sesekali pandanganku menengok ke arah luar, mungkin saja seorang anak spesial datang terlambat. Anak itu bernama Limbok.
Dulu anak itu hampir tak dapat bersekolah di tempat ini. Sekolah luar biasa letaknya jauh dari desa. Biaya akomodasi terbilang mahal untuk keluarga Limbok, apalagi ibunya yang sudah menjanda. Sejak Limbok berumur 3 tahun, ibunya hanya bekerja sebagai buruh tani di sawah milik tetangga. Membanting tulang mencari uang sendiri tidaklah memungkinkan bagi ibu Limbok menungguinya di sekolah sampai selesai.
Ibunyalah yang bersikeras memohon kepada pihak sekolah agar Limbok diperkenankan tetap mendapat pengetahuan. Untungnya pengurus sekolah dan juga sebagian guru tersentuh dengan cerita ibu Limbok dan memperbolehkanya bersekolah di tempatku mengajar secara sukarela sebab kekurangan tenaga pengajar. Sistem pengajaran yang diberikan pada Limbok cukup berbeda dari murid lain.
Untungnya sebagian banyak murid tidak pernah mempertanyakan keadaan Limbok, seolah mereka sudah paham dengan perbedaan di antara mereka. Bahkan beberapa anak sering mengajari Limbok berhitung atau menulis. Ibu Limbok bersyukur karena teman Limbok baik-baik dan selalu mengantarkan Limbok pulang sekolah. Limbok tidak pernah membuat ulah atau menjahili teman-temannya. Walau tumbuh sebagai anak dengan keterbatasan otak, Limbok cukup punya semangat yang tinggi.
Limbok sering bilang, ibunya selalu bercerita kalau jadi orang pinter nanti bisa punya banyak uang untuk beli mainan dan ibu Limbok juga sering menangis sambil menyuruhnya belajar terus. Karena tak mau melihat ibunya menangis itulah yang mungkin membuat Limbok selalu bersemangat untuk sekolah. Bahkan ibu Limbok pernah bercerita kalau limbok itu selalu bangun pagi dan ingin cepat pergi sekolah. Pernah saat itu Limbok sakit panas meski masih kuat berjalan ibu Limbok tidak memperbolehkanya pergi ke sekolah tapi Limbok justru menangis sampai ibunya tidak kuasa menahan keinginan anaknya itu untuk tetap pergi bersekolah. Namun terkejut yang didapati ibunya, lantaran Limbok kembali sehat dan sudah turun panas tubuhnya. Pastilah sungguh sayang ibu Limbok pada anak perempuan satu-satunya itu.
Sudah seperempat jam pelajaran dan Limbok tak juga muncul. Padahal di hari biasa Limbok selalu jadi yang pertama kali datang ke sekolah. Apa mungkin Limbok sakit, atau karena gerimis dan angin kencang tadi malam yang membuat ibu Limbok harus datang pagi ke sawah sampai tak sempat mengantarkan anaknya? Bukankah kalau tak sempat mengantar Limbok selalu dititipkan pada anak tetangga yang lantas mengantarnya ke sekolah?
Kembali pandanganku mengarah ke luar pintu. Kali ini tampak dari jauh seorang wanita setengah baya mengenakan plastik hitam di kepala tengah menggandeng seorang gadis kecil dan payungnya tampak berlubang di beberapa bagian. Itu Limbok yang tersenyum lebar menatap ke arahku. Senyumku memecah kecemasanku yang membuat bibir ini menyapa kedatangannya. Setengah berlari Limbok mencium tanganku dan masuk ke dalam kelas, sementara aku dan ibu Limbok masih tersenyum memandang keceriaan Limbok.
“Tumben sekali Limbok terlambat Bu, pikir saya Ibu sedang sibuk mengurus panenan yang rusak sampai tidak sempat mengantar Limbok.” Sambil tersenyum ibu Limbok bercerita tentang Limbok yang sibuk membuat PR menulis surat hingga tengah malam sampai-sampai ibunya kesiangan bangun. Seperginya ibu Limbok aku kembali masuk ruang kelas dan kembali mngajar dengan perasaan lega.
Sudah menjadi kebiasaan anak-anak ketika jam pulang sekolah berdoa dan salam di ucapkan bersama, adat mencium tangan pada guru belum pernah mereka lewatkan. Terutama Limbok yang berpolah lucu dengan kebiasaanya memberi ciuman jauh lalu melambaikan tanganya kepadaku. Sungguh anak itu tak pernah lekang memberi keceriaan pada semua orang. Dan itu merupakan suatu penyemangat tersendiri bagiku.
Ramai keceriaan serta semangat belajar yang tinggi dari anak-anak sudah mulai hening. Kini tinggal aku sendiri di dalam kelas dengan tumpukan buku tugas milik anak-anak. Memang baru kemarin aku memberikan tugas menulis sebuah surat yang telah menunggu untuk aku baca.
Satu demi satu surat aku baca. Beragam isinya ada si Ratna yang menulis surat untuk bapaknya di Arab Saudi, ada juga surat Uyung yang menceritakan kondisi sekolahnya, dan kini giliran surat Limbok yang harus aku baca. Entahlah karena apa aku sedikit merinding saat memegang surat ini. Tulisanya tak rapi , lebih cocok kalau disebut tulisan anak berumur 4 tahun yang sedang semangat belajar menulis. Sempat aku teringat cerita ibu Limbok tadi pagi perihal keterlambatan Limbok masuk sekolah karena harus menunggui Limbok menulis surat untuk pak presiden katanya. Penasaranku kemudian menyelinap memaksaku segera membaca isinya.
“Kata Ibu, presiden itu seorang pemimpin. Ibu juga bilang pemimpin suka membantu orang. Limbok ingin presiden bantu ibu cari uang banyak. Kalau ibu punya uang banyak tidak lagi ngarit sawah tetangga. Kalau uang ibu banyak Limbok juga mau minta dibuatkan tempat sekolah yang ga bocor langitnya, yang ga banyak rayapnya. Presiden harus bantu Ibu Limbok ya.”
Air mata tak sadar menetes tak mampu kubendung lagi. Aku sadar air mata ini seolah membuktikan bahwa anak-anak butuh tempat lebih layak dari pada tempat ini. Bukan masalah gaji seadanya untuk kami para guru sukarelawan yang berupa hasil kebun sumbangan warga. Tapi ini lebih karena suasana belajar murid yang tak kondusif. Pikirku, andai presiden juga membaca surat ini mungkin sama terkejutnya denganku, membaca isi surat anak yang dengan pertumbuhan dan pemikiran lambat.
Sudah satu minggu ini langit mendung meski hujan juga tak menampakan diri sama seperti suasana kelas ini yang tak lagi cerah seperti saat Limbok ada di antara kami. Saat tawa kami pecah mendengar suara kentut Limbok yang keras melantun membuat anak-anak menutup hidung. Atau keceriaan Limbok saat melihat ada anak yang terpeleset genangan air saat hendak maju ke depan kelas, juga peristiwa-peristiwa haru saat Limbok bercerita tentang dirinya yang senang makan nasi kur atau nasi bekas pemberian tetangga yang dikeringkan lalu di masak kembali yang kemudian dimakan bersama timun rebus serta sambal buatan ibunya. Katanya rasanya nikmat bila dari tangan ibu.
Banyak cerita-cerita lain yang sering kami dengar terutama saat jam istirahat. Aku terkesan dengan hidupnya juga ibunya yang hebat membesarkan Limbok seorang diri. Mungkin juga anak-anak yang mulai menyayangi Limbok yang sama terkesannya denganku.
Semua pelajaran telah selesai. Saatnya mereka untuk membereskan alat tulis dan bersiap pulang. Salam belum sempat aku ucapkan ketika tiba-tiba Pak Soleh, salah seorang guru yang mengajar di kelas 4 datang memberi pengumuman bahwa Limbok telah meninggal dunia siang ini.
Kedua kakiku bergetar, tak kuat menopang tubuh ini mendengar kabar kematian Limbok. Aku terkejut sampai tak mampu membendung tangis. Begitu halnya dengan anak anak yang kemudian dituntun Pak Soleh untuk membacakan doa untuk Limbok.
Limbok sudah lama sering mengeluh sakit kepala, tapi kondisi keuangan yang membuat Limbok hanya diminumi obat yang dibeli dari warung. Makin lama kondisi Limbok makin menjadi, bahkan sampai membuatnya kejang dan sering tidak sadarkan diri. Hal ini membuat ibunya mau tak mau berhutang untuk memeriksakannya ke Pak Mantri namun tak juga mendapat hasil, sampai puncaknya kemarin sore Limbok kembali pingsan yang lantas para tetangga membawanya ke rumah sakit dengan biaya sukarela warga. Namun terlambat, penyakit kanker otak sudah menjalar ke seluruh tubuh dan tepatnya siang ini Limbok pun meninggal dunia.
Sorenya setelah semua kelas kosong, aku bersama guru yang lain melayat ke rumah Limbok. Sampai di sana aku dapati segerombolan anak masih memakai baju seragam memenuhi rumah Limbok yang tak salah lagi adalah teman sekolahnya. Haru makin menjadi, membuat tubuhku lemas sampai harus dipapah beberapa guru saat ibu Limbok memberiku sebuah celengan berisi recehan uang saku yang tak pernah dihabiskan semua dan sudah lama dia kumpulkan katanya.
Uang ini kalau sudah banyak mau digunakan untuk membangun sekolah yang bagus biar Limbok dan teman-teman bisa sekolah dengan nyaman, dan ibunya juga tidak perlu memanasi baju mereka di tungku sampai kering setiap kali air hujan turun dari bagian genteng yang bolong lalu membasahi seragam satu-satunya yang dimiliki. Semakin tak aku sangka ketidaksempurnaan Limbok ternyata menyimpan hati yang berusaha menyempurnakan orang lain.
Tak ada satu pun umat yang tahu apa yang akan terjadi nanti. Sama halnya kepergian Limbok kian membuat kesedihan di hati kami yang menyayanginya. Canda dan tawa kepolosanya tentu tak dapat kami temui esok. Tapi Tuhan tahu yang terbaik untuk semua. Tuhan punya banyak rencana yang tak diduga umat-Nya. Kepergian Limbok membuat kami keluarganya di sekolah sadar akan hidup yang fana. Terutama aku dan sahabat-sahabatnya yang sadar bahwa secara tidak langsung Limbok mengajarkan kami arti ketulusan, kasih sayang, juga semangat untuk menggapai impian, seperti yang Limbok lakukan.
Nailatul Faiqoh adalah Mahasiswi Universitas Semarang, tinggal di Rembang.