kapal pemberontak

Kapal Perang Ini Kami Ambil Alih! #3

Sebuah Catatan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia (3)

Oleh Hendi Jo

SEHARI USAI MENINGGALKAN Pelabuhan Oleh Le, secara resmi pimpinan pemberontakan mengeluarkan suatu  pernyataan pers dalam bahasa Belanda, Inggris dan Indonesia. Pernyataan yang dibacakan oleh Rumambi berbunyi sebagai berikut:

berita
berita kapal tujuh di media belanda

“Kapal perang ini kami ambil alih. Zeven Provincien pada waktu ini ada di bawah kekuasaan kami, anak buah kapal  Zeven Provincien  berbangsa Indonesia, dengan bermaksud menuju Surabaya. Sehari sebelum tiba kami akan menyerahkan komando kembali kepada komandan semula. Maksud kami melakukan aksi ini adalah untuk memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan! Keadaan dalam kapal aman tidak ada paksaan dan tidak ada orang yang terluka”

Pemerintah Hindia Belanda tentu saja tidak tinggal diam terhadap aksi pemberontakan tersebut. Lewat KM, mereka lantas  memerintahkan kapal perang Aldebaren untuk memburu Kapal Tujuh. Letnan Kolonel Laut Eikenboom  yang merasa terhina dengan aksi anak buahnya itu, turut serta dalam pengejaran itu.

Kendati berhasil menyusul Kapal Tujuh, namun  Kawilarang dan para marinir pemberontak tidak memberi kesempatan sedikitpun Aldebaran  untuk mendekat. Mereka mengirimkan isyarat jika kapal perang itu mendekat maka akan langsung ditembak. Aldebaran pun gentar dan menghentikan pengejarannya.

Habis Aldebaran muncul Goudenleeuw. Kapal perang penyebar ranjau itu dalam  kenyataannya tak memiliki nyali untuk mendekat. Mereka hanya bisa mengikuti kapal Tujuh dalam radius yang sangat jauh. Kenapa dua  kapal perang terkemuka milik KM itu sebegitu ciut nyalinya? Rupanya diantara ketiga kapal itu, Kapal Tujuh-lah yang memiliki kelengkapan paling canggih (saat itu)  termasuk tersedianya meriam yang paling besar dan persenjataan yang paling kuat.

Pada 5  Februari, Kapal Tujuh sudah memasuki wilayah Pulau Berueh. Besoknya, mereka merambah Pulau Simeuleu, Pulau Nias, Tapaktuan, Pulau Sinabang. Tepat jam 9 pagi, pada 10 Febuari 1933,  Kapal Tujuh berada di perairan Selat Sunda. Di laut sempit pembatas Sumatera dan Jawa itulah, Kapal Tujuh dikepung oleh 3 kapal perang (Goudenleeuw, Sumatera dan Java), dua kapal pemburu torpedo (Piet Hien dan Evetsen) dan dua skwardon Dornier (pesawat pemburu yang dilengkapi bom seberat 50 kg).

Sebelumnya, semua anak buah kapal bumiputera di kapal perang  Java, Sumatera, Piet Hein dan Evertsen yang dicurigai, telah di turunkan di Pelabuhan Surabaya dan senjata mereka telah dilucuti. Itu dilakukan sebagai bentuk tindakan antisipasitif pihak militer Hindia Belanda. Dikhawatirkan jika melibatkan pelaut bumiputera dalam pengejaran mereka akan menolak untuk menembak kawan sebangsanya.

Kapal perang Java  yang dipimpin oleh Van Dulm memberikan ultimatum agar Kapal Tujuh segera menyerah. Alih-alih takut terhadap ultimatum tersebut, Kapal Tujuh malah mengarahkan moncongn Meriam 28 ke arah kapal perang Java. Van Dulm mengancam lagi akan menyapu bersih Kapal Tujuh dari permukaan laut jika tidak mau menyerah. Tetapi lagi-lagi Kawilarang, Rumambi, Paradja, Boshart dan para marinir pemberontak lainnya,  enggan menyerah: “Kami tidak mau diganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya” jawab Kawilarang.

awak kapal tujuh ditangkap
awak kapal tujuh ditangkap

Begitu ultimatum ditolak, terdengar dengungan mesin pesawat terbang Dornier D 11 di atas Kapal Tujuh. Mereka mengirim pesan agar Kapal Tujuh menyerah saja. Tetapi rupanya urat takut Kawilarang dan kawan-kawannya  sudah putus. Mereka bertekad tidak mau menyerah dan tetap akan melanjutkan perjalanan sampai Surabaya.

Sepuluh menit berlalu tanpa jawaban. Deru pesawat Dornier terdengar seperti ribuan tawon yang ingin menerkam mangsanya. Rupanya mereka tengah menyiapkan formasi untuk menyerang. Pesawat Dornier pertama mulai menukik dan membuang bom seberat 50 kg itu.  Bom pertama hanya mengenai lautan biru Selat Sunda dan luput mengenai sasaran.

Pesawat Dornier kedua seperti marah. Ia menukik, bermanuver dan bergerak  cepat menghunjam ke arah geladak Kapal Tujuh. Serentetan tembakan senapan otomatis menyambut serangan si burung besi tersebut. Luput. Sebaliknya bom kedua yang dijatuhkan tepat mengenai geladak kapal. Bunyi dasyat mengerikan pun terdengar diiringi jeritan para marinir pemberontak yang tengah bertahan di Kapal Tujuh.

J Pelupessy  yang tengah bertahan dengan senapan otomatisnya mendapat luka-luka cukup parah. Namun ia sempat melihat rekannya, Sagino yang kehilangan sebelah mata mendekati dirinya sambil berkata lirih namun tegas,  “Pessy tolong aku, inilah nafasku yang penghabisan, aku yakin Kerajaan Belanda tidak lama lagi akan tamat riwayatnya. Dan bagi kita, tempat ini bukan Selat Sunda  tapi Selat Kapal Tujuh!”

Sagino kemudian melepaskan nyawanya.  Disusul oleh  marinir lainnya: Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, Simon dan sang komandan: Paradja.

Kondisi Kapal Tujuh sendiri benar-benar lumpuh. Saat para marinir itu bahu membahu membentuk pertahanan,  sebuah bom meluncur lagi dari udara, menimbulkan desis mengerikan dan waktu itu pula langsung  memusnahkan sejumlah besar manusia yang berdiri menonton pesawat-pesawat terbang. Begitu bom jatuh, Boshart ingat dirinya terpelanting di atas geladak dan secara refleks ia berdiri lagi untuk mencari perlindungan.

Ia kemudian lari menuju bagian depan. Dan menyaksikan kawan-kawannya seperjuangan tergeletak di atas geladak dengan tubuh yang sudah terbagi-bagi menjadi potongan-potongan kecil. Ada yang terbakar, ada yang berguling-guling dan mandi dalam darahnya dengan luka-luka yang sangat mengerikan. Boshart menyaksikan pula seorang karibnya terluka membentuk lubang sebesar kepalan tangan manusia dewasa di dadanya. “Saya menangis, saya tidak dapat menahan air mata saya ketika menyaksikan pemandangan seperti itu,” kenangnya.

****

pemberontak dibawa ke pengadilan militer
pemberontak dibawa ke pengadilan militer

KAPAL TUJUH akhirnya takluk. Para pemberontak berbangsa Indonesia lantas diangkut dengan kapal perang  Java  sedangkan yang berbangsa Belanda diangkut dengan kapal Orion. Kapal pemburu  Eversten mengangkut para marinir yang gugur dan kemudian  memakamkan mereka dalam satu lobang di Pulau Kerkhof (Pulau Kelor), sedangkan rekan-rekannya yang berbangsa Belanda di Pulau Purmerend (Pulau Bidadari). Dua pulau yang termasuk dalam gugusan Kepulauan Seribu.

Para pemberontak yang masih hidup diborgol dengan rantai dan dimasukkan ke dalam kamp tawanan di Pulau Onrust. Itu nama sebuah pulau karang bekas galangan kapal-kapal VOC yang terletak di sebelah utara Batavia. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah barak  yang dikepung oleh sebuah tembok setinggi orang dengan atap terbuat dari seng. Diantara atap dan tembok terdapat ruang kosong setengah meter yang ditutup dengan kawat berduri.

Peraturan di barak tersebut sangat ketat. Setiap lima tawanan diborgol secara berantai. Jadi jika ada salah seorang tawanan yang ingin mandi atau buang hajat misalnya, otomatis keempat tawanan lain yang terhubung dengan rantai harus ikut pula.  Di Onrust juga diterapkan peraturan: ” Siapa yang melalui ruang terbuka akan ditembak tanpa peringatan. Jikalau membuat ribut, maka granat tangan akan dilemparkan tanpa peringatan ke dalam barak. Tindakan ini diambil juga terhadap kelasi-kelasi yang berani tertawa atau berbicara dengan suara keras,” ungkap Boshart.

Para tawanan yang tidak mau menandatangani pernyataan bersalah dihukum dengan tidak diberi makan selama 3 hari. Para tawanan yang diperiksa tidak boleh berpindah dari pusat atau melewati batas lingkungan yang diberi tanda garis di lantai dengan kapur. Mereka juga harus berdiri dari pagi sampai sore dengan tangan terborgol sambil dicaci maki oleh para serdadu bersenjata lengkap.

Tujuh bulan lamanya mereka menjadi penghuni “neraka” Onrust.  Hingga pada 19 September 1933, mereka dipindahkan ke Penjara Sukolilo kecuali Kawilarang dan Boshart (karena dianggap pentolan pemberontak paling berbahaya). Mereka berdua ditahan  di Batavia.

Dalam catatan Departemen van Marine (Departemen Kelautan Kerajaan Belanda), ada sekitar 545 marinir bumiputera dan 81 marinir bangsa Belanda dan Indo yang ditahan terkait pemberontakan di Kapal Tujuh. Itu sudah termasuk 182 awak Kapal Tujuh yang dipenjara di kamp konsentrasi Onrust.

Atas terjadinya Insiden Kapal Tujuh itu, Gubernur Jenderal De Jonge sendiri mendapat kecaman keras dari media-media Eropa dan Amerika Serikat. Ia dinilai tidak becus memimpin sebuah koloni terutama soal mengurus disiplin dan kesehjateraan tentaranya di Hindia Belanda. Sementara itu di tanah air, serangan bertubi-tubi pun dilontarkan oleh para jurnalis anti kolonial seperti Raden Tahir Tjindarboemi dari Harian Soeara Oemoem. Imbasnya,  harian milik Dr.Soetomo itu diberedel dan Raden Tahir Tjindarboemi dipenjara.

Lalu menyesalkah para marinir  yang melakukan pemberontakan di Kapal Tujuh tersebut? “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda,”ujar Kawilarang, saat pengadilan Mahkamah Militer Hindia Belanda menjatuhkan hukuman 17 tahun penjara baginya. Kebanggan itu pula yang puluhan tahun kemudian masih dimiliki oleh Agih Subakti,seorang putera dari salah satu rekan seperjuangannya.

****

Baca sebelumnya: Pemberontakan Kapal Tujuh

Satu komentar pada “Kapal Perang Ini Kami Ambil Alih! #3”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s