Arsip Tag: tempramental

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #9

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 9
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Waktu berjalan terus. Tak ada seorang pun manusia yang mampu menghentikan lajunya perjalanan waktu. Dan, waktu yang telah berlalu tak bisa terulang kembali. Pertemuan sore hari di rumah Susanti memberikan kemampuan Tigor dan Mikail merefleksikan persahabatan mereka. Keduanya merasa perlu mengembalikan kondisi persahabatan mereka seperti sedia kala. Tetap dengan intensitas perjumpaan yang padat sambil mengulas persoalan-persoalan filosofi untuk melengkapi kerangka berpikir konstruktif struktural. “Belakangan ini aku sudah tak pernah lagi membaca buku dan menulis opini.” Tigor menyesali hari-harinya yang terbuang dengan sia-sia.
“Aku juga sering berangan-angan belakangan ini. Mengerjakan apa saja pun aku malas,” kata Mikail. “Okelah,.. besok kujemput kau pulang kuliah. Mari kita jalan terus sampai larut malam, mengulang apa yang selama ini kita lakukan.”
Jalan bersama sampai larut malam, nonton bioskop, Tigor nginap di rumah Mikail ngobrol panjang tentang banyak hal, membuat kehangatan persahabatan mereka kembali lagi bersemi. Ibu Mikail senang sekali melihat Tigor kembali lagi sering nginap di rumah mereka. “Kemana selama ini Gor,” Ibu menyapanya. “Ingatkan Mikail supaya tetap serius menyelesaikan kuliahnya. Ibu takut penyakit lama Mikail kambuh lagi dan kuliahnya berantakan.”
“Iya,..Bu.” Tigor sudah merasa ibunya Mikail adalah ibunya juga. Karena perhatian keluarga Mikail kepada Tigor tak ada bedanya dengan ibunya sendiri. Mau mandi, mau makan atau mau tidur di kamar Mikail seenaknya saja Tigor kerjakan. Sudah macam rumah sendiri.
Acara makan pisang goreng di rumah Susanti pun rutin diselenggarakan, serta sikap Mikail menunjukan usaha-usaha mengisi suasana percintaannya bersama Susanti. Persahabatan tiga serangkai bersemi lagi.
***
Ucok ditugaskan FDP untuk mengirim proporsal ke Sabidoar Foundation. Armand dapat tugas menyusun daftar kebutuhan sekretariat dan mekanisme internal kelembagaan bersama Ucok dan Ningsih. DR Pardomuan mengurus badan hukum FDP sekaligus membuka nomor rekening Yayasan FDP. Agar (seandainya) Memorandum of Understanding bulan Juni mendatang jadi ditandatangani, persiapan institusionil FDP sudah mantap. Karena melihat latar belakang perkenalan FDP dengan Sabidaor Foundation adalah kontak person bersama direktur pelaksana Sabidaor, lantas membangun hubungan emosionil melihat kunjungan Mukurata yang terus menjalin kontak respondensinya, maka peluang FDP mendapat dukungan dana dari Sabidaor tidak diragukan lagi. Seluruh warga FDP tidak terlalu khawatir proporsal mereka ditolak oleh Sabidaor Foudation.
***
Dua bulan lagi Anita Theresia dibaptis menjadi suster, setelah 3 tahun berdiam di biara Katolik Tantangun. Tapi, perasaannya sangat gundah gulana. Perkenalannya 6 bulan yang lalu dengan pemuda Johan Niskeno kaya raya pejabat pemerintahan Trieste mengguncangkan sikapnya yang ingin mengabdikan diri seumur hidup untuk gereja katolik. Kegigihan Johan tak mengenal kata mundur sambil terus menunjukan perhatiannya yang sungguh mempersunting Anita, ternyata berhasil meluluhlantakkan hati Anita. Pada akhirnya, Anita lebih memilih menjadi istri Johan Niskeno dari pada bertahan hidup di biara. Semua pihak terpukul dan marah terhadap komitmen Anita yang goyah gara-gara Johan. Sempat juga keluarganya berhasrat membatalkan maksud perkawinannya. Tapi, berkat usaha keluarga Johan Niskeno melakukan pendekatan kekeluargaan akhirnya perkawinan mereka dibaptis di gereja kristen protestan.
Hidup gemerlapan sebagai istri Johan Niskeno yang hidup mewah, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan biara — tidaklah membuat Anita Theresia lupa daratan —-. Karakter yang dibangun selama berada dibiara tetap dipeliharanya sampai saat sekarang ini. Hanya Mikail Pratama anaknya yang butuh perhatian khusus . Sedangkan ketiga anaknya Rini Anggelina, Yayuk Astuti dan Jimmi Rocky, sudah dapat berjalan dengan baik tanpa kontrol yang ketat dari beliau. Dan, walaupun sekarang sudah beragama kristen protestan, tapi ibu Mikail masih tetap melakukan meditasi katolik yang diajarkan di biara. Beliau sangat takut kehilangan hati nurani akibat kondisi ekonomi keluarganya yang berkelimpahan. Cinta yang tulus kepada sesama umat manusia juga dirasakan Tigor bekas anak brandalan itu: Tigor, kalau uang kiriman dari kampung belum datang dan kalau perlu uang minta sama ibu ya… Tak usah malu malu. Ibu sudah menganggap dirimu adalah anak sendiri,” Ibu berkata lembut kepada Tigor. “Iya..bu” Tigor juga sangat mengasihi ibu Mikail. Beberapa saat kemudian. “Sebenarnya ibu khawatir kalau saja dana program yang didukung Sabidaor jadi dilaksanakan. Ibu khawatir kuliah kalian jadi teganggu.” Ibu nampak cemas mendengar rencana kerja FDP.
Kalau istri DR Pardomuan dan Arben Rizaldi hanya tahu mengejek kegiatan ayahnya bersama FDP, tapi ibu Mikail memonitor segala jenis kegiatan anaknya dengan baik. Seluruh perkembangan kegiatan anaknya dipahaminya secara mendalam. “Tidak…tidak usah ibu kawatir.” Justru program kerja yang dibangun oleh FDP akan mendukung perkuliahan kami. Bahkan akan memberi kami nilai plus karena di saat kawan-kawan masih belajar teori kemasyarakatan, kami sudah mempraktekannya.” Mikail memberi argumentasi menolak pendapat ibunya. “Yah,…semoga sajalah.” Ibu lebih banyak melihat sejarah orang yang bekerja di masyarakat, sementara kalian masih ingin membuat sejarah. Percayalah terhadap ucapan ibu.” Kemudian ibu pergi kekamar meninggalkan Mikail dan Tigor makan malam. “Selamat malam,” kata ibu yang kelihatan susah.

“Aku pikir ucapan Ibu tadi perlu kita renungkan dengan serius. Nampaknya dia tidak main main.” Kondisi Tigor agak tegang waktu masuk ke kamar Mikail.
“Ah! Tak usah terlalu kau pikirkan. Ibu itu kayak post power sindrom, apa yang ingin dilakukannya pada masa muda gagal semua. Mungkin akibat perkawinan dengan ayah. Mana mungkin mimpi calon seorang suster dapat terfasilitasi dalam kehidupan berumah tangga,” Mikail mencoba menganalisa sejarah hidup ibu. “Nah! Justru karena itu aku yakin analisanya tak meleset.”
Mikail pikir, beban Tigor merenungkan kata-kata ibu semakin berkurang setelah Mikail menjelaskan latar belakang ibu. Ternyata Tigor semakin percaya sama ucapan ibu.
“Mikail aku berharap skripsi sarjanaku judulnya ‘Gerakan Petani dalam Konteks Kekuatan Hukum di Trieste’. Walapun kita bikin skripsi 2 tahun lagi, tapi aku punya komitmen untuk tulis skripsi dari program FDP,” kata Tigor sambil berbaring menarik bantal. Rokok dihisapnya kuat-kuat dan, “Kapan lagi perguruan tinggi memaparkan aspirasi masyarakat kelas bawah secara orisinil dan ilmiah”.
Mikail terperanjat, dia tak sangka bahwa renungan Tigor sudah sedalam itu. “Aku dukung pikiranmu, Gor,” Mikail bersemangat. “Iya…bulan Juli mendatang aku tidak tidur di kamar kost lagi. Aku akan tidur di rumah kelompok tani yang menjalankan program kita.” Kembali lagi Mikail terkejut, “Jadi, kau tak kuliah? Nanti tak bisa ujian.” Mikail semakin khawatir membayangkan keberadaan kawannya Tigor. Sudah jenuh sekali rupanya Tigor dengan kondisi kampus. Padahal, status seorang mahasiswa sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat Trieste. Sebuah status yang disejajarkan dengan masyarakat lapis atas. Mahasiswa adalah kaum elite di masyarakat.
“Aku hanya titip absen saja sama kawan-kawan. Karena masuk perkuliahan itu tak ada ilmunya. Lebih baik kita baca buku wajibnya di rumah. Kemudian kita singkatkan buku itu, agar intisari bukunya dapat kita pahami. Masukan dari dosen ketika kuliah sama sekali tak ada. Jadi, percuma saja kuliah isi absen.” Tigor tarik lagi rokok kreteknya sekuat tenaga. Mikail terdiam tak bisa bilang apa-apa.
“Gor,.. Melihat kedekatanmu dengan keluarga kami, maka layaklah kami turut bertanggung jawab atas perkuliahanmu di hadapan keluargamu di Pangkoper. Apa yang kami bilang ke keluargamu kalau kuliahmu gagal?”
Mikail kelihatan panik memperhatikan Tigor yang seenaknya baring sambil tetap merokok.”Tak usah khawatir, aku akan langsung sampaikan maksudku ini ke kakak Rosita Dameria. Aku yakin dengan gampang keluargaku bisa mengerti,” kata Tigor dengan tenangnya.
“Justru aku tak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini ke ibumu. Dia bukan basa basi mengasihi aku. Kau dibelikannya kaos t-shirt yang cantik, aku juga dapat. Kita dua sudah tak dibedakannya. Aku takut mengecewakan beliau.” Tigor buka bajunya, diambilnya celana pendek Mikail dan dinyalakannya rokok untuk kesekian kalinya. Lantas keduanya terdiam. Sebuah persoalan besar mendominasi pikiran mereka.
Biasanya mereka menghabiskan malam bersama suara tape yang tiada henti. Tapi malam ini situasi diskusi cukup serius, seolah musik tidak boleh terdengar. “Okelah..Gor, aku tidur duluan.” Mikail peluk bantal guling dan melapis tubuhnya dengan selimut tipis membiarkan Tigor berbaring dengan isapan rokok kretek. Rokok para dukun kata kawan-kawan mereka.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 8

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #8

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 8
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Susanti gembira sekali mendengar Om-nya memelihara kontak komunikasi dengan kawan-kawannya di FDP. Sementara Tigor merasa bahwa kontak FDP dengan lembaga dana masih terlalu pagi. FDP harus menunjukkan eksistensinya bekerja di masyarakat lapis bawah, setelah itu baru layak menjalin kontak dengan lembaga dana. Armand yang sangat terobsesi untuk membiayai kuliahnya, tidak lagi mendapat subsidi dari orang tua, Arman merasa sangat riang hati. “Kalau sudah ada dukungan dana, maka kita tak perlu minta uang kuliah dari orang tua. Kita harus menjadi mahasiswa yang mandiri. Kiranya, tercapai kesepakatan FDP dengan Mukurata. Walaupun kita masih mahasiswa, tapi kita sudah menjadi orang yang profesionil bekerja di masyarakat. Sudah tak kalah dengan para dosen-dosen yang sok menggurui kita. Ha…ha..ha..” Armand tertawa sendiri membayangkan dirinya sudah menjadi orang yang profesionil.
DR Pardomuan hanya diam mendengarkan segala macam pendapat kawan-kawannya yang masih muda. Dia amati pola tingkah laku bicara kaum muda ini. Beliau cukup tekun mengamati perkembangan psykologis seluruh anggota FDP. Pernah satu waktu beliau lupa mengunci laci lemari kerjanya. Di situlah ditemukan Ucok, bahwa setiap anggota FDP punya map masing-masing. Pada map itu DR Pardomuan menuliskan segala hasil pengamatannya terhadap seluruh personil FDP. Panjang lebar dituliskannya kesan pribadinya pada setiap anggota. Ucok kagum dan terheran melihat ketekunan saudara tua mereka. Dan tak diceritakannya rahasia itu kepada orang lain. Dalam hati, Ucok berjanji akan mencontoh kebiasaan baik yang dipelihara saudara tuanya yang mengasihi mereka dengan sungguh – sungguh. Tekun menuliskan kesan apa saja yang diperoleh dalam realitas hidup sehari-hari pasti akan memampukan kita lebih tajam lagi menganalisa kehidupan sosial kemasyarakatan. Begitulah tekad mahasiswa yang tempramental itu.
“Panas panas taik ayam, sebentar lagi pasti dingin taik ayamnya.” Itulah kalimat yang sering dilontarkan Arman kalau mengejek Ucok.

Mukurata hanya dua hari di Rilmafrid. Dengan bahasa inggris yang sudah lancar, ia banyak berkomunikasi dengan DR Pardomuan dan Susanti yang menjadi juru bicara FDP. Bersama Mukurata FDP lebih banyak menghabiskan waktu membahas penulisan proporsal sesuai dengan standard Sabidaor Foundation.
“Sial! Aku tak lancar berbahasa inggris. Kalau aku lancar,pasti kutanya standard gaji yang ditetapkan Sabidaor,” kata Armand setelah pulang antarkan Mukurata ke airport.
“Dasar mata duitan,” Ningsih kesal mendengar Arman. Ibu dan Arben Rizaldi kali ini bingung menyimak pembicaran mereka. “Rupanya tamu mereka tadi adalah orang Taiwan yang akan memberikan mereka gaji bulanan,” kata Arben.
“Ah! Masyak! Dari mana mereka kenal orang itu dan kenapa pula dia mau memberi gaji kepada pendaki-pendaki gunung yang puncaknya kekonyolan?” Ibu merasa aneh. “Jangan-jangan kau salah dengar,” katanya pula pada Arben.
Sebenarnya Ibu adalah mahasiswa yang cerdas. Mery Anita namanya, dikenal sebagai kembang kampus yang banyak menarik simpatik kaum hawa. Tapi, ketika menulis skripsi, dosen pembimbingnya Drs Bachtiar Harjatmo ingin memperkosa Ibu waktu berkunjung ke rumah Drs Bachtiar Harjatmo yang ketika itu tak ada penghuni. Pulang dari rumah dosen, dibakarlah seluruh naskah skripsinya oleh Ibu. “Saya tidak mau lagi melanjutkan penulisan skripsi. Drs Bachtiar Harjatmo harus dipecat dari dosen fakultas sastra dan dijebloskan ke penjara selama 6 bulan.” Kata Ibu waktu itu. Memang sang dosen akhirnya masuk penjara sesuai dengan keinginan ibu.
Tapi, Ibu sudah tak selera lagi melanjutkan kuliah. Ibu frustasi dan hampir gila. DR Pardomuan-lah yang diminta keluarga untuk sabar tabah membujuk ibu agar memiliki gairah hidup. Intensitas jumpa yang cukup lama membuat mereka berpacaran. Kemudian menjalin mahligai rumah tangga sampai saat sekarang memiliki anak tunggal yang manja, Arben Rizaldi, sudah jadi mahasiswa semester 3 di akademi pariwisata.

“Aku sudah hampir satu jam di kantin tunggu kau.” Mikail jumpai Tigor sehabis kuliah. “Dosennya terlalu asyik memberi kuliah sehingga waktu terlewatkan setengah jam.” Lalu mereka sama sama diam menuju parkir motor. Akibat kesibukan di FDP, kedua mahasiswa ini tak punya kesempatan untuk bertamu ke rumah Susanti. Sudah lebih 2 bulan mereka tak pernah lagi menjumpai Susanti. Berkas proporsal untuk diajukan ke Sabidaor Foundation ada di ransel Mikail untuk diinggriskan Susanti. Sebentar mereka beli pisang goreng Bi Inah langganan tetap Tigor 2 tahun ini. Tapi, dekat simpang empat menuju ke rumah Susanti, ada kerumunan orang. Ada yang bawa pentungan, menggengam batu besar, buka baju muka bringas siap bertempur. Ada dua orang hanya pakai celana dalam dan kaus, badan penuh dengan bengkak. Tangan mereka diikat kuat pakai tali raffia. Mata lebam warna biru meneteskan darah kental habis dipukuli massa yang masih terkonsentrasi di tempat kejadian.
“Pak,.. ada apa Pak.” Mikail sangat ingin tahu.
“Ini dua polisi mau menangkap anak muda itu,” kata bapak setengah baya sambil tunjuk seorang anak muda. “Ketika berdiri mendekati motor anak muda itu, dari kantong celana polisi jatuh setumpuk daun kering ganja. Langsung saja anak muda yang ditangkap polisi itu memukul polisi dan berteriak memanggil semua orang yang ada di sekitar tempat kejadian.”
“Ooaaalllaahh.. mampuslah negara kita ini. Polisi pun sudah kantongi ganja. Mampuslah kita ini.” Mikail tak habis pikir, kenapa ada polisi yang ikut sindikat perdagangan ganja.

“Ah.., syukurlah kalian datang, aku sudah rindu mendengar kalian bertengkar.”
Susanti menyambut mereka dengan piring di tangan. Susanti sudah tahu, pasti mereka datang membawa pisang goreng.
“Iya,..kami juga rindu juga sama kau. Kami sudah tak pernah lagi nonton bioskop bersama. Otomatis tak ada topik pertengkaran kami.”
“Aku pun tak pernah lagi nginap di rumah Mikail.” Tigor juga tersenyum menyambut Susanti.
Kesan terhadap kedatangan Mukurata serta membayangkan keberadaan FDP menangani program yang didukung oleh Sabidaor menjadi topik hangat sore ini.
“Ah, si Mikail ini, namanya saja pacarku. Hanya datang malam minggu. Itu pun hanya sebentar. Tak pernah ada suasana romantic,” Susanti kesal.
Si Mikail hanya menundukan kepala pertanda mengaku kesalahannya di hadapan Susanti dan Tigor. Kondisi mereka sore ini agak tegang juga gara-gara pernyataan Susanti yang merasa status pacaran tak pernah dinikmatinya bersama Mikail. Setelah diam beberapa saat Tigor dengan lembut buka bicara,” Susanti, kalau bisa 2 hari ini proprsal kita sudah siap diinggriskan.”
Masih lemas Susanti menjawab Tigor,” Mudah-mudahan bisa. Soalnya seminggu ini aku janji membantu Evi, kawanku ngerjakan tugas kuliah.”
Suasana yang diharapkan cerah ceria ternyata berubah menjadi tegang dan kaku. Susanti memang sudah lama memendam rasa jengkelnya melihat tingkah laku Mikail yang tak punya perhatian untuknya.

bersambung…


Kisah Sebelumnya: Bagian7