Arsip Tag: john kuan

Tubuh buat Harimau Lapar

Gerundelan John Kuan

mural
Gambar disediakan oleh John Kuan

Mural ini berada di dalam gua nomor 254 di Dunhuang, berasal dari jaman Dinasti Wei Utara ( 386 -534 ), walaupun warnanya tidak begitu semarak, dan garis-garisnya tidak seluwes mural Dinasti Tang, tetapi dapat membuat orang merasakan semacam meluapnya keikhlasan pengorbanan diri berbalut duka. Warnanya kental, berani dan bebas, goresan kuasnya kasar dan agak kaku, bentuknya khidmat dan sederhana. Mural ini tidak kalah dengan Pengadilan Terakhir Michelangelo di Kapel Sistina. Keduanya sama-sama menggunakan jatuhnya tubuh dan perputarannya sebagai topik utama, tubuh yang jatuh bangun, alam yang kelam gelisah dalam biru lebam dan merah kecoklatan, seakan berada di dalam ruang dan waktu yang keruh gelap belum terkuak, tubuh bagaikan masih bingung terhadap keberadaannya. Pangeran Sattva di dalam mural ini sama seperti penebusan tubuh dalam Pengadilan Terakhir  Michelangelo, perenungan yang dalam tentang pertanyaan sulit terhadap hakiki hidup ——— bagaimana tubuh sadar? Dengan bentuk lukisan memaparkan pertanyaan filsafat, keduanya adalah karya agung, hanya saja pelukis di dinding gua 254 tidak meninggalkan nama, lebih awal seribu tahun dari Michelangelo, di dalam gua yang gelap, dan tetap saja merupakan gambar yang mencerahkan umat manusia.
Michelangelo berdasarkan Kitab Wahyu kepada Yohanes melukis Pengadilan Terakhir, mengisahkan keyakinan Yesus terhadap penebusan tubuh. Pelukis mural di gua 254 Dunhuang melukis Pengorbanan Tubuh buat Harimau Lapar berdasarkan Sutra Suvarnaprabhasottama ( Kitab Cahaya Emas ) yang waktu itu baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Han, dengan kisah Buddha sendiri menjelaskan pertanyaan berat tentang pengorbanan tubuh, keduanya memiliki mutu estetika yang sangat serupa.

***

Sutra Suvarnaprabhasottama atau dalam Bahasa Han disebut < 金光明经 – baca: Jin Guang Ming Jing > diterjemahkan oleh seorang biksu dari India Tengah bernama Dharmaksema, dan kitab ini dengan cepat menjadi populer di kalangan rakyat, menjadi salah satu kitab penting agama Buddha dalam penyebaran Dharma, juga menjadi dasar cerita pelukis yang menciptakan mural di gua 254. Dharmaksema ( 385 – 433 ) aktif di antara penghujung abad keempat dan awal abad kelima, dia dari India sampai dulu di Shanshan, lalu Kucha, kemungkinan menempuh Jalur Sutera Kuno, yang kini seperti Kashmir, Afganistan, Kizil, sekitar Korla, terus menelusuri Koridor Hexi, sampai di Dunhuang. Kaisar Liang Utara, Jugu Mengxun mengangkatnya menjadi penasehat, memintanya menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha, tetapi sesungguhnya Kaisar lebih tertarik terhadap segala macam jampi dan jimat serta kemampuan ajaibnya; waktu itu orang-orang percaya Dharmaksema dapat memanggil makhluk gaib menyembuhkan penyakit dan mampu membuat perempuan subur. Nama Dharmaksema kemudian tersebar luas, bahkan Kaisar pertama Dinasti Wei Utara Touba Tao mengandalkan kekuatan negaranya meminta Jugu Mengxun menyerahkan Dharmaksema, Jugu Mengxun sangka Dharmaksema telah bersekongkol dengan orang luar negeri, dan juga takut dia bekerja untuk orang lain, kemudian membunuhnya, waktu terbunuh usianya baru empat puluh delapan tahun.
Riwayat biksu-biksu penyebar agama Buddha dari India pada periode awal Dinasti Wei Utara sangat mirip legenda misterius, seperti Kumarajiwa ( sekitar 334 – 412 ), seperti Dharmaksema, mereka mengembara di dalam terpaan pasir kuning Jalur Sutera yang luas, dari satu kerajaan ke kerajaan lain, keluar masuk di antara hawa nafsu duniawi dan dharma Buddha, Dharmaksema melarikan diri dari Kerajaan Shanshan karena memiliki hubungan gelap dengan puteri raja, Kumarajiwa terakhir dipaksa Li Guang menikah, dipaksa memelihara sepuluh orang perempuan penghibur, arak dan hubungan badan telah menghancurkan pancasilanya. Konon dia pernah di depan banyak biksu menelan semangkuk jarum besi, membuktikan dirinya belum meninggalkan Dharma.
Mereka datang ke dunia demi menyebarkan Dharma, namun tubuh mereka akhirnya tetap tidak dapat menjaga vinaya di dunia, ikut terseret di dalam pertikaian hawa nafsu dan politik yang rumit, Kumarajiwa maupun Dharmaksema sama-sama bukan biksu yang menempuh jalan pencerahan dengan ketentuan yang dipegang umum, walaupun demikian, kitab-kitab Buddha yang diterjemahkan mereka sangat indah, terutama Kumarajiwa, terjemahannya masih terus dibaca hingga hari ini, bisa tanding indah dengan puisi-puisi Bahasa Han yang paling mempesona. Terjemahannya seperti Sutra Vajracchedika Prajnaparamita ( Kitab Intan ) bisa membuat pembaca tercengang, dia mampu mengubah pemaparan filsafat yang rumit dan sulit menjadi untaian kalimat yang puitis, sederhana dan berirama, seakan membaca puisi, tidak terasa sedang memahami kitab agama, menakjubkan. Dharmaksema jauh lebih muda daripada Kumarajiwa, tetapi Sutra Suvarnaprabhasottama ( Kitab Cahaya Emas ) yang diterjemahkannya kelihatan melanjutkan gaya terjemahan Kumarajiwa, menjalin narasi dan himne dalam satu tubuh teks, arti terjemahan Bahasa Han dan mantera Bahasa Sanskerta sama-sama dapat dipertahankan, sehingga menciptakan teks yang sangat unik. Sutra Prajnaparamita Hrdaya ( Sutra Hati ) dalam terjemahan Bahasa Han yang dibaca secara luas oleh pengikut agama Buddha di Asia Timur adalah contoh kitab yang mempertahankan arti terjemahan Bahasa Han dan nada Sanskerta, sehingga membaca teks adalah di antara memahami arti dan mendengar bunyi. Atau mungkin saat itu pengikut-pengikutnya bukan hanya orang Han saja, di sekitar Jalur Sutera Kuno adalah tempat berkumpulnya berbagai bangsa, Kumarajiwa dan Dharmaksema sendiri berasal dari India, kemudian menetap di berbagai daerah yang memiliki bahasa yang berbeda, sehingga mereka tetap mempertahankan keragaman bahasa.
Masa itu tidak banyak pengikut agama Buddha yang mengenal huruf, teks kitab biasanya dibacakan dan dijelaskan oleh biksu, sehingga Sutra Suvarnaprabhasottama yang diterjemahkan oleh Dharmaksema banyak menggunakan puisi empat kata selarik. Masa itu biksu membaca kitab untuk umat dengan suara tinggi, bahasanya jernih berdenting,:

Adalah tubuh tidak kukuh,
laksana buih di atas air,
adalah tubuh tidak bersih,
banyak berupa jasad cacing.
Adalah tubuh paling celaka,
urat melingkar darah menebar,
kulit tulang sumsum otak,
bersama-sama diuntai diikat.

Inilah pernyataan Pangeran Sattva sebelum mengorbankan tubuhnya, bagai nyanyian bagai ungkapan, umat dengan khidmat mendengar suara nafas yang datang dari rongga tubuh biksu, mungkin resonasi yang datang dari tubuh, jauh lebih memiliki daya pukau daripada membaca teks. Sutra Suvarnaprabhasuttoma terdiri dari sembilan belas bab, pada masa itu paling luas menyebar di masyarakat adalah bab Ikan-ikan Para Murid Jalavahana dan bab Pengorbanan Tubuh. Ini merupakan dua buah kisah yang dituturkan Buddha Gautama di Rajaha kepada muridnya tentang masa lalu hidup sebelumnya. Nidana masa lampau yang dibicarakan dalam kitab ini, dan mungkin tubuh kita, suatu hari juga merupakan sebab akibat masa lampau. Ikan-ikan Para Murid Jalavahana adalah ketika Buddha Gautama di hidup sebelumnya melihat air kolam mengering, sepuluh ribu ikan akan segera mati, dalam hidup itu dia sebagai Jalavahana bersumpah akan dengan dua puluh ekor gajah membawa air, menyelamatkan ikan-ikan itu.

***

Bab Pengorbanan Tubuh menceritakan tentang kisah Pangeran Sattva memberikan tubuhnya buat harimau lapar, alur ceritanya menyerupai novel, sangat memikat, dan pada masa itu telah menjadi topik lukisan yang beredar paling luas. Diceritakan bahwa Raja Maharatha memiliki tiga orang putera, putera pertama bernama Pranada, putera kedua bernama Deva, dan putera ketiga bernama Sattva. Mereka bertiga bermain ke hutan, bertemu dengan seekor induk harimau yang sedang melahirkan, ada tujuh ekor anak harimau yang terlahir, karena tidak makan, induk harimau tidak mampu menyusui anak-anaknya, tanpa makanan, induk harimau bersama anak-anaknya pasti akan mati kelaparan. Pranada memberitahu Sattva: ” Harimau ini hanya makan daging segar darah panas “.  Frasa ” daging segar darah panas ” membuat saya teringat kisah Raja Sivi mengerat dagingnya untuk dimakan rajawali, pengorbanan tubuh India Kuno selalu diawali dengan ” daging segar darah panas ” yang begitu nyata, dan kata-kata ini hampir tidak pernah ditemui dalam kitab-kitab Konghucuisme, tidak tahu waktu pertama kali diterjemahkan ke dalam Bahasa Han, apakah menimbulkan getaran hebat terhadap intelektual-intelektual Han pada masa itu?
Menghadapi sekumpulan harimau lapar, apakah ada orang mau mengorbankan tubuhnya untuk santapan mereka? Pranada berkata: ” Segala yang paling sulit dikorbankan, tidak lebih dari tubuh sendiri ” Adiknya, Deva menyambung: ” Karena terikat dan sayang pada tubuh sendiri, ketika melihat mahkluk lain menderita, walaupun iba tetapi tetap tidak mampu mengorbankan tubuh. Bab Pengorbanan Tubuh menggunakan cara penyampaian cerita yang sangat unik sehingga tiba-tiba sudah memutar ke dalam sumpah Sattva ——— ” sekarang aku mengorbankan tubuh, memang waktuku sudah tiba —— ”
Sebenarnya sangat sulit untuk mengerti alasan dan logika Sattva mengorbankan tubuh, bagi mereka yang dididik dan dibesarkan dalam tradisi Konghucuisme yang kental, misalnya diriku ini, manusia dan harimau adalah di posisi berseberangan, hanya ada  ” Wu Song Membunuh Harimau ” di dalam novel 108 Pendekar, tidak mungkin ada orang mengorbankan tubuh untuk menyelamatkan harimau.
Cerita dituturkan sampai di sini, pengikut-pengikutnya timbul keingin-tahuan yang mengerikan. Kenapa? Kenapa seorang pangeran muda yang hidup tenang dan bermartabat di istana raja, bisa timbul pikiran menggunakan tubuhnya untuk dimakan harimau. Di dalam kitab memang juga tercantum pertanyaan yang sama: Kenapa? Semua pendengar sedang menunggu jawaban.
Renungan Sattva bukan dimulai dari karuna atau welas asih kepada harimau, yang dia pikirkan adalah kondisi tubuh dia sendiri:

Menetap teduh di dalam rumah, pakaian tidak berhenti diberikan, makanan, tempat tidur, obat-obatan, gajah dan kuda, kereta, setiap saat disediakan, sehingga tidak kurang apa pun, aku tidak tahu berterima kasih, justru timbul keluhan yang membingungkan, namun tetap tidak terhindarkan kejatuhan yang tak terduga, adalah tubuh tidak kukuh, tiada keuntungan bisa dipetik, mencelakakan bagai pencuri ———

Seandainya mengorbankan tubuh ini, berarti mengorbankan tak terkira gerogotan cacing, segala penyakit, ratusan ribuan teror dan takut ———

Terhadap tubuhnya yang tidak kekal dia telah melakukan perenungan yang sangat dalam:

Adalah tubuh tidak kukuh, laksana buih di atas air, adalah tubuh tidak bersih, banyak berupa jasad cacing. Adalah tubuh paling celaka, urat melingkar darah menebar, kulit tulang sumsum otak, bersama-sama diuntai diikat ———

Pelukis mural di gua 254 mungkin juga ikut mendengar cerita ini, dia pasti juga terpikir tentang tubuh dia sendiri, begitu banyak risau gelisah, urat melingkar darah menebar, kulit tulang sumsum otak, tubuh yang demikian tidak kukuh sebenarnya buat apa?
Sattva takut kedua kakaknya melarang, terus meminta mereka pergi, dia sendiri kembali ke tempat harimau tergeletak, melepaskan baju, digantung di atas ranting bambu. Pelukis mural mendengar biksu menuturkan cerita, sambil merancang adegan Sattva.
Dia mulai di atas dinding kosong menggoreskan lekukan, Sattva berlutut di tanah, mengangkat lengan kiri, dan lengan kanan di dada, mengucapkan sumpah pengorbanan tubuh. Ada cukup banyak bagian yang dideskripsikan secara terperinci di dalam kitab, sebelum Sattva menjatuhkan diri dari tebing, tiba-tiba terigat induk harimau sudah beberapa hari tidak makan, lemah dan kurus, sudah tidak memiliki tenaga bergerak, sekalipun menjatuhkan dirinya dari tebing, mereka juga tidak mampu datang memakannya, maka Sattva memikirkan satu cara, dengan ranting bambu kering menusuk putus urat leher, agar darah mengalir keluar, sehingga harimau mudah mencicipi darahnya, memulihkan kekuatan tubuh, kemudian baru melahap dagingnya.
Ini mungkin satu bagian dari kitab yang paling membuat orang tercengang, mata pelukis mural mulai timbul airmata panas, dia mungkin tenggelam ke dalam renungan ——— ” Rupanya ingin mengorbankan diri perlu sumpah yang demikian ganas! ” Di dinding kosong pelukis mural menarik garis-garis untuk membentuk gambar Sattva yang pertama: Tangan kanan sedang memegang ranting bambu menusuk lehernya, tangan kiri diangkat tinggi-tinggi, dilanjutkan dengan gambar kedua, gerakan terjun dari tebing.
Menurut cerita, masa itu di dalam gua sangat gelap, cahaya tidak bisa masuk, pelukis gua kadang-kadang menggunakan lilin dan obor untuk penerangan, tetapi kadang-kadang di bagian gua yang paling dalam, karena oksigen tidak cukup, tidak mampu menyalakan api, juga takut asap lilin menghitamkan dinding, sehingga mereka sering menggunakan sekeping cermin untuk memantulkan cahaya luar, cahaya dari cermin itu berkedip di atas dinding gua, lalu pelukis-pelukis ini menciptakan mural di dalam sekeping cahaya yang berkedip itu.
Sattva merapatkan kedua telapak tangan di dada, terjun ke bawah, gayanya persis seperti perserta olahraga selam masa kini, tubuh mudanya telanjang, di lengan tangan ada gelang, tubuhnya yang semula berwarna merah muda, karena termakan usia, berubah menjadi warna cokelat tua, garis-garis lekukan juga teroksidasi menjadi hitam dan kasar, tubuh ini seperti harus mengalami siksaan waktu di dalam kehampaan, berbintik berkerut, setitik-setitik lumer, hilang, musnah, namun sebelum semua akhirnya kembali menjadi mimpi ilusi gelembung bayang, masih ada yang terakhir dipertahankan, freeze frame menjadi sekeping jejak yang tidak ingin hilang di atas dinding gua.
Pelukis mural menggunakan cara ini menyelesaikan tiga tindakan Sattva yang berturut-turut, ” bersumpah sambil menusuk leher “, ” menerjukan dirinya dari tebing “, ” mengorbankan tubuh dimakan harimau ”
Waktu yang membeku di dalam lukisan seakan bumi bergetar hebat, latar belakang tubuh Sattva adalah alam dengan gunung dan sungai berwarna hijau batu dan merah kecoklatan yang timbul tenggelam.
Pencapaian kesenian gua Asia di sekitar abad kelima adalah titik puncak tertinggi dalam sejarah kesenian dunia, namun pelukis-pelukis yang tidak kita kenal ini, telah meninggalkan karya mereka yang cemerlang di dalam gua gelap, dan ini mungkin hanya salah satu cara pertapaan dengan tubuh mencapai pencerahan.
Setiap pelukis mural Dunhuang mungkin adalah Pangeran sattva, tubuh terbaring di dalam waktu yang kekal, biarkan harimau datang mencicipi. Beberapa tahun terakhir ini gua Dunhuang memperlihatkan tempat tinggal pelukis-pelukis gua masa itu, tempat tinggal mereka adalah gua batu yang lebih kecil dan sempit daripada gua tempat mereka menciptakan mural, ketika malam tiba, tubuh yang telah bekerja seharian, hanya bisa meringkuk di dalam gua yang kurang lebih sebesar keranda batu tidur, atau mungkin wajah mereka yang kurus akan berubah menjadi wajah tawa yang penuh di dalam mimpi.
Freeze frame Sattva yang terakhir adalah terbaring di atas bumi, seekor induk harimau sedang mencicipi bagian pinggangnya, dua ekor anak harimau sedang menikmati pahanya. Tubuhnya seperti gaya tarian yang indah, satu tangan menjulur ke belakang, muka menghadap langit, persis seperti patung Pieta Michelangelo dengan Yesus yang terbaring di dalam dekapan Bunda.  Kitab mengatakan ibu Sattva di dalam mimpi dapat merasakan anaknya mengorbankan tubuh, ibunya di dalam mimpi:

Kedua payudara mengeluarkan susu, seluruh sendi tubuh, sakit bagai ditusuk jarum,

dan ini:

Kedua payudara dikerat, semua gigi rontok

Sastra India yang baru menyebar ke dataran Cina begitu kental rasa, sama seperti mural masa itu, penuh warna, cinta dan benci saling mengikat bertempur, kesadaran tubuh seluruhnya ada di sana.

***

Pertama kali melihat mural ini sekitar lima belas tahun yang lalu dalam sebuah jiplakan di atas kertas ukuran 50cm X 50cm di sebuah pasar malam Cap Goh Meh dekat Bugis Junction, Singapura. Penjualnya masih muda, datang dari Provinsi Gansu, Cina, dia terus menceritakan mural-mural yang dia jiplak dari gua-gua Dunhuang, dia mengatakan bahwa sudah tidak banyak lagi orang yang menguasai teknik lukis ini, saya samasekali tidak berani menyangkal. Lalu dia berkata bahwa hasil semua lukisan ini untuk membantu penelitian gurunya, seorang pelukis dan peneliti senior gua Dunhuang, yang ini saya juga tidak berani terlibat. Akhirnya saya memberanikan diri berterus terang bahwa saya sesungguhnya sangat menaksir sepasang sepatu dari tali rami yang digantung di dinding kiosnya.
Sepatu ini sangat mirip dengan yang biasa dipakai biksu-biksu yang mengembara ke tanah barat mencari kitab dalam lukisan-lukisan kuno. Alasnya adalah beberapa lapis kain dan potongan kertas, begitu juga bagian belakang dan depan sepatu, dan sisanya adalah rajutan tali rami kasar, kelihatan cukup kuat untuk menempuh perjalanan sepuluh ribu li. Tetapi setelah saya timbang-timbang sepatu tali ini di tangan, ternyata sangat ringan, sangat sulit membayangkan Faxian, Yijing, Xuanzhuang memakai sepatu ini menempuh perjalanan yang begitu jauh.
” Sepatu begini paling cocok untuk menempuh gurun pasir, ” pemilik kios langsung tahu apa yang saya ragukan, ” ketika kau menginjak ke dalam pasir, kau akan tahu nilai yang diwariskan ribuan tahun, alas sepatu ini tidak lengket, tidak licin, seperti menjadi bagian dari pasir. Saat kaki diangkat melangkah, butiran pasir akan mengelincir keluar dari sela-sela rajutan tali, kaki tetap kering dan bersih, tidak ada pasir yang melengket, ringan, lembut dan sejuk ”
Dalam hidup ini saya jarang membeli sesuatu yang benar-benar berguna, hari itu saya merasa telah diberi kesempatan, walaupun kemudian di tangan saya nasib sepatu ini sangat sulit terduga, bahkan saya sendiri sudah lupa di mana dia ditinggalkan, tetapi malam itu, di dalam kamar hotel, badan letih, hilang niat tidur, telanjang kaki duduk di lantai, tarik nafas coba istirahat. Di dalam pikiran timbul ketiga adegan Sattva, terbayang kakinya yang telanjang, sepasang sepatu rami itu ada di depan mata, tiba-tiba seakan-akan pernah mengenalnya, mungkinkah begini juga boleh disebut nidana masa lampau?

Kembali ke Dalam Cahaya

Oleh John Kuan

Saartjie Baartman lahir pada tahun 1789 di tepi sungai Gamtoos
Pada jaman kekuasaan laut sedang pasang naik, awalnya dijadikan
budak di pertenakan orang Belanda, kemudian karena bentuk alat kelamin,
lalu dibawa ke sirkus di Paris dan dilatih oleh pelatih binatang
bersama hewan-hewan lain. Setelah meninggal, tulang-belulang
dan sebagian organ direndam formalin dan dipamerkan sebagai makhluk
aneh oleh peradaban Barat lebih dari seratus tahun, hingga 2002
arwahnya baru dikembalikan ke kampung halaman. Pemimpin suku Khoisan
meletakkan di atas kerandanya sebuah busur, dan sebatang anak panah
patah, dan renungan ‘ perdamaian ‘ dan ‘ hak asasi manusia ‘ masih terus
berlanjut……

Bersama roh. Akhirnya kau kembali ke dalam nyanyian
bahasa ibu di tepi sungai Gamtoos, dengar
sepuluh ribu tebing terjal mengitari lembah sungai
dengung pemburu menguak hutan di kaki gunung
inilah maklumat puakmu peroleh dari dalam nafas,
nyanyian suci pada cahaya. Milik Afrika, milik macan tutul
Macan tutul juga mewakili satu nyanyian pulang
di sisi lain padang rumput, sebab berpisah maka luas
Sebab cinta, kemarin dan hari ini baru bermakna
Bibir dan bibir baru dapat mengucap nama bersuhu hangat
menyanyikan lagu tua tapi iramanya berjalan seiring kita.

Kau lihat, pohon ek tua dari masa kanak-kanak
baru selesai membangun sebuah sarang
Apakah bulat telur wajahmu sudah menemukan tempat
berehat di sana. Aku melihat, sinar matahari mengeram
keluar sayap lebih besar dari cahaya, lembut
berpijar, bukan lagi patung gipsum hitam
bukan lagi malam tak bertepi sebagai material
waktu mengumpal jadi Venus Hitam
Oleh sebab itu, mata dikembalikan kepadamu
agar kau melihat tanah air sendiri
Andaikan pohon ek harus diproses jadi gabus
juga dapat mengikuti berbagai anggur dan bau tubuh
bukan menyumbat jiwamu, telingamu.
Oleh sebab itu, telinga dikembalikan kepadamu
agar kau mendengar nyanyian tua
puakmu akan menginjak keluar irama
menginjak keluar bayang dan warna kulit sendiri
warna kulit dikembalikan kepadamu
agar kau sungguh menikmati cinta, bebas dan setara

Rasa dan jiwa, seluruhnya dikembalikan kepadamu

Akhirnya pulang, sudah seratus tahun lebih
setiap ruas tulang setiap malam mengetuk rasi bintang
sekalipun tidak bisa memecahkan kaca dingin Museum Nasional
Perancis, setidaknya diketuk jadi sederet peta laut HAM
dan kerangka tulangmu sebagai kompas, sebagai titik koordinat
di jaman kekuasaan laut sedang pasang
di jaman ikan terbang dan burung laut juga bisa menyalahkan penyair
Romantisme adalah ombak menggulung di angkasa
dan kampungmu, di angkasa seperti ada seekor macan tutul
sangat tenang, berbaring melihat keyakinan disalin ulang awan hitam
dan organmu, bersembunyi di dalam formalin yang lebih kelam dari hutan

Dari selembar kertas kebohongan
memulai perjalanan pergi, dan semua kebohongan telah dijual-beli
adalah sebuah kisah yang sudah ditenggelamkan jangkar
bagasi hanya berisi sakit, satu-satunya teman adalah tangan menggenggam
tajam bulan sabit. Sangat pasti, Dia menggunakan bahasa paling lurus
agar kau mendengar maut, bahkan sebagai teman karib satu perahu

Tapi itu bukan kebenaran.

Akhirnya kau pulang, bersama puakmu berterima kasih kepada hewan
mempersembahkan tubuh mereka sebagai makanan,
dua tangan menyentuh dada lalu istirahat,
tidak perlu tegak menjadi dinding lembah
tiada formalin yang mesti bertanggung jawab
kepada politik, akhirnya kau juga bisa membuka tabir seluruh malam
bagai lengkung tali busur
pada bintang sirius melintas di atas padang rumput
memburu seekor mimpi kehilangan tanduk

Terhadap masa lalu, dunia seolah-olah tidak bisa melihat atau mendengar
tulang belulang waktu, hanya mungkin di tengah jalan cerita memilih lupa
Lupa terhadap hewan istimewa yang dijinakkan di sirkus tahun itu
Sudah lebih dari seratus tahun, ada orang menerka
dia adalah herbivora. Aku berkata bukan
Kalau tidak, peradaban bagaimana bisa begini melukai orang

Olokan dan sindiran mereka waktu itu berasal dari dagingmu
Penjelajah tidak tahu, belahan selatan dan belahan utara memiliki tangkai
yang sama, menunggu hadirnya milenium yang sama
Atau menunggu fajar menyingsing yang sama?
Waktu memanjangkan lehernya, jatuh ke bumi adalah batok kepala
adalah cinta, dan juga sering dimaafkan
seperti perdamaian yang sering kita kulum di mulut
Tidak boleh disangkal simbol luka sepanjang hayatmu terlalu berat
Saatrjie Baartman, sekali lagi menyebut namamu
seluruh suku kata telah menggilukan gigi berlobang
pasti bukan karena manis, mungkin selepas membaca doa lupa berkumur

Benar. Kita masih belum kembali ke dalam cahaya
sebuah busur, sebatang anak panah patah
apakah dunia sejak ini akan gila kehidupan, gila perdamaian?

Ranting mencakar ke segala arah
ketika sinar matahari pertama pelan-pelan melebarkan
sayap, pelan-pelan bernafas di bawah pohon esok
Apakah kita juga menemukan arti bernafas?
Hari ini kabut menyelubung
hawa kelam seperti penunggang abad pertengahan
dari dalam hutan menghunus keluar sebumi daun gugur
dia bersiul bunga mawar, ke arah menanjak bersujud
agar aku mengajukan seorang gadis
suci dan akrab, lalu diberi nama Cahaya
parasnya persis seperti gadis yang suka bertanya di dalam kelas
juga bisa seperti seorang penari
di ujung kaki menemukan janji danau kepada angsa putih
atau, seperti selembar kertas warna berulang kali salah dilipat
atau lebih mirip sebuah akordion di tangan seniman jalanan
berubah jadi irama di dalam cahaya, mengitarinya

Membaca Puisi Mbeling Meng Jiao (751-814)

Gerundelan John Kuan
Sambungan dari Dunia Tang yang Dingin dan Pahit di dalam Puisi Mbeling Meng Jiao ( 751 – 814 )

dunia dinasti tang
Gambar diunduh dari mw2.google.com

Nyanyian Perpisahan

Awan putih mengayut di gunung pinus,

kiambang sungai terpencar dibawa arus.

Awan pergi ada kalanya terbang kembali,

air berpisah tiada muara bertemu lagi.

Hamparan rumput musim semi letihkan mata,

pemandangan ini membuat badan lunglai

Dedalu sedang mengayam pilu perpisahan

ah, bahkan lebih seribu sulur ikut berjuntai

古离别

松山云缭绕,萍路水分离。

云去有归日,水分无合时。

春芳役双眼,春色柔四支。

杨柳织别愁,千条万条丝。

Nyanyian Si Anak Hilang

Benang di tangan lembut ibunda,

adalah baju di badan si anak hilang.

Sebelum berangkat dijahit rapat-rapat,

risau si anak terlambat ingat pulang.

Siapa bilang tunas rumput seinci

mampu membalas cahaya satu musim semi?

游子吟

慈母手中线,游子身上衣。

临行密密缝,意恐迟迟归。

谁言寸草心,报得三春晖。

Keluhan

Coba adu airmataku dan airmatamu,

di dua tempat menetes ke air kolam.

kita akan lihat bunga lotus tahun ini,

demi siapa mati direndam asin

古怨

试妾与君泪,两处滴池水。

看取芙蓉花,今年为谁死。

Nyanyian di Tepi Kolam

Di tengah kolam daun ekor kucing bagai selendang, chesnut air matang

ungu bertanduk, bongkol lotus penuh dan montok. Gadis bergaun sutera

selendang setipis sayap tonggeret bersandar, angin disambut sampan

dikayuh, sepasang-sepasang burung cendet kaget terbang ke timur

临池曲

池中春蒲叶如带,紫菱成角莲子大。

罗裙蝉鬓倚迎风,双双伯劳飞向东。

Suatu Hari di Musim Semi

Tetes hujan jatuh, rumput berhambur

keluar sambut, sehari makin panjang sehari

Angin meniup sulur-sulur dedalu gemulai

bergoyang, satu ranting bersambung satu ranting

Hanya dia berwajah galau, sebelah mata

memandang musim semi. Mari tuangkan

arak hingga cawan meluap, nyanyikan

nada setengah tawa, setengah gila.

春日有感

雨滴草芽出,一日长一日。

风吹柳线垂,一枝连一枝。

独有愁人颜,经春如等闲。

且持酒满杯,狂歌狂笑来。

Renungan Musim Gugur

( 15 nomor pilih 6 nomor )

1.

Tulang sepi ini sulit lelap di malam.

Nyanyian serangga saling menyayat

Tangisan renta sudah lama kerontang,

tinggal embun musim gugur menetes untuknya

Masa muda sekejap tercecer, bagai di mata

gunting, dan tua datang seperti menenun

tak bertepi, aku menyentuh ujung benang.

Hati tanpa riak baru, kenangan merayap pilu

Bagaimana tega naikkan layar ke selatan lagi,

mengembara gunung dan sungai masa lalu

2.

Wajah bulan musim gugur berwarna dingin,

semangat seorang pengembara tua disapu tipis.

Embun gigil jatuh menetes koyak mimpi, angin

bergerigi menyisir ke dalam tulang, dingin

tikar penuh cap stempel sakit, segulung-gulung

risau berputar di dalam dada terpilin. Takut ini

tiada ruang bersandar lagi, seperti hampa

aku mendengar suara dari antah berantah

Pohon wutong meranggas, ranting bergesek

suara menggema bagai ratapan kecapi

4.

Musim gugur tiba, aku makin tua dan miskin

gubuk bocor bahkan hilang daun pintunya

Sekeping bulan jatuh di tepi di ranjang, dinding

membiarkan angin menyusup ke dalam baju

Mimpi renggang tidak lagi bergerak jauh,

hati rapuh ini mudah menemui jalan pulang

Bunga di ujung musim siap berpisah daun

hijau, gemulai memamerkan bias warna terakhir

Kian jarang bawa hati menginjak setapak dusun,

derita badan ingin mengelabui segala benda

Serangga bersembunyi di antara batang dan akar

rumput, gairah hidupmu lemah seperti aku

6.

Tulang tua takut bulan musim gugur, bulan

musim gugur tajam dingin seperti mata pisau

Seutas tipis cahayanya tidak juga menolong,

dan roh dingin duduk membeku, Chang’er sepi

bersarang di atas sekeping cermin gantung

di langit, angin dewata menggoncang es

terapung, takut langkahku goyah tergelincir

derita ini terlalu luas, tidak tabah lewat melangkah

Terbangun dalam cahaya pucat, sendiri

di atas ranjang, rebah di dalam teror hati:

bagai dibasuh dalam sungai, walau tiada air

tetap menembus keruh tubuh jadi bersih dan bening

Tentang puisi bertenaga, itu percakapan kosong

masa lalu, kini ikut rapuh, di mana bersandar aku?

8.

Tahun berakhir di dalam satu dunia kerontang,

angin musim gugur memulai suara gesek pedang

dan perisai, suara jengkerik merajut risau

tiada baju dingin, percuma menjerit dan menjerit

sendiri, di tengah malam angin musim gugur diasah

kian tajam, langkah goyah melumpuhkan jalan depan

Begitu dipangkas, rambut hitamku seperti taman

musim gugur: tidak pernah tumbuh kembali

Masa kecil adalah kunang-kunang mampir di mata

lapar, berpijar sekejap dan tidak pernah berkedip lagi

Sekokoh puncak gunung, orang mulia bertahan

manusia picik bercakar demi seutas benang dan bulu

Makin berebut makin terkuras hidup mereka.

Sebab Tao Langit melarang kepenuhan

9.

Embun dingin penuh pilu menetes kecewa,

angin di dahan kering berbisik dan merintih,

musim gugur telah dalam: bulan pahit kian jernih

serangga tua sedang memperagakan nyanyian kalem

Mutiara merah tergantung dari dahan ke dahan,

bunga krisan agak malas emaskan setiap tempat.

Pohon dan bunga siap menjawab isyarat musim,

bunga-bunga mekar dalam dingin, bagai sisa musim

semi, aku meratap hidup jatuh berserpih,

dan adakah sesuatu seperti hatiku di sini?

秋怀

孤骨夜难卧,吟虫相唧唧。

老泣无涕洟,秋露为滴沥。

去壮暂如翦,来衰纷似织。

触绪无新心,丛悲有馀忆。

讵忍逐南帆,江山践往昔。

秋月颜色冰,老客志气单。

冷露滴梦破,峭风梳骨寒。

席上印病文,肠中转愁盘。

疑怀无所凭,虚听多无端。

梧桐枯峥嵘,声响如哀弹。

秋至老更贫,破屋无门扉。

一片月落床,四壁风入衣。

疏梦不复远,弱心良易归。

商葩将去绿,缭绕争馀辉。

野步踏事少,病谋向物违。

幽幽草根虫,生意与我微。

老骨惧秋月,秋月刀剑棱。

纤辉不可干,冷魂坐自凝。

羁雌巢空镜,仙飙荡浮冰。

惊步恐自翻,病大不敢凌。

单床寤皎皎,瘦卧心兢兢。

洗河不见水,透浊为清澄。

诗壮昔空说,诗衰今何凭。

岁暮景气干,秋风兵甲声。

织织劳无衣,喓喓徒自鸣。

商声耸中夜,蹇支废前行。

青发如秋园,一剪不复生。

少年如饿花,瞥见不复明。

君子山岳定,小人丝毫争。

多争多无寿,天道戒其盈。

冷露多瘁索,枯风晓吹嘘。

秋深月清苦,虫老声粗疏。

赪珠枝累累,芳金蔓舒舒。

草木亦趣时,寒荣似春馀。

悲彼零落生,与我心何如。

Sungai Dingin

( delapan nomor pilih empat )

1.

Embun beku membasuh warna air

bening, tampak Sungai Dingin berkedip sisik.

Berdiri di tepi cekung cermin hampa,

memantul tubuhku goyang berserpih.

Ini terlalu jernih buat menyembunyikan

diri, terlihat di dasar cahaya berpijar kembali,

bening terbuka seperti sebuah hati bersih,

pernah juga menenggelamkan nurani

Terang dimulai, hati sederhana dan dangkal

malam membeku dan pagi telah cair meluap

Segenggam penuh, hijau terang bersihkan

seribu debu gelisah di tempat jauh. Sekali

langkah berlumpur masuk ke sungai, sulit

seperti mata air di gunung, mengalir murni

3.

Pagi mencicip secawan arak, injak salju

lewati Sungai Dingin kristal. Ombak beku

seperti mata pisau, menyayat itik liar

membelah angsa. Burung-burung menginap

semalam, menyisakan bulu-bulu berceceran,

gelegak darah telah terkubur di lumpur

dan pasir. Aku berdiri sendiri, hilang kata,

diam-diam baca ngilu mengiris hati.

Darah beku jangan menjelma tanah musim semi,

sebab tunas-tunas akan tumbuh terluka.

Darah beku jangan merekah jadi bunga, kau

mekar dan airmata janda akan menetes.

Begini hening, dusun penuh tanaman berduri,

ladang beku dan mati, sulit membajak di sini.

4.

Pengayuh perahu membuka sungai beku, dayung

menerbangkan serpihan giok, berkedip sepanjang jalur

bagai kunang-kunang. Dan retak es menjerit dingin

hingga ke dasar, sudut bibir pemburu lapar memohon

amis ikan tersembunyi. Gigi gemeretak menggosok

serpihan es, lonceng bergetar pilu di dalam angin.

Seluruh kesedihan begitu jernih —— tak terhindarkan,

mendadak telinga bagai bisa menangkap suara terkecil

dibasuh air dingin. Perahu bergerak, riak hijau hilang

membeku, jas warna pengayuh perahu mengibas

di dalam angin. Sebentar turun tergelincir di atas es,

sebentar naik ke perahu kandas, begini tiada

henti, terluka, menyerit dan merintih,

meratap langit: bila semua akan berakhir?

8.

Angin meniup, meleraikan sisa-sisa beku, sungai

mengantar cerah musim semi kembali ke bumi.

Bunga menetes, menetes bagai giok mencair,

naga menggeliat lepas, sisik-sisiknya berkilau.

Aku melangkah turun di sisi teluk, awal musim

salju cair dan air wangi, di ujung dermaga aku

membasuh diri. Jauh, seribu li lapisan es retak

terbuka, mencicipi sesendok penuh kehangatan

hati. Intisari beku sudah mencair, saling membasuh

saling berebut membentuk selingkar-selingkar hidup baru

Tiba-tiba, bagai seluruh luka pedang telah sembuh,

dan tubuh seratus medan perang tegak kembali

寒溪

霜洗水色尽,寒溪见纤鳞。

幸临虚空镜,照此残悴身。

潜滑不自隐,露底莹更新。

豁如君子怀,曾是危陷人。

始明浅俗心,夜结朝已津。

净漱一掬碧,远消千虑尘。

始知泥步泉,莫与山源邻。

晓饮一杯酒,踏雪过清溪。

波澜冻为刀,剸割凫与鹥.

宿羽皆翦弃,血声沉沙泥。

独立欲何语,默念心酸嘶。

冻血莫作春,作春生不齐。

冻血莫作花,作花发孀啼。

幽幽棘针村,冻死难耕犁。

篙工磓玉星,一路随迸萤。

朔冻哀彻底,獠馋咏潜鯹.

冰齿相磨啮,风音酸铎铃。

清悲不可逃,洗出纤悉听。

碧潋卷已尽,彩缕飞飘零。

下蹑滑不定,上栖折难停。

哮嘐呷喢冤,仰诉何时宁。

溪风摆馀冻,溪景衔明春。

玉消花滴滴,虬解光鳞鳞。

悬步下清曲,消期濯芳津。

千里冰裂处,一勺暖亦仁。

凝精互相洗,漪涟竞将新。

忽如剑疮尽,初起百战身

Sekedar Buat Jia Dao

( Dua nomor, pilih satu )

1.

Musim gugur di Chang’an bunyinya garing,

daun-daun pohon saling menjerit pedih.

Ada satu biksu kurus seperti tidur di balok es

menggigil, baca puisi menahan sobek bibir.

Luka sobek ini bukan disayat pedang perang

hanya dia suka menguyah kata-kata tajam.

Tulang puisinya lebih kurus dari Meng Jiao,

dan ombak sajaknya segemuruh Han Yu

Langkahnya kadang miring kanan kadang miring

kiri, orang sering terkejut oleh biksu bangau ini

Sayang sekali Li Bai dan Du Fu telah mati,

belum pernah melihat ada biksu sesinting ini

戏赠无本

长安秋声干,木叶相号悲。

瘦僧卧冰凌,嘲咏含金痍。

金痍非战痕,峭病方在兹。

诗骨耸东野,诗涛涌退之。

有时踉跄行,人惊鹤阿师。

可惜李杜死,不见此狂痴。

Bangau Subuh

Lidah bangau subuh memetik irama

kuno, bunyi doa-doa kitab Brahmana

Kau seharusnya melantun nada Langit,

tidak usah mencari di dalam debu dunia.

Segala mimpi di kehampaan akan putus,

ah, dambaan ini bagaimana dikekang.

Laksana membuka mulut bulan yang sepi,

seperti berbisik hati bintang gemintang.

Jika bukan nada alam manusia, sungguh

sia-sia kau menjelma jadi burung duniawi

Atau lebih baik terbang beriring pergi

hinggap di kedalaman sarang biru langit

晓鹤

晓鹤弹古舌,婆罗门叫音。

应吹天上律,不使尘中寻。

虚空梦皆断,歆唏安能禁。

如开孤月口,似说明星心。

既非人间韵,枉作人间禽。

不如相将去,碧落窠巢深。

Nyamuk

Malam Juni tengah berehat,

nyamuk lapar masih sibuk berputar.

Hanya ingat mencari darah kental,

tidak tahu hidupnya rapuh dan ringan!

Sungguh demi diri ini siap menyesal?

Curi setetes kehidupan mengisap manusia.

Aku sudi menjadi kelambu dunia,

buat pemandangan damai di satu malam.

五月中夜息,饥蚊尚营营。

但将膏血求,岂觉性命轻。

顾己宁自愧,饮人以偷生。

愿为天下幮,一使夜景清。

Ratapan Ngarai

( sepuluh nomor pilih empat )

2.

Di atas langit air di bawah langit air,

satu perahu keluar masuk bumi

Pedang batu saling tebas menusuk,

ombak pecah batu, naga garang amuk

Bunga musim lalu masih tersisa, angin

beku menggigilkan musim gugur purba

Suara misterius berbisik di dalam gua

lalu terbang mengerebuti laju arus

Matahari terbenam dan ratapan ikut

tenggelam, adakah ingin aku tuturkan?

4.

Ngarai kocar-kacir meraung, suara jernih

dan tajam, lahir mengelepar di batu

jadi sisik sisik segar, menyembul air liur

hujan amis, berembus jadi selobang

perigi hitam. Cahaya aneh menjilat segala rupa,

pedang-pedang lapar sudah lama siaga.

Usus purba ini masih belum kenyang, gerigi

abadi gemeretak di tebing-tebing amarah

Air terjun dikunyah keluar dari Tiga Ngarai

suara Tiga Ngarai saling menyikut, mengeram

7.

Tanduk-tanduk ngarai menggores matahari

dan bulan, matahari dan bulan disayat putus

cahayanya. Segala benda tumbuh miring

di sini, burung-burung juga terbang miring.

Bebatuan di bawah air saling menggigit,

roh-roh tenggelam tidak bisa dipanggil.

Ikan-ikan timbul hilang bagai baju zirah sungai

jernih, berkilau jubah lumut batu hijau giok.

Air terjun dengan lahap menelan, membahana

seperti air liur dikunyah berputar menjadi buih

Jangan mengembara ngarai di musim semi:

hanya mencuat sedikit rumput lemah dan amis.

10.

Burung hantu memanggil suara manusia,

naga mengisap gelombang hempas gunung.

Bisa juga di tengah terang hari, memikat

keheningan langit cerah angin bersahabat

pikiran terkejut, risau segala kehidupan

mengumpul amis di dasar kedalaman

tertutup tanaman merambat. Taring-taring

air terjun tanpa dasar menyobek, ludah

muncrat ke segala arah. Burung tidak bersarang

di pohon miring, siamang melompat

berpapasan di dahan. Ratapan ngarai jangan

didengar, ngarai berkata: buat apa mengeluh

峡哀

上天下天水,出地入地舟。

石剑相劈斫,石波怒蛟虬。

花木叠宿春,风飙凝古秋。

幽怪窟穴语,飞闻肸蚃流。

沉哀日已深,衔诉将何求。

峡乱鸣清磬,产石为鲜鳞。

喷为腥雨涎,吹作黑井身。

怪光闪众异,饿剑唯待人。

老肠未曾饱,古齿崭岩嗔。

嚼齿三峡泉,三峡声龂龂。

峡棱剸日月,日月多摧辉。

物皆斜仄生,鸟亦斜仄飞。

潜石齿相锁,沉魂招莫归。

恍惚清泉甲,斑斓碧石衣。

饿咽潺湲号,涎似泓浤肥。

峡青不可游,腥草生微微。

枭鸱作人语,蛟虬吸水波。

能于白日间,谄欲晴风和。

骇智蹶众命,蕴腥布深萝。

齿泉无底贫,锯涎在处多。

仄树鸟不巢,踔ez猿相过。

峡哀不可听,峡怨其奈何。

Aprikot Mati Muda

( sembilan nomor pilih enam )

Aprikot mati muda, masih kuncup

Embun beku mengguting mereka luruh,

serpihannya membuat aku meratap anakku

telah lama pergi, demikianlah aku menulis puisi ini

1.

Jangan membelai mutiara, O tangan dingin

beku, mutiara dibelai mudah terbang luruh

Embun beku jangan mendadak sayat musim

semi, musim terluka ini segera hilang pijar

Kuncup-kuncup bunga kecil gugur berserak

dalam warna-warni terkenang baju bayiku

Sudah kukutip namun tidak penuh segenggam

dan senja tiba, sedih hampa, kubawa pulang

2.

Memungut bintang di tanah kehampaan,

tidak tampak bunga tersisa di ujung ranting

adalah sedih dan duka: seorang lelaki tua

sendiri, sebuah rumah tiada anak merintih pedih

Bagaimana bisa serupa itik terjun ke dalam air?

tidak juga seperti gagak kumpul ranting buat sarang:

ombak menghempas, anak itik mudah kepak sayap

dan terbang, gagak kecil angkuh memanggil

di dalam angin. Bunga dan bayi tidak akan kembali

dalam sebuah dunia dikosongkan sedih, aku meratap

3.

Ini mesti seuntai airmata yang sama,

menusuk ke jantung pohon musim semi;

ranting demi ranting tidak ada mengikat jadi

bunga, sekeping-sekeping jatuh di mata gunting

Umur musim semi tidak pernah panjang, memang,

namun ratapanku pada embun beku sudah terlalu

dalam. Seharusnya di sungai mandi bunga harum

hari ini airmata membasuh ujung lengan baju

5.

Takut langkahku bisa menyakiti bumi,

melukai akar di bawah pohon berbunga ini.

tapi Langit tidak bisa mengerti, memotong

dan menghempas anak cucuku. Dahan berat

melengkung ada seribu kuntum bunga gugur

tidak satu pun kehidupan wangi itu tumbuh

Siapa sebut ini sebuah rumah buat kehidupan?

Warna musim semi tidak pernah masuk pintu

6.

Sesayat-sesayat embun beku membunuh

musim semi, bagai pisau kecil satu ranting

ke satu ranting. Akhirnya jatuh berkeping,

percuma setiap hati pohon di bawah lembah

menjerit lirih. Serpihan-serpihan warna gugur

ke bumi, setitik-setitik bagai minyak berpijar.

Dan segalanya jelas dan terang: di antara Langit

dan bumi, sepuluh ribu benda merenggang

9.

Embun beku tampak telah selesai membinasa

bunga merah, menyobek kunyah beberapa

puluh pasang, bebas terbang dalam keluhan

angin ringan: mulut ikan keluar merebut udara

di sungai dangkal. Tangisan beku tidak mudah mencair,

dan bersedih sendiri sulit menahan getir ini

Di sini hampa, hanya tersisa hari yang hilang,

sebuah jendela kecil buat kata-kata juga terlalu besar

杏殇(杏殇,花乳也,霜翦而落,因悲昔婴,故作是诗 )

冻手莫弄珠,弄珠珠易飞。

惊霜莫翦春,翦春无光辉。

零落小花乳,斓斑昔婴衣。

拾之不盈把,日暮空悲归。

地上空拾星,枝上不见花。

哀哀孤老人,戚戚无子家。

岂若没水凫,不如拾巢鸦。

浪鷇破便飞,风雏袅相夸。

芳婴不复生,向物空悲嗟。

应是一线泪,入此春木心。

枝枝不成花,片片落翦金。

春寿何可长,霜哀亦已深。

常时洗芳泉,此日洗泪襟。

踏地恐土痛,损彼芳树根。

此诚天不知,翦弃我子孙。

垂枝有千落,芳命无一存。

谁谓生人家,春色不入门。

冽冽霜杀春,枝枝疑纤刀。

木心既零落,山窍空呼号。

班班落地英,点点如明膏。

始知天地间,万物皆不牢。

霜似败红芳,剪啄十数双。

参差呻细风,噞喁沸浅江。

泣凝不可消,恨壮难自降。

空遗旧日影,怨彼小书窗。

Meratap Lu Yin

( sepuluh nomor pilih dua )

4.

Di rumahmu, rumput tinggi dan pohon

rimbun menyempit jalan, di sini matahari

dan bulan tidak lagi melepas cahaya.

Lumut entah kenapa telah menyelimuti

kau. Terlalu sedih, lelaki tua tiada anak,

semut-semut berkitar di atas daging sakit,

kau rebah melengkung tahun berputar

tahun, ratapan gelap mengalir dan mengalir

ratapan gelap mungkin didengar macan tutul

selain itu tiada orang datang menjegukmu

Kerabat terdekat hanya tinggal puisi

hati merangkulnya hingga maut membawa

kau kesini. Han Yu masih tergantung dirimu,

menulis untukmu sebuah elegi: dari ngarai

dan tebing, dia menggosok keluar tinta

melepaskan kata-kata berpijar seribu abadi

7.

Saat kita bertemu, rambut masih dilumur cat

hitam, dan berjuang agar bahasa bisa bertunas

Malam menginjak jembatan cahaya bulan,

atau bersandar di kursi kedai arak langganan

Setelah mencicip dua cawan, kita sudah

melayang, nama dan harum arak tercium

di empat penjuru kota, kita pergi memetik bunga

plum di kuil Buddha, menggunting bunga berayun

di taman, hati tinggi mencecap kuah hijau

sayur, hilang nafsu menatap lemak daging empuk

Kita membaca puisi, setiap irama bening kristal,

kata-kata penuh berisi nyanyian hati purba

Tiba-tiba kepala kita sudah menjadi putih,

dan tahun-tahun penuh berisi itu telah habis dicuri

Tidak perlu lagi mengejar jernih atau keruh,

kenapa mesti menuduh Sungai Nasib ini

吊卢殷

登封草木深,登封道路微。

日月不与光,莓苔空生衣。

可怜无子翁,蚍蜉缘病肌。

挛卧岁时长,涟涟但幽噫。

幽噫虎豹闻,此外相访稀。

至亲唯有诗,抱心死有归。

河南韩先生,后君作因依。

磨一片嵌岩,书千古光辉。

初识漆鬓发,争为新文章。

夜踏明月桥,店饮吾曹床。

醉啜二杯酿,名郁一县香。

寺中摘梅花,园里翦浮芳。

高嗜绿蔬羹,意轻肥腻羊。

吟哦无滓韵,言语多古肠。

白首忽然至,盛年如偷将。

清浊俱莫追,何须骂沧浪。

Dunia Tang yang Dingin dan Pahit di dalam Puisi Mbeling Meng Jiao ( 751 – 814 ) #1

Gerundelan John Kuan

dunia dinasti tang
Gambar diunduh dari mw2.google.com
Pemberontakan An Lushan yang bertahan delapan tahun ( 755 – 763 ) telah menyapu habis seluruh kebesaran dan kemegahan Dinasti Tang. Sejak itu Dinasti Tang di mata penyairnya telah berubah menjadi selingkar matahari musim dingin di ufuk barat. Sekalipun kadang-kadang masih kelihatan berpijar kemerah-merahan, tetapi bagaimana pun sedang perlahan-lahan terbenam. Dan kelapangan dada, semangat bergelora, dan keyakinan mencengangkan yang diwakili oleh Li Bai dan Du Fu, telah layu dan gugur di dada penyair. Mungkin kadang-kadang masih berkedip sekejap di dalam satu dua puisi penyair masa itu, tetapi sudah tidak bisa bertahan lama lagi. Ini mungkin dapat disebut suatu penyakit zaman: Realita yang merosot telah meracuni jiwa penyair ——— realita yang terpampang jelas di depan mata, siapa pun tidak mampu berlagak tidak kelihatan.

Pemberontakan memang berhasil dipadamkan, tetapi kedaulatan dan kekuasaan Dinasti Tang telah jauh berbeda. Untuk memadamkan pemberontakan ini Klan Li sebagai penguasa Dinasti Tang telah melakukan berbagai kompromi politik dan meminta bantuan militer dari jenderal-jenderal asing yang berkuasa di perbatasan. Tentu bantuan militer begini bukan tanpa imbalan; ada yang dijanjikan untuk menjarah kota yang berhasil direbut, ada yang dijanjikan jabatan Gubernur Jenderal setelah berhasil menguasai daerah itu. Keputusan-keputusan begini yang kemudian membentuk provinsi-provinsi yang memiliki otonomi penuh yang biasa disebut Provinsi Militer atau dalam catatan sejarah Cina disebut 藩镇 ( baca: fanzhen ). Provinsi-provinsi ini sesungguhnya memiliki kedaulatan penuh atas teritorinya, mereka juga tidak menyerahkan pajak ke pemerintah pusat, yang mereka lakukan terhadap pemerintah pusat di Chang’an tidak lebih daripada lip service. Permbangkangan provinsi militer serta pertikaian politik istana antara gerombolan kasim yang mengitari Kaisar dengan pejabat-pejabat tinggi dan jenderal-jenderal yang masih setia kepada kerajaan menjadi pemicu utama runtuhnya Dinasti Tang.

Menyusul krisis politik tentu adalah krisis sosial. Setelah provinsi-provinsi militer menolak menyetor pajak ke kas negara, dan biaya besar yang mesti dikeluarkan untuk memerangi pemberontakan yang meletup di sana-sini, keuangan kerajaan pada dasarnya sudah bangkrut, dan keadaan ini telah menggoyahkan sendi-sendii perekonomian, ditambah lagi kota-kota besar seperti Chang’an dan Louyang sudah tinggal puing setelah berulang kali dijarah, baik oleh tentara pemberontak, tentara asing maupun tentara kerajaan, maka pengungsian terjadi di mana-mana, kehidupan rakyat merosot dratis.

Gelombang pengungsian terus mengalir ke daerah selatan Cina, terutama ke Zhexi ( Provinsi Zhejiang ), Suzhou ( Provinsi Jiangsu ), Guangdong, dan Fujian. Daerah-daerah ini cukup aman dan belum begitu tersentuh api perang, perekonomian dan kebudayaan juga cukup berkembang.

Pengungsian sejumlah besar intelektual dari Cina bagian utara telah mengairahkan kehidupan budaya di daerah selatan ini, terutama sastra. Pada masa inilah komunitas-komunitas sastra berkembang pesat di daerah ini. Sebagian besar komunitas begini dibentuk atau didirikan oleh biksu penyair ( biksu yang suka menulis puisi ) yang cukup terpandang ataupun pejabat penting setempat, dan mereka biasanya melakukan pertemuan, diskusi, pembahasan puisi di kuil ataupun tempat yang disediakan pejabat. Antologi puisi mereka juga berhasil melewati kekacauan jaman dan masih bisa kita nikmati hari ini. Salah satu bentuk puisi yang agak menonjol dari komunitas sastra masa ini adalah Puisi Berantai atau Puisi Kolaborasi yang dalam Sastra Cina Klasik disebut 联句 ( baca: lianju ). Sekalipun bentuk puisi ini tidak pernah mendapat tempat dalam Sastra Cina Klasik ——— bentuk ini sudah mulai digunakan sejak Dinasti Han ( 202 SM – 220 ), tetapi mungkin adalah bentuk awal yang dibawa ke Jepang dan kemudian berkembang menjadi Renga yang merupakan cikal bakal Haiku. Dalam catatan pendek ini saya tidak bermaksud dan juga tidak memiliki kapasitas untuk membahasnya, mengenai hubungan Lianju dan Renga yang ditulis di sini hanyalah sebuah bersitan pikiran, untuk membahas hubungan mereka saya rasa masih perlu pendalaman.

Sekarang seperti sudah saatnya menampilkan tokoh utama dalam catatan ini: Meng Jiao. Dia hidup di dalam waktu dan ruang seperti yang digambarkan dalam paragraf di atas, lahir pada tahun 751 di Huzhou ( sekarang Wukang, Provinsi Zhejiang ). Seluruh masa mudanya dihabiskan di daerah ini, dia mungkin pernah bergabung dengan salah satu komunitas sastra yang dibentuk oleh biksu di sana, tidak jelas, namun ada satu hal yang bisa dipastikan adalah dia pernah hidup sebagai pertapa sebelum meninggalkan kampung halamannya pada usia 30 tahun. Hanya itulah yang kita ketahui tentang masa mudanya, dan beberapa paragraf di atas memang khusus ditugaskan membawa dia ke hadapan pembaca yang terhormat.

Suatu malam di awal musim semi 792, Meng Jiao duduk sendiri di mulut jendela sebuah kamar penginapan di Chang’an. Dia sedang bersedih, pengembaraan selama sepuluh tahun untuk mengumpulkan keberanian dan biaya mengikuti Ujian Negara telah sia-sia, tadi pagi namanya tidak muncul di papan pengumuman lulus. Tanpa terasa malam telah berangsur-angsur mundur dan pagi musim semi yang menyongsong terasa luar biasa dingin dan kecut. Bulan yang tergantung di satu sudut langit seperti sekeping cermin bulat, pucat dan redup. Tunas-tunas daun di ranting pohon seluruhnya tertutup embun beku, tidak ada kepakan burung yang memberitakan pagi musim semi. Dia tahu dunia pagi ini masih bulat, hanya saja terlalu hening dan sunyi. Dan sunyi ini telah masuk dan mengiris-iris tulang sepinya.

Dia tentu tidak tahu ini bukan terakhir kali dia mencicipi kekalahan, tahun berikutnya 793, dia kembali gagal dalam Ujian Negara. Dunianya mungkin sudah lama tidak utuh, tetapi kali ini dentingan serpihannya terasa jauh lebih menyayat.

Meng Jiao mungkin termasuk salah satu penyair Tang yang paling menderita hidupnya, dia tidak pernah benar-benar berhasil melepaskan diri dari kemiskinan yang mengerogotinya sejak kecil, dan kemalangan-kemalangan yang menimpanya sepanjang hidupnya telah membuat puisi-puisinya memiliki ciri khas yang tidak dapat ditiru penyair lain: dingin, pahit dan eksentrik.

Tetapi kekalahan demi kekalahan dan kemalangan yang datang beruntun dalam hidupnya tidak membuatnya roboh, kekuatan penopang ini terutama datang dari orang-orang yang tidak kenal lelah mendukungnya; ibunya, isterinya, dan seorang teman karibnya: Han Yu. Dia dan Han Yu membentuk satu kelompok penyair yang kemudian menjadi salah satu kelompok yang paling menonjol dalam puisi Tang Tengah, biasanya disebut Perkumpulan Mbeling atau Eksentrik. Sekalipun Han Yu adalah tokoh sentral dalam kelompok ini, tetapi Meng Jiao merupakan penyair terpenting dalam kelompok ini, dan namanya juga disejajarkan dengan Han Yu, sehingga dalam Sastra Cina Klasik juga disebut Perkumpulan Han Meng.

Dia mengenal Han Yu mungkin sewaktu menempuh Ujian Negara di Chang’an, antara 791 sampai 792, persahabatan ini bertahan sepanjang hidupnya. Walaupun umur mereka terpaut jauh, Han Yu lebih muda 17 tahun dari Meng Jiao, tetapi mereka memiliki pandangan yang sangat dekat tentang puisi, mungkin ini yang menyebabkan mereka selalu dianggap mewakili suatu kelompok penyair eksentrik yang suka menggunakan kata-kata kuno dan menciptakan suasana surealis dalam puisi-puisi mereka. Namun sesungguhnya puisi penyair-penyair ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar dengan Meng Jiao maupun Han Yu.

Atas dorongan dan dukungan Han Yu, Meng Jiao kembali mencoba Ujian Negara dan berhasil lulus pada tahun 796, waktu itu usianya sudah 45 tahun. Upaya selama bertahun-tahun akhirnya membawa hasil. Kegembiraan dan hati yang meluap-luap ini dia tuangkan dalam sebuah puisi; walaupun puisi itu kedengaran sedikit lupa diri, tetapi kegalauan yang terpendam selama bertahun-tahun ketika dilepaskan pasti agak sedikit bau, saya rasa masih wajar, lagipula puisinya jarang ada yang bersuasana riang:

Gelisah tempo hari gemeretak di sela gigi

tidak usah diungkit,

pagi ini lepas kendali pikiran mengapung

tak bertepi

Angin musim semi meniup hati angkuh

tapak kuda melesat pergi.

Satu hari mata menyapu seluruh bunga

Chang’an habis

登科后

昔日龌龊不足夸,今朝放荡思无涯。

春风得意马蹄疾,一日看尽长安花。

Keriangan yang meluap ini sebentar saja sudah berubah menjadi sebuah penantian pahit. Setelah menunggu empat tahun yang melelahkan, Meng Jiao yang sudah berumur setengah abad ini akhirnya diberi sebuah jabatan kecil di kota Liyang ( Provinsi Jiangsu ). Hanya beberapa bulan berkantor di sana dia sudah dilaporkan melalaikan tugas. Dilaporkan bahwa dia sering seorang diri naik keledai ke pinggiran kota, memandang gunung menatap sungai, saya rasa pasti juga menulis sajak.

Dulu saya tidak bisa mengerti mengapa sebuah kesempatan yang ditunggu dengan susah payah selama puluhan tahun bisa dibuang begitu saja. Untung akhirnya saya paham. Paham akan frustasi seorang lelaki berumur 50 tahun yang mungkin seumur hidupnya belum pernah menyentuh birokrasi pemerintah, tiba-tiba sudah berada di dalam sebuah sistem yang kusut masai. Apakah ini bukan suatu hal yang membosankan dan melelahkan? Dia mungkin gagap atau enggan belajar, tetapi jabatan yang diberikan kepadanya memang terlalu kecil, semacam pegawai rendah di kantor kecamatan. Jabatan Meng Jiao ini akhirnya tetap dipertahankan atas bantuan teman-temannya di pemerintah pusat, namun gajinya dipotong separuh untuk mengangkat seorang wakil yang akan membantu dia menyelesaikan tugas-tugasnya. Keuangannya yang baru sedikit membaik kembali terpuruk.

Keadaan ini tidak bertahan lama, dia akhirnya mengundurkan diri dan membawa keluarganya kembali ke kampung halamannya: Huzhou pada tahun 804. Kemudian pindah menetap di Changzhou ( Provinsi Jiangsu ), di sini dia membeli rumah dan sawah. Pada tahun 806 pindah lagi ke Chang’an dan setahun kemudian pindah ke Louyang. Walaupun berpindah-pindah, tetapi kehidupannya pada tahun-tahun ini termasuk tenang dan berkecukupan.

Tetapi kemalangan kembali menghampirinya. Dia kehilangan anak bungsunya pada tahun 808, waktu itu usianya sudah 58 tahun. Dari puisi-puisinya kita tahu dia kehilangan tiga anak lelaki, dua meninggal ketika masih bayi, dan satu lagi meninggal pada usia sepuluh tahun. Di ujung senja usia dia tiba-tiba mendapati dirinya sudah tidak memiliki keturunan, hal ini adalah pukulan terberat bagi Meng Jiao. Dia adalah seorang pengikut Kongfuzi, dan tidak memiliki keturunan adalah durhaka terbesar dalam Konghucuisme. Penderitaan batinnya tidak usah ditulis lagi.

Ibunya meninggal dunia di tahun berikutnya. Pukulan demi pukulan telah menghancurkan sedikit ketenangan yang tidak mudah dia peroleh di usia senja. Pada masa-masa inilah Meng Jiao menulis cukup banyak puisi-puisi sekuens yang panjang, dingin, dan pahit. Ini adalah cara dia mengobati dirinya. Penderitaan tahun-tahun terakhirnya di Louyang sangat sulit dibayangkan; tua, miskin, dan sunyi. Walaupun demikian, keinginan untuk berbuat sesuatu untuk negara ( dunia? ) masih belum padam.

Pada awal musim semi 814 dia menerima tawaran seorang kenalannya, Zheng Yuqing – 郑余庆 ( waktu itu memegang jabatan sekretaris jenderal biro eksekutif ) sebagai penasehat. Dia berangkat bersama isterinya, tetapi jatuh sakit di tengah perjalanan, dan meninggal beberapa waktu kemudian. Dia meninggal dalam keadaan miskin, tanpa anak, jauh dari rumah. Bab penutupnya ini terlalu menyedihkan. Pemakamannya diurus oleh Han Yu dan beberapa temannya yang merupakan penyair Tang Tengah terkenal, seperti Zhang Jie, Wang Jian, dan Jia Dao. Dia dikubur di sebelah timur luar kota Louyang.

Puisi-puisi Meng Jiao baru mulai dikumpulkan dan dibukunya pada awal Dinasti Song ( 960 -1279 ), sehingga jumlah puisi yang hilang mungkin tidak kalah dengan yang berhasil dikumpulkan. Kumpulan puisinya yang beredar hingga hari ini adalah sebuah buku berisi 511 puisi yang disusun oleh sejarawan Dinasti Song: Song Minqiu – 宋敏求 ( 1019 – 1079 ). Dari 511 puisi saya memilih 13 puisi untuk diterjemahkan.

Di catatan ini saya rasa tidak usah lagi membahas puisi-puisinya, terlalu pahit dan dingin, mungkin dilompati dengan satu dua kalimat saja, dan tulisan ini memang sudah terlalu panjang. Hidupnya yang malang tertuang seluruhnya di dalam puisi-puisinya, ini sangat mudah kita rasakan. Dia hampir tidak menggunakan alusi dalam puisi-puisinya, cara ini dianggap aneh bagi pembaca puisi Cina Klasik. Dia suka menggunakan kata-kata kuno, atau yang mati suri, atau yang jarang digunakan. Dia sengaja menciptakan irama janggal yang terasa menusuk bagi telinga-telinga tradisional. Dia suka menciptakan pemandangan artifisial atau fantasi dan menghadirkan indah dan buruk secara beriringan…

Bersambung ke Membaca Puisi Mbeling Meng Jiao (751-814)

Hangus Membaca

Gerundelan John Kuan

Sebuah meja bersama bangku, hangus, menjadi arang. Ada sebuah buku tebal di atas meja, putih, mulus tanpa satu goresan. Karya Titarubi ini berjudul: Bacalah! Terbuat dari Yin Yang Lima Elemen, saya duga. Meja dan kursi kayu, paku logam, buku tanah air, dibakar api, melewati perubahan Yin Yang. Sempurna.

Buku dari lempung. Begitulah orang Mesopotamia Kuno menggunakannya untuk menulis Epik Gilgames, puisi perjalanan manusia setengah dewa. Puisi yang setelah melewati beberapa ribu tahun masih hidup di dalam tablet-tablet tanah liat yang tahan bakar, bahkan menjadi jauh lebih kuat setelah keluar dari tungku pembakaran. Mereka memang telah berhasil melewati salah satu musuh bebuyutan buku: api. Tetapi apakah mereka cukup kuat menghadapi api amarah manusia moderen yang kian membara? Apakah masih dapat utuh terkubur setelah rudal-rudal dijatuhkan di atasnya, seperti beberapa ribu tahun yang lalu terkubur bersama Kekaisaran Asiria? Begitukah cara mereka mengelabui waktu?

Ternyata saya salah, buku putih ini bukan terbuat dari tanah liat.

*

Lapangan kecil di depan perpustakaan itu menyisakan satu jendela, tertutup kaca tebal, di bawahnya ada sebuah ruangan, ke empat dinding ruangan itu adalah rak-rak buku kosong. Tidak jauh dari jendela itu ada sebuah kutipan Heinrich Heine: Bakar buku, mungkin adalah petanda awal manusia memusnahkan dirinya. Lapangan ini berada di Universitas Humboldt.

Saya tidak tahu apakah ini benar posisi ruang penyimpanan buku sewaktu pembakaran buku terjadi di sini pada 10 Mei 1933, atau hanya sebuah rancangan untuk memperingati peristiwa itu. Tidak peduli yang manapun, pasti membuat orang yang melihatnya tercengang, hati terasa sekosong rak buku.

Sebuah institusi pendidikan bertaraf internasional merancang sebuah pemandangan begini di depan pintunya, adalah semacam peringatan, semacam keterus-terangan: ” Yang membakar buku di sini adalah murid-murid kita sendiri, segala tindakan pemusnahan budaya, juga memiliki nama dan identitas budaya, maka orang-orang yang bergegas dan berlalu-lalang, jangan terlalu percaya terhadap tempat ini! ”

Kutipan Heine di samping rak buku kosong itu berasal dari sebuah dramanya yang menceritakan tentang pembakaran buku di Spanyol dan Portugis pada abad ke-15: Almansor. Demikianlah, sebuah kutipan dari seorang cendekiawan yang hidup di abad ke- 19 dipakai untuk sebuah peristiwa di abad ke- 20 yang kurang lebih sama dengan yang terjadi di abad ke-15. Membakar buku memang terjadi sepanjang sejarah dan hampir pada semua bangsa yang mengenal tulisan, rak-rak buku kosong membuat saya teringat cerita-cerita kelam selama Revolusi Kebudayaan di Cina. Ada sebuah puisi yang ditulis Liu Shahe berjudul Bakar Buku:

Menahanmu sudah tidak bisa

Menyembunyikanmu juga susah

Malam ini mengantarmu ke dalam tungku api

Selamat tinggal

Chekov!

Kaca mata bulat berjanggut kambing gunung

kau sedang tertawa, kau sedang menangis.

abu terbang asap lenyap terang berakhir

Selamat tinggal

Chekov!

Dia adalah seorang anak tuan tanah, dengan latar belakang begini dapat kita bayangkan bagaimana penderitaan Liu Shahe selama Revolusi Kebudayaan.

Seorang teman berkata pada saya bahwa sekarang mulai banyak orang menggunakan cara ” Revolusi Kebudayaan “, serampangan merekayasa dan menulis ulang banyak kenyataan. Ini adalah sebuah isyarat yang berbahaya, penyebabnya adalah orang-orang tidak berani menggunakan cara yang kokoh dan transparan mempertahankan jejak-jejak sejarah sebuah malapetaka. Saya tidak tahu mengapa terhadap jejak-jejak sejarah begini jarang ada yang berani mengingat, waspada, dan berterus-terang.

Sebuah meja dan bangku hangus, sebuah buku putih polos di atas meja, saya lama menatap gambar yang tampil di dalam layar komputer itu. Kita memang mudah terbakar, meja hangus, bangku hangus, manusia hangus, namun tidak untuk sebuah buku putih polos, dia tidak hangus karena dia kosong, hampa, seakan tiada. Manusia paling suka menggunakan pengetahuan membakar pengetahuan, menggunakan keyakinan membakar keyakinan, menggunakan budaya membakar budaya, dan terakhir akan menggunakan kemanusiaan membakar kemanusiaan. Sebuah buku akan selamat ketika dia dianggap tidak memiliki pengetahuan, tidak berarti, sebuah buku kosong.

Ketika Rabi Haninah ben Teradion sedang dibakar bersama Kitab Taurat oleh tentara Romawi di abad ke-2 Masehi berkata kepada murid-muridnya: ” Aku melihat hanya gulungan saja yang terbakar, sedangkan huruf-huruf berterbangan ke atas ” Seandainya dinding ruang bawah tanah di samping kutipan Heine itu ditaruh rak-rak kosong yang hangus dan diisi dengan buku-buku putih polos, mungkin dapat membuat orang-orang yang melihatnya sedikit lebih waspada.

Atau mungkin membaca sejak awal sudah berhubungan dengan membakar buku, setidaknya hubungan begini sudah ada di dalam mitologi Romawi yang menceritakan Cumaean Sibyl dan buku-buku ramalannya tentang kejayaan Roma.

Semasa gadis, Cumaean Sibyl berkali-kali menolak Dewa Apollo, dan dewa ini kemudian melakukan pembalasan dengan memberinya kehidupan abadi yang diidam-idamkannya, namun tanpa memberi dia kemudaan abadi. Maka gadis muda yang hidup abadi ini tua di dalam waktu, tidak dapat menolak kulit berkeriput dan punggung membungkuk. Akhirnya Dewa Apollo menaruh kasihan kepadannya dengan memberi dia kemampuan meramal. Dia duduk di dalam gua di Bukit Cumae, melewati masa ke masa dengan menulis ramalannya di atas daun palem. Dalam cerita Virgil, Aineias mendarat di Cumae dan bertemu dengan gadis ini, dia kemudian memberitahu Aineias ramalannya yang menakjubkan sekaligus mengerikan akan masa depan Roma.

Salah satu fresko di Salone Sistino menceritakan tentang pembakaran buku ramalan Cumaean Sibyl oleh dirinya sendiri. Diceritakan bahwa gadis ini menawarkan sembilan buku ramalan yang ditulisnya kepada Raja Tarquin. Ketika raja menolak membelinya dia melemparkan tiga buku pertama ke dalam api, dan menawarkan enam buku yang tersisa dengan harga semula. Raja tetap menolak beli, dan dia kembali melemparkan tiga buku lagi ke dalam api, raja yang kurang panjang akal ini akhirnya sadar, lalu membayarnya dengan harga yang sama untuk tiga buku yang tersisa. Fresko itu menggambarkan Raja Tarquin dengan wajah sedih menatap tumpukan buku yang menyala di dalam api, sementara Cumaea Sibyl berdiri di samping dengan air muka yang datar.

*

Sekitar 100 tahun setelah Qin Shi Huang menurunkan perintah pembakaran buku, Sima Qian di dalam karya agungnya, Shiji, menulis bahwa Perdana Menteri Li Shi sangat menekankan usulannya:

Di masa lampau kerajaan ini terpecah belah dalam kekacauan dan tiada seorang pun mampu mempersatukannya. Oleh sebab itu semua penguasa-penguasa feodal bangkit, mereka semua berkoar-koar tentang masa kuno untuk mengacaukan masa kini, memamerkan kata-kata kosong untuk membingungkan kenyataan. Orang-orang membanggakan diri sendiri dengan teori-teori pribadinya dan mengkritik aturan-aturan yang diterima atasanya… Maka, hamba meminta semua catatan-catatan sejarawan selain sejarah Negeri Qin dibakar

Dan terakhir Sima Qian ingin meyakinkan pembacanya menulis: Kaisar sangat menyetujui proposal ini

Pembakaran buku oleh Qin Shi Huang merupakan peristiwa biblioklasme pertama yang tercatat dalam sejarah. Ini juga mungkin merupakan pemberangusan ideologi dalam skala besar pertama kali dicatat. Pasti tidak mudah untuk membakar begitu banyak buku-buku filsafat Cina Kuno, waktu itu kertas belum ditemukan, buku-buku pada masa itu umumnya berupa kepingan-kepingan bambu yang diikat jadi satu, ataupun ditulis di atas kain sutera. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan jika membayangkan di depan setiap sekolah-sekolah filasat yang sangat berkembang pada masa itu bertumpuk kepingan-kepingan bambu yang telah menjadi arang

Kebudayaan Cina dapat berkesinambungan selama lima ribu tahun tentu memiliki kelenturan dan dayanya yang tersembunyi. Ketika Qin Shi Huang sedang gencar-gencarnya melakukan pembakaran buku, cucu generasi ke delapan Kongfuzi berhasil menyembunyikan kitab-kitab penting sekolah Ru, seperti Shangshu, Liji, Lunyu, Xiaojing, di dalam tembok. Setelah berlalu sekitar seratus tahun, sewaktu Liu Yu yang diangkat sebagai Pangeran Gong di Negeri Lu ingin memperbaiki tempat tinggal Kongfuzi, dari dalam tembok buku-buku yang disangka sudah hilang itu kembali ditemukan.

Setiap kebudayaan pasti akan menghadapi masa-masa sulit dan diuji kesinambungannya, kebudayaan Cina paling diuji kelenturan dan ketahanannya terhadap perubahan jaman dan gempuran dari luar pada pertengahan abad ke- 19 hingga pertengahan abad ke- 20, terutama kerusakaan yang dialami dalam perang-perang melawan aliansi kekuatan Barat, serta penghancuran dan perampasan perpustakaan-perpustakaan di hampir semua kota penting di Cina oleh tentara Jepang dalam perang Cina- Jepang II. Kebrutalan dan kerusakannya sudah tidak perlu diceritakan lagi, di sini saya hanya ingin mengungkapkan satu bentuk lain perampasan dan pengerusakan budaya yang sering terjadi di abad ke- 20 atas nama perlindungan. Suatu produk budaya dicabut begitu saja dari tempatnya hidup dan berkembang lalu diletakkan di suatu tempat yang samasekali tidak berhubungan dengannya.

Misalnya yang terjadi di dalam Gua Mogao pada awal abad ke -20, sebuah kisah jual beli kitab-kitab agama Buddha yang paling tidak adil dan penuh rahasia di antara tiga orang lelaki. Yang pertama adalah Wang Yuanlu, seorang pendeta Tao yang tidak begitu berpendidikan dan waktu itu adalah penanggungjawab Gua Mogao, kedua adalah Aurel Stein, seorang arkeolog Hungaria yang baru pindah menjadi warga negara Inggeris, ketiga adalah seorang penerjemah bernama Jiang Xiaowan

Setelah Wang Yuanlu secara tidak sengaja menemukan sebuah ruang penyimpanan kitab-kitab agama Buddha di Gua Mogao, kabar dengan cepat menyebar keluar dan sampai di telinga Aurel Stein, tetapi arkeolog yang menguasai tujuh delapan bahasa ini ternyata tidak menguasai bahasa Mandarin, demikianlah Jiang Xiaowan terlibat dalam persekongkolan ini.

Awalnya Wang Yuanlu menunjukkan sikap waspada, menghindar, dan menolak kehadiran Aurel Stein. Jiang Xiaowan berbohong kepadanya bahwa Stein datang dari India adalah untuk mengembalikan kitab-kitab Xuanzang ke tempat asalnya, dan Stein juga bersedia membayarnya. Wang Yuanlu seperti umumnya rakyat Cina, sangat mengenal dan mengagumi cerita tentang mencari kitab ke Barat yang ada di dalam ‘ Kisah Perjalanan ke Barat ‘ itu, mendengar penjelasan Jiang Xiaowan dan juga melihat Aurel Stein berkali-kali bakar dupa bersujud di depan Buddha, hatinya tergerak. Maka, ketika Jiang Xiaowan mengatakan ingin ‘ meminjam ‘ beberapa kitab untuk dilihat, Wang Yuanlu yang awalnya ragu-ragu, agak lama mempertimbangkan, akhirnya tetap memberi dia beberapa kitab.

Ketika Jiang Xiaowan di bawah lampu redup membuka baca kitab-kitab yang diserahkan oleh Wang Yuanlu. Dia agak terkejut, buku yang serampangan diambil Wang Yuanlu dari tumpukan buku ini ternyata benar-benar adalah terjemahan-terjemahan dari kitab-kitab yang diperoleh Xuanzang dari tanah Barat, Wang Yuanlu sendiri juga terkejut dan terharu memandang jari-jari tangannya, seakan-akan mendengar perintah Buddha. Begitulah, pintu-pintu Gua Mogao pun terbuka lebar untuk Aurel Stein.

Setelah pintu terbuka dan isinya siap dikuras, tentu masih Jiang Xiowan yang membaca dan memilih di dalam tumpukan buku-buku tua itu, sebab Aurel Stein samasekali tidak mengerti bahasa Mandarin. Di malam-malam gurun yang dingin, ketika Aurel Stein dan Wang Yuanlu sudah tertidur, hanya tinggal dia sendiri yang membaca dan memecahkan kode-kode budaya untuk pertama kalinya setelah tersimpan lebih dari seribu tahun. Kedua pihak, pembeli dan penjual sama-sama tidak mengerti apa yang terkandung di dalam setumpuk-setumpuk lembaran kertas. Hanya dia sendiri yang mengerti, dia sendiri yang membuat keputusan diterima atau tidaknya sebuah kitab.

Demikianlah sebuah traksaksi yang paling tidak adil di dunia berlangsung, Aurel Stein menggunakan sangat sedikit uang untuk mendapatkan produk-produk budaya dari satu masa peradaban Cina yang berlangsung selama beberapa abad. Dan ini bahkan menjadi contoh sempurna untuk petualang-petualang dari beberapa negara kuat yang datang dengan sikap memborong barang murah dan ternyata memang dapat pulang dengan muatan penuh.

Ada sebuah kejadian yang perlu saya tuliskan di sini, suatu hari Wang Yuanlu merasa Aurel Stein sudah meminta terlalu banyak, dia lalu membawa sebagian kitab dan gulungan lukisan yang telah dipilih kembali ke ruang penyimpanan kitab, Aurel Stein meminta Jiang Xiowan pergi negosiasi, ingin menggunakan empat puluh tahil perak menukar kembali kitab-kitab dan gulungan lukisan itu. Ternyata Jiang Xiowan hanya menggunakan empat tahil perak sudah dapat menyelesaikan perkara ini. Aurel Stein sangat memujinya, bahkan mengatakan ini adalah sebuah kemenangan diplomasi Cina Inggeris. Jiang Xiaowan sangat bangga mendengar pujian itu, terhadap kebanggaan begini saya merasa sedikit mual.

Akhirnya, Alein Stein berhasil mendapatkan lebih dari sembilan ribu kitab Buddha dan sekitar lima ratus gulungan lukisan, semua ini dikemas ke dalam dua puluh sembilan peti kayu selama tujuh hari, unta dan kuda yang dibawa semula ternyata tidak cukup, dia kemudian memanggil lima kereta besar yang masing-masing ditarik oleh tiga ekor kuda.

Itu adalah satu senja yang sedih, barisan kereta mulai bergerak, Wang Yuanlu berdiri di sisi jalan mengantar. Aurel Stein ‘ belanja ‘ dua puluh sembilan peti barang-barang budaya langka, jumlah uang yang dikeluarkan untuk Wang Yuanlu, saya benar-benar tidak tega menulisnya, namun saat ini sudah seharusnya diungkapkan, nilainya jika ditukarkan dengan mata uang Inggeris, kurang lebih tiga puluh pounds! Begitu sedikit, tetapi bagi Wang Yuanlu sudah merupakan jumlah yang sangat luar biasa dibandingkan dengan uang yang dia dapat dari pemberian penduduk setempat yang serba kekurangan. Di dalam pikiran Wang Yuanlu, Aurel Stein adalah seorang dermawan dan tamu terhormat

Hal begini mungkin tidak hanya terjadi di Gua Mogao pada awal abad ke -20, di sekitar kita mungkin banyak hal begini sedang diam-diam berlangsung.

*

Al-Qifti, sejarawan abad ke-12 menceritakan bahwa ketika Mesir ditaklukan oleh Arab di tahun 641, Yahya al-Nahwi ( John Philoponus? ), seorang pendeta Koptik yang tinggal di Iskandariyah menghadap Amru bin Ash memohon agar buku-buku di dalam Perpustakaan Iskandariyah dapat diurusnya. Panglima menjawab bahwa dia tidak dapat memutuskan nasib buku-buku tersebut tanpa terlebih dahulu meminta petunjuk dari Khalifah Umar bin Khattab. Dan Khalifah menjawab: ” Buku-buku yang kau sebut, seandainya apa yang ditulis di dalamnya sesuai dengan Kitab Allah, kita sudah memilikinya, jika berlawanan, kita tidak memerlukannya, maka dapat dimusnahkan ” Konon, buku-buku yang berupa gulungan itu dikumpulkan dan diantar ke pemandian-pemandian umum sebagai bahan bakar, di sana, di tungku-tungku pemanas dibakar hingga enam bulan.

Sungguh cerita yang berwarna dan dramatis, hanya kebenarannya agak diragukan. Menurut Mostafa el-Abbadi, seorang pakar Klasik dari Mesir, kemungkinan al-Qifti menciptakan cerita ini untuk membenarkan tindakan Salahuddin Ayyubi menjual seluruh perpustakaan untuk membiayai perlawanannya terhadap tentara Salib.

Sekalipun cerita ini kemungkinan besar berakar Islam, namun diwariskan dan dijaga di dunia Barat sebagai ratapan Orientalis terhadap nasib peradaban Hellenistik di Timur Dekat.

Bagaimanapun ceritanya, buku-buku di Perpustakaan Iskandariyah kemungkinan selamat di masa Khalifah Umar, sebab ada sejumlah besar buku-buku perpustakaan ini kemudian dipindahkan ke Antiokhia yang dibawah Khalifah Umar II.

Ketika Dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir, Khalifah al-Aziz membangun sebuah perpustakaan di Kairo, berisi sekitar enam ratus ribu buku yang dijilid dengan indah, kemudian Khalifah al-Hakim menggabungkannya ke dalam perpustakaannya sehingga mencapai satu setengah juta buku. Namun, pada tahun 1068 ketika tentara Turki menghancurkan Kairo, sampul-sampul buku yang terbuat dari kulit bagus ini dilepas untuk dijadikan sepatu, sisa-sisa halaman buku yang tersobek dikuburkan di luar Kairo, dan tempat ini kemudian dikenal sebagai ‘ Bukit Buku ‘

Buku dan perpustakaan tumbuh pesat di setiap tempat yang dicapai Islam. Ibnu Sina memberikan kesaksiaannya terhadap perpustakaan yang menakjubkan di istana Persia. Di Baghdad, di Baitul Hikmah yang pada masa itu merupakan perpustakaan, pusat terjemahan, pusat penelitian, serta pusat perbandingan kearifan orang-orang dibawah Islam dari India hingga Semanjung Iberia. Di tempat ini, Banu Musa, tiga bersaudara merampungkan Kitab marifat mashakat al-ashkal, salah satu buku peletak dasar matermatika Arab. Di tempat ini, al-Hajjaj menerjemahkan Euklides, dan al-Khwarizmi, penemu aljabar membaca karangan-karangan matematika Hindu yang dikumpulkan perpustakaan kemudian mengadopsi sistem bilangan Hindu untuk kegunaan dirinya, melahirkan angka Arab yang kita kenal sekarang. Tetapi ketika langkah-langkah kuda perang Mongol menyerbu Baghdad beberapa ratus tahun kemudian, memporak-porandakan Baitul Hikmah, menghitamkan air ibu peradaban, Tigris dan Eufrat. Pikiran-pikiran cemerlang kembali menjadi tinta mengalir di dalam airmata hitam ibu peradaban. Mungkin di dalam reruntuhan kita masih bisa menemukan satu dua huruf yang telah hangus, atau mungkin kita akan sangka hanya potongan-potongan arang.

Di antara abad ke-13 hingga ke-15 sebagaian besar perpustakaan dunia Islam sudah hilang, dihancurkan oleh penakluk-penakluknya: tentara Turki, tentara Mongol, dan tentara Salib. Kaisar Habsburg, Charles V ketika menaklukkan Tunis memberi perintah semua buku dalam Bahasa Arab dibakar. Pada tahun 1492, setelah orang-orang Moor disingkirkan dari Spanyol, di seluruh Spanyol hampir tidak dapat menemukan buku yang berbahasa Arab.

Pembakaran buku terus terjadi sepanjang sejarah, dari Dinasti Qin di Cina hingga Hernan Cortes di Tenochtitlan, namun cara baru dan eksploitasi kerusakannya makin disempurnakan dan diujicoba di abad ke -20. Selain pembakaran buku dan penghancuran perpustakaa oleh Nazi, daftar kejadian begini di abad ke-20 bisa sangat panjang. Ketika Tentara Pembebasan Rakyat sampai di Tibet, ribuan buku-buku tua yang sangat bernilai dilempar ke dalam api, dan lebih sulit menceritakan kembali nasib buku-buku selama Revolusi Kebudayaan. Pada tahun 1981, nasionalis Sinhala menghanguskan ribuan manuskrip, buku daun lontar, dan buku-buku cetakan yang berada di dalam perpustakaan orang Tamil: Jaffna. Taliban beberapa tahun sebelum meledakkan patung Buddha di lembah Bamiyan, membakar dan menghancurkan lebih dari lima puluh ribu buku di Pusat Kebudayaan Hakim Naseer Khosrow Balkhi

Penyair Bosnia, Goran Simic menulis sebuah puisi untuk mengenang penghancuran Perpustakaan Nasional dan Universitas Bosnia oleh nasionalis Serbia di malam 25 Agustus, 1992:

huruf-huruf berkelana di jalanan

berbaur dengan orang yang berlalu-lalang dan roh-roh tentara mati

Ini bukan satu-satunya perpustakaan yang diserang nasionalis Serbia, tiga bulan sebelumnya mereka juga menghancurkan Institut Oriental Bosnia, dan ratusan perpustakaan, museum di seluruh Krotia, Bosnia, Herzegovina, dan yang terbaru Kosovo.

Di dalam sebuah buku, saya pernah membaca Andras Reidlmayer, seorang pustakawan dan aktivis Bosnia menceritakan cara lain membakar buku dari seorang temannya yang selamat dalam pengepungan Sarajevo. Pada musim dingin, temannya bercerita bahwa dia dan isterinya kehabisan kayu bakar, maka mereka mulai membakar buku untuk memasak dan menghangatkan tubuh.

” Ini memaksa seseorang harus berpikir kritis, ” temannya berkata, ” seseorang harus bersikap patriot. pertama, harus dipilih buku-buku teks perguruan tinggi, buku-buku ini mungkin sudah tiga puluh tahun tidak kau baca, selanjutnya baru memilih buku-buku duplikat. Namun, terakhir kau tetap harus membuat pilihan berat. Siapa yang akan kau bakar hari ini: Dostoyevsky atau Proust? ” Andras kemudian menceritakan bahwa setelah perang usai temannya masih menyisakan banyak buku, temannya memberitahu dia bahwa kadang-kadang dengan melihat buku-buku itu dia lantas memilih lapar

*

Sebuah meja bersama bangku hangus, menjadi arang. Ada sebuah buku putih di atas meja. Saya melihat beberapa saat gambar ini lagi, seperti dapat merasakan api yang melahap kayu dan suara kertas tersulut api. Saya teringat sebuah pertunjukan Yosuke Yamashita yang difilemkan dengan judul ‘ Burning Piano ‘ di tahun 2008 di sebuah pantai di Ishikawa. Ini mungkin dapat disebut sebagai pertunjukkan ulang, karena pada tahun 1973, ‘ Piano Burning ‘ dengan pemainnya yang sama sudah pernah difilemkan master desain grafis Jepang Kiyoshi Awazu

Beberapa saat setelah Yosuke Yamashita yang memakai helmet pemadam kebakaran mulai menekan tuts piano, asap sudah mengepul di badan piano, kemudian terdengar suara-suara yang terbakar berbaur di dalam dentingan piano. Api dengan cepat menjalar ke seluruh badan piano, bersamaan dengan itu suara piano sudah tidak terdengar jelas lagi, yang tersisa hanya semacam suara letupan kecil ketika kayu bertemu api, bersama satu dua suara ketukan piano yang terhempas, Terakhir piano samasekali tidak mengeluarkan suara lagi, dan yang terdengar hanya suara kayu terbakar dengan sedikit latar suara ombak yang sampai di bibir pantai.

Mengkremasi sebuah piano mungkin bisa berarti mengkremasi suara, jadi apakah membakar buku dapat dianggap mengkremasi tulisan? Saya tidak tahu, dan saya juga tidak berani menjawab. Yang saya tahu adalah sewaktu kecil, orang-orang tua di kampung kami setiap kali melihat kertas yang ada tulisan di jalanan pasti akan dipungutnya, tidak peduli sekalipun hanya sobekan koran bekas, kemudian dibawa ke kelenteng untuk dibakar di sebuah tempat pembakaran tulisan yang biasanya berada di samping tempat pembakaran kertas sembahyang. Walaupun kebanyakan mereka buta huruf, namun setiap kali saya bertanya mengapa kertas-kertas itu harus dibakar, mereka akan mengatakan dengan hati-hati bahwa itu bukan sekedar kertas, tetapi adalah kertas yang ada tulisan di dalamnya, ada pikiran di dalamnya, bagaimana bisa dibiarkan tergeletak di jalan dan diinjak. Begitulah sebuah tulisan dijaga dan dihormati dari generasi ke generasi.

Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 2)

Oleh John Kuan

Ilustrasi diambil dari bp.blogspot.com
Membahas reformasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen sering membuat saya ragu, takut hal ini dapat membawa kesalah-pahaman kepada orang-orang yang terlalu berlebihan mengunggulkan budaya Han. Reformasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen seakan-akan sekali lagi memberi mereka bukti bahwa budaya Han memang memiliki kedudukan tertinggi. Tentu, dibandingkan dengan suku Xianbei yang baru melangkah keluar dari masyarakat primitif, kebudayaan Han jauh lebih matang. Suku Han yang telah melewati Dinasti Xia, Shang, dan Zhou ini pernah menghasilkan cukup banyak pemimpin-pemimpin yang membawa kemajuan dalam masyarakatnya, kemudian diperkaya oleh filsuf-filsuf pada akhir Dinasti Zhou, dan juga hasil nyata yang gemilang dari Dinasti Qin dan Han, semua ini bukan saja cukup layak menuntun satu suku nomaden yang ingin secara cepat memajukan kebudayaannya, bahkan materinya sudah terlalu berat. Dalam lembaran-lembaran sejarah sangat mudah menemukan suku Han yang setelah ditaklukkan oleh suku lain justru dapat menaklukkan suku tersebut dari sisi budaya.
Sesungguhnya hanisasi yang dilakukan oleh Kaisar Xiowen bukan hanya sekedar mengakui keunggulan budaya Han, tetapi masih ada sebab lain yang lebih realistis. Ketika dia membuka mata melihat dirinya telah diwariskan sebuah kerajaan yang begitu luas, dia merenung sejenak, lalu cepat-cepat mencari alasan lain di luar keunggulan militer sebagai penguasa. Mungkin seperti Iskandar Agung, penakluk Macedonia Kuno yang juga meninggal pada usia tiga puluh dua tahun itu, selalu bersujud di depan altar wilayah-wilayah yang telah ditakluknya. Tujuannya juga untuk mencari alasan penaklukan di luar kekuatan militer.
Ada satu kenyataan yang mesti diperhatikan: Kaisar Xiowen memaksa bawahannya mengadopsi budaya suku Han, tetapi tidak pernah melarang mereka membawa masuk unsur-unsur budaya nomaden yang bersifat terbuka ke dalam budaya Han, atau dengan kata lain, hanya ketika mereka sudah sepenuhnya terhanisasi, unsur-unsur budaya nomaden baru mungkin benar-benar meresap ke dalam budaya Han.
Dia melarang suku Xianbei tidak memakai pakaian Han, tidak menggunakan bahasa Han, tetapi dia tidak melarang orang Han tidak memakai pakaian Han, tidak menggunakan bahasa Han. Sesungguhnya, saat ‘ suku asing ‘ dihanisasi, sebenarnya juga merupakan ‘ proses pengasingan ‘ suku Han. Mungkin ini merupakan suatu bentuk peleburan dua arah dalam satu tubuh.
Sejak Dinasti Wei Utara, banyak sekali budaya suku-suku minoritas di perbatasan utara dan barat diserap suku Han, contoh-contoh nyata begini sangat mudah ditemukan, misalnya alat musik, mulai dari mandolin, seruling, rebana, hingga pipa… seandainya tanpa suara-suara merdu ini, orkestra yang dimainkan Dinasti Tang pasti kehilangan sebagian besar kemegahannya. Hal ini sangat mudah dimengerti jika melihat lukisan-lukisan dinding gua di Dunhuang, atau membaca puisi-puisi Tang. Satu kenyataan adalah budaya Han sejak jaman dulu bukan saja sebagai penyumbang untuk budaya suku lain tetapi juga sebagai penerima atau penyerap budaya suku lain. Dan bukan hanya di bidang musik saja, hampir pada segala bidang mempunyai proses yang hampir sama. Dari ini dapat ditarik kesimpulan, Dinasti Tang, bukan suku Han sendiri yang dapat ciptakan.
Lebih penting lagi adalah adanya suatu daya yang bersifat terbuka dalam budaya nomaden yang dimasukkan ke dalam budaya Han. Daya itu sedikit liar, sedikit dingin, sedikit kasar, sedikit kacau, namun begitu luas, begitu bebas, begitu santai. ” Langit begitu biru, padang begitu luas ” yang belum pernah dirasakan oleh filsuf-filsuf Cina Kuno di atas pedati di sisi sungai, sudah berubah menjadi latar budaya baru. Kebudayaan Cina seperti menunggang kuda lincah di padang rumput, suara cambuk berbunyi, kaki kuda melesat ke depan, menyongsong sebuah masa depan yang penuh daya hidup.
Reformasi ini bukan hanya demikian saja. Sejak Kaisar Xiowen menganjurkan kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han, suatu proses pembauran darah begitu lebar terbuka. Dan ini tidak lagi bersifat politis, tetapi lebih merupakan suatu pembauran alamiah. Dari ini kita dapat menguak sebuah rahasia yang terpedam di lapisan yang cukup dalam tentang terbentuknya Dinasti Tang: Klan Li ( 李氏 ), penguasa Dinasti Tang, merupakan kristalisasi dari kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han.
Ibu Kaisar Tang Gaozu ( Li Yuan, 566 – 635 ) maupun Kaisar Tang Taizong ( Li Shimin, 599 – 649 ) adalah orang Xianbei. Isteri Li Shimin juga orang Xianbei. Maka, di dalam tubuh Kaisar Tang Gaocong ( Li Zhi, 628 – 683 ) mengalir tiga per empat darah Xianbei dan seperempat darah Han. Sesungguhnya ibu Kaisar Yang dari Dinasti Sui ( 569 – 618 ) juga orang Xianbei, bahkan adalah saudara kandung ibu Li Yuan. Dalam kartu keluarga mereka semuanya tercantum berasal dari ‘ Luoyang, Henan ‘. Kita tahu, nama tempat asal ini merupakan rancangan Kaisar Xiowen. Sampai di sini kita harus sekali lagi mengakui visi Kaisar Xiowen. Dia menggunakan cara yang paling lembut, paling realistis, mengajak sukunya ikut mengambil bagian dalam proses terciptanya sebuah era yang terang dan gemilang.
Sepotong jalan menuju Dinasti Tang yang megah sudah terbuka lebar. Jalan ini awalnya sedikit sempit, sedikit menyimpang, sedikit berbahaya, namun akhirnya menjadi sepotong jalan besar yang memiliki arti yang sangat penting dalam perjalanan sejarah Cina. Ada dua tempat yang paling dapat mewakili telah terbukanya jalan besar menuju Dinasti Tang, yaitu Gua Yungang ( 云冈石窟 ) dan Gua Longmen ( 龙门石窟 ). Gua Yungang berada di Datong, Provinsi Shanxi dan Gua Longmen berada di Luoyang, Provinsi Henan, dua tempat ini sama-sama merupakan ibukota Dinasti Wei Utara. Dua tempat ini dapat dilihat sebagai tanda perpindahan Dinasti Wei Utara.
Sebenarnya saya sangat ingin mendeskripsikan ke dua gua yang pasti akan membuat setiap orang yang memandangnya terpana, namun saya kemudian sadar, di depan ke dua gua ini, kata-kata tidak akan berdaya. Di sini, kita bukan hanya dapat merasakan suatu keindahan yang agung, bertenaga, dan terbuka dari penguasa suku Xianbei, tetapi juga perpaduan yang serasi dari lebih banyak kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari tempat yang lebih jauh.
Karena mereka dapat dengan sikap terbuka menerima keunggulan budaya Han, tentu juga akan bersikap serupa terhadap budaya lain. Mereka telah berubah menjadi semacam ‘ busa ‘ yang memiliki daya isap yang tinggi, budaya apapun pasti akan mendapat satu kedudukan di dalamnya. Mereka sendiri agak kekurangan ketebalan budaya, masih belum terbentuk kebudayaan yang rumit dan dalam, kelemahan ini dengan cepat berubah menjadi keunggulan mereka, karena mereka agak jarang menolak ‘ yang lain ‘ kemudian berubah menjadi ‘ tuan rumah ‘ yang memiliki pembauran berbagai macam budaya. Jadi, sebuah perjamuan budaya meriah yang sesungguhnya sudah siap dihidangkan.
Ambil satu umpama untuk hal ini. Misalkan ada sekelompok tetua yang memiliki ilmu pengetahuan yang dalam menetap secara terpencar, ada yang dekat, ada yang jauh, karena latar belakang dan kekuatan masing-masing membuat mereka bersikap saling bertahan. Tiba-tiba dari daerah luar datang seorang anak muda yang sehat dan kuat namun sejak kecil kehilangan kesempatan mencecap pendidikan, terhadap ilmu siapa pun dia menaruh hormat dan menerima, tanpa prasangka, dan memiliki tenaga untuk mengundang ke sana kemari tetua-tetua itu, akhirnya, dengan dia sebagai pusat, tetua-tetua itu pelan-pelan mulai berjalan seiring, ramai sekali.
Anak muda yang sehat dan kuat ini, dialah klan Touba dari suku Xianbei. Perjamuan budaya yang meriah, itulah Gua Yungang dan Gua Longmen.
Perancang dan pemimpin pembukaan Gua Yungang yang paling penting adalah seorang biksu bernama Tan Yao ( 昙曜 ). Dia sesungguhnya adalah biksu yang menetap di Liangzhou ( 凉州 – kini sekitar Wuwei, Provinsi Gansu ), waktu itu Liangzhou merupakan pusat kebudayaan Buddha yang sangat penting. Pada tahun 439, setelah Dinasti Wei Utara berhasil menguasi Liangzhou, sekitar tiga puluh ribu penduduk dan beberapa ribu biksu yang tertawan dibawa ke Pingcheng ( ibukota Dinasti Wei Utara ), banyak dari tawanan itu merupakan perancang dan pemahat batu gua Buddhis, Tan Yao juga termasuk salah satu di antaranya, oleh sebab itu Gua Yungang memiliki corak Liangzhou yang sangat kental. Dan gua-gua Buddhis di Liangzhou merupakan titik bertemunya berbagai kebudayaan, di sana ada kebudayaan India, Asia Selatan, dan Asia Tengah. Maka, Gua Yungang yang melalui peralihan dari gua-gua di Liangzhou, telah mengendap selapis kebudayaan luar yang sangat tua dan jauh. Seni pahat Yunani sangat menonjol di sini, tentu karena pengaruh seni Gandhara, dan itulah perpaduan antara kebudayaan India dan kebudayaan Yunani.
Sebelum Gandhara, seni Buddhis kebanyakan dengan stupa atau bangunan memorial lain sebagai lambang, sejak invasi Iskandar Agung, sekelompok besar seniman yang mengikuti pasukan tentara juga sampai, seni Buddhis mengalami perubahan yang dratis, serangkaian perubahan mulai dari batang hidung, cekung mata, garis bibir hingga lengkung dagu yang khas orang Eropa terjadi, dan perubahan ini menyebar luas masuk ke daerah perbatasan barat Cina, seperti daerah Kucha dan Khotan di Xinjiang. Karena Gua Yungang telah menyerap corak Liangzhou, Kucha, dan Khotan, berarti juga telah menyerap kebudayaan India dan kebudayaan Yunani.
Setelah ibukota Dinasti Wei Utara pindah ke Luoyang, perhatian terpusat pada pembangunan Gua Longmen. Gua ini melanjutkan gaya Gua Yungang, namun merangkul lebih banyak lagi budaya luar, dan perbandingan budaya Cina juga makin meningkat.
Itulah kegagahan Dinasti Wei Utara. Menelan seribu aliran, menerima yang jauh dan dekat, hampir mengumpulkan seluruh intisari dari beberapa kebudayaan besar dan penting di dunia, dilebur dalam satu tubuh, saling berkembang, tumbuh dan bergelora. Kebesaran ini, tiada duanya, oleh sebab itu, Dinasti Tang sudah sangat dekat.
Dinasti Tang dapat menjadi sebuah jaman keemasan, tepat karena dia tidak murni. Sepanjang sejarah tidak sedikit cendekiawan yang ingin mencari kemurnian sebuah kebudayaan, di dalamnya termasuk bahasa, begitu juga para cendekiawan Cina. Sesungguhnya, terlalu murni akan berubah jadi sesuatu yang terbuat dari kaca, biarpun tiap hari digosok hingga mengkilap dan tembus pandang, tetapi tetap tidak dapat mengubah dirinya yang kecil, tipis, dan rapuh. Dan mungkin suatu hari, karena agak kuat menggenggamnya sewaktu menggosok sehingga dia hancur berkeping, dan kepingan itu juga sangat mungkin melukai tangan. Apalagi, kaca juga merupakan senyawa kimia, bagaimana dapat dikatakan benar-benar murni?
Dinasti Wei Utara menggunakan seluruh dayanya mempersiapkan Dinasti Tang yang tidak murni. Karena tidak murni maka jalan itu berubah menjadi lebar dan terbuka, dan di sisinya masih ada dua pintu gua batu yang megah, ini adalah satu jalan besar yang disusun dari potongan-potongan batu keras, membentang di antara langit dan bumi. Jika dibandingkan, maka setapak kebudayaan yang tersembunyi di dalam gulungan kertas yang tersimpan di dalam perpustakaan, tampak terlalu sepele.
Di sekitar jalan besar ini, semua kebudayaan yang memiliki daya hidup pasti akan mendekat, ini adalah gambaran kebudayaan yang penuh warna dan hidup. Kadang-kadang kita hanya dapat mengeluh saat melihat banyak kebudayaan yang sesungguhnya sudah terbentang sepotong jalan lebar menuju kejayaan, namun begitu saja dikuburkan, hanya karena tidak dapat menerima perbedaan. Manusia selalu begitu, terlalu pintar, setelah menciptakan kebudayaan sendiri, kemudian menjadi sangat peka dan menarik garis pembatas dengan kebudayaan lain. Akibatnya, karena ingin melindungi diri sendiri akhirnya terjerumus menjadi mengekang diri sendiri. Seandainya kita melepaskan kepintaran ini, seluruh pemandangan akan menjadi berbeda, dengan demikian, saya rasa sudah sampai di depan gerbang megah Dinasti Tang.

Baca sebelumnya:
Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 1)

Dari Mana Datangnya Dinasti Tang? (Bagian 1)

Oleh John Kuan

Ilustrasi diambil dari bp.blogspot.com
Sebelum melanjutkan terjemahan puisi-puisi Dinasti Tang, saya ingin menulis satu dua hal yang berhubungan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan masa itu, catatan-catatan ini dapat dibaca sebagai lampiran untuk puisi-puisi Dinasti Tang yang pernah saya terjemahkan ataupun yang akan diterjemahkan. Catatan pertama ini akan menelusuri sepotong jalan yang cukup panjang menuju satu masa keemasan dalam sejarah Cina, yaitu Dinasti Tang.
Dari arah dan jalan mana Cina menuju Dinasti Tang? Sebagian besar cendekiawan berpendapat, hanya perlu mengikuti jalan budaya Cina yang sudah tersedia, cepat atau lambat pasti akan sampai di masa keemasan itu. Namun, kenyataannya mungkin tidak demikian. Jalan menuju jaman keemasan yang seperti Dinasti Tang memerlukan suatu kekuatan yang dashyat dan terbuka. Kekuatan ini juga pernah dimiliki Dinasti Qin dan Han, namun Dinasti Qin terlalu banyak menghabiskannya dalam intrik-intrik politik istana dan proyek-proyek raksasa, sedangkan Dinasti Han menghabiskannya dalam enam puluh tahun peperangan melawan suku Xiongnu di perbatasan, akhirnya dengan kesombongan dan kemewahan yang berlebihan telah menyebabkannya terpecah belah dan megap-megap. Walaupun Dinasti Wei (220 – 265) dan Dinasti Jin ( 265 – 420 ) terus berusaha menyusun kembali kekuatan melangkah ke arah terang, tetapi itu adalah sebuah jaman kegelapan, dengan setitik cahaya lemah dari para cendekiawan yang cenderung misterius seperti Tao Yuanming atau Wang Xizhi, bagaimana dapat menembus setapak yang gelap dan berkabut itu? Jadi bagaimana dalam keadaan begini dapat menciptakan sebuah jaman yang megah seperti Dinasti Tang?
Kekuatan yang diperlukan untuk membuka sebuah jaman keemasan sudah tidak mungkin lagi dihasilkan istana ataupun dunia cendekiawan, kekuatan itu hanya mungkin berasal dari alam terbuka. Kekuatan alam terbuka, juga dapat disebut kekuatan liar, sesuatu yang belum menyentuh peradaban. Apakah mungkin suatu kekuatan liar dapat ikut membangun sebuah puncak kebudayaan besar? Ini sangat tergantung apakah dia dapat dengan cepat memasuki peradaban. Seandainya demikian, maka kekuatan liar itu akan dapat menopang seluruh peradaban yang dimasukinya.
Tepat pada waktu itu Cina mendapat satu kekuatan liar begini, kekuatan ini berasal dari Donglu, bagian paling utara Pergunungan Khingan Agung di daerah Mongolia. Di sana hidup orang-orang nomaden yang disebut suku Xianbei, di antaranya ada satu klan yang agak menonjol, yaitu klan Tuoba. Setelah suku Xiongnu terpencar ke arah barat dan selatan dalam penaklukan Kaisar Han Wudi (156 SM – 87 SM), klan Tuoba datang ke tanah suku Xiongnu yang semula, dengan kekuatannya memaksa orang-orang Xiongnu yang tersisa beraliansi, mengalahkan suku-suku lain, menjadi yang terkuat di daerah utara, kemudian di ujung abad ke-4 mendirikan sebuah kerajaan di Pingcheng ( kini terletak di Datong, Provinsi Shanxi ). Atas saran seorang suku Han, nama kerajaannya diubah menjadi ‘ Wei “, ini untuk menunjukkan bahwa dia telah menerima kekuasaan dari klan Wei jaman Sanguo ( Samkok ) dan resmi memasuki sejarah Cina, catatan sejarah menyebutnya Dinasti Wei Utara. Dan setelah melalui peperangan dan penaklukan selama setengah abad, Dinasti Wei Utara telah selesai menyatukan seluruh daerah perairan Sungai Kuning.
Kemenangan, serta meluasnya teritori kekuasaan yang dibawa oleh kemenangan telah membuat pemimpin suku Xianbei yang mendirikan Dinasti Wei Utara terpaksa harus terlibat dalam pemikiran-pemikiran tentang kebudayaan. Persoalan yang paling jelas adalah: Suku Han telah dikalahkan, dapat diberdayakan, namun, yang diwakili suku Han adalah peradaban agraris, dan ini tidak dapat begitu saja diberdayakan oleh aturan-aturan peradaban nomaden. Ingin efektif memerintah sebuah peradaban agraris, tentu harus menekan kekuasaan absolut, melaksanakan sistem persamaan tanah ( 均田制 ), sistem pencatatan kartu keluarga ( 户籍制 ), sistem pembayaran pajak ( 纳税制 ), sistem pembagian wilayah, dan sistem-sistem ini masih menyeret serangkaian perubahan besar dalam cara hidup dan bentuk kebudayaan. Mereka dapat memilih tidak melakukan perubahan, menelantarkan tanah subur delta Sungai Kuning menjadi tanah berburu, bersama-sama mundur ke jaman primitif; atau memilih melakukan perubahan, membiarkan kebudayaan suku yang telah dikalahkan mengalahkan mereka, bersama-sama maju menuju peradaban baru.
Orang-orang bijak suku Xianbei dengan tekad dan keberanian memilih dikalahkan. Ini tentu harus menghadapi berbagai rintangan dari lingkup dalam mereka. Jiwa kesukuan yang tertutup dan angkuh serta rapuh, berkali-kali berubah jadi pembunuhan brutal. Banyak juga suku Han yang menjadi pejabat di sana mati dengan mengenaskan. Namun, sejarah memihaknya, Langit memberkati, sepotong jalan revolusi penuh bercak darah itu akhirnya dapat menembus satu kesimpulan: Hanisasi (Saya lebih suka menggunakan kata yang saya buat sendiri ini daripada Sinifikasi – kurang lebih artinya mengadopsi kebudayaan suku Han). Sekitar ujung abad ke-5 Masehi, dimulai oleh Ratu Feng (442 – 490) dan dilanjutkan Kaisar Xiaowen (467 – 499), serangkaian penerapan hanisasi dilaksanakan dengan keras dan efektif. Terlebih dahulu diterapkan pada sistem pemerintahan dan sistem pertanian, kemudian perubahan-perubahan ini dengan cepat didorong ke arah kebudayaan.
Pertama, memindahkan ibukota ke arah selatan dari Pingcheng (Datong, Provinsi Shanxi) ke Luoyang di Henan. Alasannya adalah kampung halaman di utara lebih cocok ‘ pemerintah militer ( 武功 ) ‘ ala nomaden, dan daerah selatan akan lebih cocok menerapkan ‘ pemerintah sipil ( 文治 ) ‘. Dan yang dimaksud ‘ pemerintah sipil ‘ di sini adalah sepenuhnya menerapkan sistem pemberdayaan masyarakat orang Han.
Kedua, dilarang menggunakan bahasa suku Xianbei, seluruhnya menggunakan bahasa Han. Pejabat-pejabat yang telah berumur diijinkan satu masa adaptasi, dan bagi pejabat muda dibawah tiga puluh tahun jika masih menggunakan bahasa suku Xianbei, segera diturunkan pangkat dan dihukum.
Ketiga, meninggalkan pakaian adat dan pernak-pernik suku Xianbei, menerapkan tatacara dan aturan berpakaian suku Han.
Keempat, orang-orang suku Xianbei yang telah pindah ke Luoyang, seluruhnya mengubah tempat asal menjadi ‘ Luoyang, Henan ‘, setelah mati dikuburkan di Bukit Mang ( 邙山 ) di sisi utara Luoyang.
Kelima, nama klan suku Xianbei diubah menjadi marga suku Han yang satu kata.
Keenam, menerapkan tatacara li ( 礼 – di sini mungkin bisa diartikan sebagai ritual ) suku Han untuk menggantikan cara-cara lama penyembahan suku Xianbei.
Ketujuh, menganjurkan kawin campur antara suku Xianbei dan suku Han, ditentukan harus dimulai oleh bangsawan suku Xianbei, kawin campur dengan golongan terpelajar suku Han.

……

Begini banyak perintah, dikeluarkan oleh seorang penguasa minoritas yang kuat menggenggam tampuk kekuasaan, dan di sekelilingnya tidak ada yang mendesaknya melakukan semua ini, memang dapat membuat orang terhenyak. Saya rasa, ini bukan hanya di Cina, bahkan di dunia juga sangat jarang terjadi.
Perlawanan yang keras dan penuh amarah terhadap hal ini dapat dengan mudah kita bayangkan, semua perlawanan itu berentetan, penuh semangat, berhubungan dengan harga diri suku. Bahkan melibatkan anggota keluarga Kaisar Xiowen dan putra mahkota. Hukuman dari Kaisar Xiowen terhadap perlawanan ini juga sangat kejam, samasekali tidak memberi kesempatan.
Ini sudah sedikit menyerupai tokoh dalam drama Shakespeare. Sebagai penerus penguasa minoritas, dia pasti merasa bangga dengan leluhurnya, tetapi dia juga yang harus mengeluarkan perintah-perintah melepaskan tradisi leluhurnya. Terhadap hal ini, dia berusaha keras menahan penderitaan batin. Namun karena sangat menderita dan pahit, maka dia memilih perubahan yang tuntas, tidak membiarkan dirinya dan bawahannya ragu dan goyang. Dia menghukum setiap perlawanan persis seperti dia menghukum dirinya yang satu lagi.
Raja sebelumnya, Touba Gui ( 拓拔珪, yang bergelar Kaisar Daowu – 道武帝, 386 – 409 ) yang pertama kali menggagas hanisasi, dan karena pergolakan batin yang sama menyebabkan dia mengalami kekacauan pikiran, berbicara sendiri, berubah jadi beringas, sesuka hati membunuh bawahannya. Ini mungkin merupakan akibat yang pasti akan terjadi dari proses penggabungan dua budaya atau cara hidup yang sangat berbeda. Proses begini biasanya berlangsung ratusan tahun atau kadang-kadang bahkan sampai ribuan tahun baru selesai. Namun mereka memaksa menekan menjadi puluhan tahun, oleh sebab itu, sejarah sendiri saja dibuatnya limbung dan hampir pingsan.
Kaisar Xiowen meninggal di tahun penutup abad ke-5, namun, usianya hanya tiga puluh dua tahun. Kaisar Xiowen yang bernama Tuoba Hong ( 拓拔弘 ) ini hanya tiga puluh dua tahun di dunia dan ternyata telah melakukan begitu banyak perubahan-perubahan besar, benar-benar sulit dipercaya. Dalam catatan resmi dia naik tahta pada usia empat tahun, di atas tahta selama dua puluh delapan tahun, namun kenyataan adalah neneknya, Ratu Feng yang mengendalikan seluruh urusan negara. Setelah Ratu Feng meninggal dunia, dia sudah berumur dua puluh tiga tahun, jadi, dia secara mandiri memerintah hanya sekitar sembilan tahun.
Ini adalah sembilan tahun yang luar biasa. Walaupun ketegasan dan keberaniannya telah membawa akibat kekacauan politik yang rumit setelah dia meninggal. Tetapi, serangkaian perubahan-perubahan yang sangat mendalam terhadap kehidupan dan kebudayaan sudah sangat sulit berbalik arah lagi, dan inilah hal yang paling penting. Dia menggunakan sembilan tahun mendorong Cina bagian utara memasuki satu titik kebudayaan yang sangat menentukan arah perkembangan kebudayaan Cina. Oleh sebab itu dia adalah seorang Kaisar yang sangat berhasil dalam sejarah suku Xianbei, atau sejarah Dinasti Wei Utara maupun sejarah Cina secara keseluruhan. Saya kira dialah orang yang melakukan reformasi kebudayaan dalam arti yang sebenarnya.

Dari Mana datangnya Dinasti Tang? (Bagian 2)

Anjing Sentimentil

Puisi John Kuan

gambar dari 2.bp.blogspot.com

Langit petang baru selesai dipernis mengkilap,
sekuntum awan, seekor elang, sebatang tiang layar
tertangkap basah bersekutu mencorengnya
di bibir pantai ada orang bersandar di atas kursi plastik merah
ngebir sambil bercerita sebongkah hati tertusuk anak panah
di lengan kiri, merah telah mengerut hitam, anak panah berkarat
Di depan pintu bar Good Times ada orang menyapa Saturday Night Fever
menunggang Chevrolet lewat sambil menggigit Kansas di antara bibirnya
dari arah dermaga gairah numpang lewat di atas tubuh-tubuh lelaki
pergi mengejar ombak, alkohol dan teriak mesin
aku bayangkan seekor anjing sentimentil gigit remang lampu jalan menyalak

Duduk di atas garis Khatulistiwa
aku bayangkan tahun-tahun penjelajah mengarungi bersama ikan paus
dari Lautan Teduh mengayuh ke arah bibir pantai Samudera Hindia
mungkin Manusia Jawa masih berjongkok di dalam gua
atau sedang berburu di hutan perawan yang liar, tubuh penuh bulu
Manusia Peking di daratan Benua Asia
batok kepalanya terkunci di dalam laci gelap yang mana?
atau sedang sibuk di setiap mulut pasar bandar-bandar dunia
dan aku duduk jadi sebatang pohon Sunda Kelapa
menyaksikan orang kulit gelap, kulit putih, kulit kuning mengejar arus datang
mengapit senapan, meriam dan peradaban
aku bayangkan seekor anjing sentimentil mengibas ekor di kaki mereka

Sudah hampir terbakar jadi puntung rokok terakhir
kau masih menyungging amarah dan geram di sudut bibir
dan hampir pasti sudah kehilangan tanah air, semoga ada mimpi
dua tiga batang palem berdiri canggung seperti imigran baru
di depan kedai kopi, sekali duduk sudah tiga puluh musim
hanya melihat sekelompok burung datang bersarang dan pergi
kupu-kupu terus bermetamorfosis, dan kau tetap canggung
seperti imigran baru, cairan ingatan larut bersama gula dan kafein
akhirnya dapat rebah sebagai satu kerutan bisu di atas ranjang
sesekali mengintip cahaya matahari melancong ke bangku ujung jembatan
di pulau kecil itu, di sana aku bayangkan bersama anjing sentimentil lagi

Surat Cinta

Oleh John Kuan
Berpisah untuk sementara adalah baik, sebab semua yang terpampang di depan mata kelihatan seperti pengulangan, tidak mampu dibedakan. Menara tinggi sekalipun berubah jadi kerdil, seandainya dengan seksama kau melihatnya dari dekat, dan segala remeh-temeh juga akan berubah jadi persoalan besar, ketika kau terus-menerus bersentuhan dengannya. Melibatkan hati, sudah cukup membuat kebiasaan-kebiasaan kecil tampil dalam bentuk yang emosional, dan apabila sasaran sudah tidak ada di depan mata, hasrat itu akan sirna sendiri. Disebabkan sasaran itu sedang dekat, hasrat yang membuncah itu tumbuh dalam bentuk serentetan persoalan-persoalan kecil, namun ketika memiliki jarak, melalui reaksi yang luar biasa, hasrat akan kembali ke dimensinya yang alami.

Ini adalah pembukaan sepucuk surat cinta, tidak usah ragu, bukan disertasi filsafat. Coba terka surat cinta siapa. Selanjutnya dia menulis:

Demikian juga dengan cintaku. Setiap kali kita tidak bersama — sekalipun di dalam mimpi juga begitu — aku langsung dapat rasakan yang waktu berikan pada cintaku untukmu, persis seperti yang sinar matahari dan air hujan berikan kepada tumbuhan: dia membuat cintaku terus tumbuh. Setiap kali kita berpisah di dua tempat yang jauh, cintaku padamu, akan muncul begitu rupa, dalam cinta yang demikian besar, penuh berdesakan kekuatan akalku, entitas hatiku. Aku sekali lagi menyadari diriku adalah seorang lelaki, sebab aku kembali dapat merasakan hasrat yang demikian bergelora. Pengejaran akademis dan pendidikan moderen menggulung kita ke dalam situasi yang sulit dan rumit, tidak dapat tidak bersikap skeptis memandang semua pengaruh subjektif dan objektif, demikian secara utuh, kita dirancang menjadi kecil, lemah, kasar, dan plin-plan. Namun cinta ——— bukan cinta demi tipe ( orang ) Feuerbach, bukan demi metabolisme Moleschott, juga bukan demi proletariat ———adalah cinta ini, cinta kepada yang tercinta, adalah cinta untukmu yang terdalam, membuat seorang lelaki kembali menjadi lelaki lagi.

Surat cinta siapa? Kalau bukan Marx siapa lagi? Selain Marx, di dunia ini tidak akan ada orang yang memasukkan dialektika, kontradiksi, subjektif dan objektif, referensi filsafat dan sains moderen ke dalam surat cinta, bahkan tetap tidak lupa mengungkit proletariat-nya. Surat cinta itu berakhir:

“Terkubur di dalam lekukan lengannya, sebab ciumannya dan hidup kembali,” iya, di dalam lekukan lenganmu dan sebab ciumanmu — biarkan Brahmana dan Pythagoras terus berpegang teguh pada pandangan mereka tentang reinkarnasi, sebab aku setuju, juga biarkan agama Kristen menyebarkan doktrin bangkit kembali!

Tentu Marx tidak setuju dengan reinkarnasi Brahmana dan Pythagoras. juga memandang enteng doktrin Yesus bangkit kembali. Demi cinta, dia berkata: aku bisa kompromi, bahkan dapat menerima teori-teori menyesatkan itu. Mati di dalam pelukannya, dan karena ciuman bergelora hidup kembali.

*

Marx dan Jenny menikah pada tahun 1843, konon Jenny sangat cantik. Waktu itu Marx baru berumur 25 tahun. Surat cinta di atas ditulis pada tahun 1856 di London, dan Jenny demi berbagai hal mulai menunjukkan gejala jiwanya yang tergoncang. Paling banyak mengulurkan tangan bantuan adalah Engels

*

Persahabatan Marx dan Engels dimulai dari tahun 1843 di Paris

Tahun itu juga dia awal mengenal penyair Heinrich Heine, bersentuhan dengan Sosialisme Perancis, mengintip jiwa dan kehidupan proletariat. Dua tahun kemudian meninggalkan Perancis menuju Belgia, karya-karya tidak berhenti, di antaranya [Theses on Feuerbach], [The Poverty of Philoshopy] dan lain-lain, dan [The Communist Manifesto] merupakan karya tahun 1848. Di antara tahun-tahun ini dia pernah berpolemik dengan Proudhon, dan tahun 1849 menyeberang ke Inggris, baru kemudian ada surat yang saya salin di atas. Desember 1881 Jenny meninggal dunia, tidak sampai dua tahun kemudian Marx juga meninggal, dan [Das Kapital] jilid dua dan jilid tiga setelah melalui penyuntingan Engels baru diterbitkan, memakan waktu sekitar sepuluh tahun.

*

Dia menggunakan cara menulis desertasi menulis surat cinta, sehingga bentuk dan cara penyampaian menjadi samasekali berbeda. Bagian pertama dia menggunakan dialektika yang begitu rapi untuk membicarakan tentang ada dan hilangnya “hasrat”, membacanya bisa membuat orang tercengang. Sebenarnya dia berpanjang lebar setengah hari, hanya ingin berkata: “Sejak berpisah aku sangat merindukan adinda”, tetapi tidak suka tembak langsung, dengan rasionalitas menutup sensibilitas, tujuannya juga untuk menemukan sensibilitas. Di dalam surat ini saya menggunakan “hasrat” untuk menerjemahkan “passion”, dan belum pernah memeriksa teks asli yang tentu dalam Bahasa Jerman yang belum bisa saya kuasai, tidak tahu apakah kata ini sudah tepat? Marx berbuih-buih membicarakan hasrat, yang dimaksudnya selain cinta dan nafsu lelaki dan perempuan, mungkin melebar hingga rasa cemburu, amarah dan lain-lain. Setidaknya dalam Bahasa Inggeris kata ini dapat diartikan demikian. Menurut cerita, Marx pernah menulis puisi untuk Jenny. Saya belum pernah membaca puisinya, namun dari membaca disertasi, saya percaya dia pasti suka puisi dan mahir berpuisi.

Lenin berbeda. Ini dapat kita terka melalui kata “passion” yang disebut di atas. Suatu kali Lenin sedang bersama Gorky mendengar Piano Sonata No. 23 di F minor milik Beethoven, mereka berdua sama-sama terpukau. Namun sebelum seluruh movement berakhir, Lenin tiba-tiba “insyaf”, berkata pada Gorky: Barang ini terlalu indah, terlalu berbahaya, kita harus agak kejam menaklukkannya, menekannya, menghancurkannya, kalau tidak bagaimana melaksanakan revolusi? Sonata Beethoven itu juga bernama Appassionata

*

Makin lama berpisah, cintaku padamu makin besar, Marx berkata: “Persis seperti yang sinar matahari dan air hujan berikan kepada tumbuhan”. Berarti waktu sama dengan sinar matahari dan air hujan, cintaku sama dengan tumbuhan. Seperangkat metafora ini agak berbahaya, namun cukup masuk akal.

Tentu, masih termasuk suatu penyimpangan. Penyimpangan intelektualitas? Penyimpangan puisi?

*

Bagaimana kalau dibandingkan dengan cara penyampaian begini?

Rodolphe tiba-tiba kembali di kala senja, Emma sangat terkejut. Dia berkata: Aku terus ragu-ragu tidak pulang melihatmu adalah tindakan benar, sebab setiap orang dapat memanggilmu Nyonya Bovary, dan kau tidak mengijinkan aku menggunakan nama itu memanggilmu, tapi itu memang bukan namamu, milik orang lain! Kemudian Rodolphe membenamkan wajahnya di dalam ke dua telapak tangannya, berkata dalam suara terputus-putus: ” Aku tidak dapat melupakan kau. Mengingat kau, kembali membuat aku putus asa! Ah, maafkan aku… aku bisa menjauh… selamat tinggal! Aku akan pergi ke tempat yang jauh… tempat yang jauh, di sana tidak akan ada orang mengungkit namaku padamu… ”

Begini Gustave Flaubert menulis ungkapan rindu lelaki dan perempuan yang bertemu setelah berpisah enam minggu, Madame Bovary pertama kali dimuat secara bersambung pada tahun 1856 di Paris, tahun yang sama Marx menulis surat cintanya di London

*

Ilmu pengetahuan dan kajian akademis membuat orang kehilangan intuisi cinta, tidak lagi menyimpan rasa sayang yang ada di dalam percintaan, sebab dia merasa tidak senang di segala sisi, mencurigai segala hal. Ilmu pengetahuan apa? Kajian akademis apa? Penjelajahan Marx terlalu luas dan dalam, saya tidak mampu analisa. Namun dia ada mengungkit Feuerbach dan Moleschott; begitu saja dapat menggores dua nama ini di dalam surat cinta, tentu membuat orang di samping timbul rasa hormat, juga ada iri dan kagum. Ludwig Andreas von Feuerbach adalah filsuf Jerman, mempunyai pandangan yang sangat istimewa tentang hubungan antara manusia dan Tuhan. Marx pernah menulis sebuah buku khusus untuk mengkritiknya [Theses on Feuerbach] di tahun 1846. Jacob Moleschott adalah seorang pakar fisiologi Belanda yang juga merupakan salah satu tokoh penting materialisme. Di ujung surat cinta itu, dia memetik dua baris puisi (Terkubur di dalam lekukan lengannya, sebab ciumannya dan hidup kembali), tidak jelas dipetik dari mana, tapi saya duga mungkin dari Heine. Kemudian, dia berbicara kepercayaan Brahmana tentang reinkarnasi, bahkan Pythagoras juga ikut diseret, filsuf dan ahli matematika Yunani abad ke-5 SM. Kalau kita lihat tesis doktornya di Universitas Berlin ketika dia berumur 23 tahun juga mengkaji filsuf Yunani Kuno: Democritus dan Epicurus.

Tentang Yesus bangkit kembali dan naik ke surga, kemungkinan besar dia tidak percaya. Sekalipun lelehur Marx adalah penganut Yudaisme dan banyak yang menjadi rabi, tetapi ayahnya setahun sebelum Marx lahir masuk agama Kristen Protestan. Dia tidak percaya tentang bangkit kembali, saat ini demi puisi, dia kompromi, demi cinta.

Sesungguhnya seluruh isi surat juga tidak bisa terhindar jatuh ke dalam retorika. Walaupun demikian, ini tetap bukan sebuah disertasi — masih merupakan sepucuk surat cinta. Ingat, Marx di masa muda sangat rajin membaca puisi-puisi Yunani Kuno, Shakespeare, apalagi Kesusasteraan Jerman; dia sendiri juga pernah menulis puisi yang romantik, sebuah tragedi, dan sebuah roman yang belum selesai. Di dalam kata pengantarnya untuk Das Kapital jilid satu edisi Bahasa Jerman, dia mengakhiri dengan sepenggal puisi Dante:

Segui il tuo corse,e lascia dir le genti

*

Kritik Marx terhadap agama sudah merupakan pengetahuan umum

Kritik pengikut Engels terhadap agama dapat ekstrem sampai tingkat tertentu. Mereka percaya hanya dengan ateisme baru dapat membebaskan manusia. Marx selangkah lebih maju. Menurut dia kritik terhadap agama merupakan pendahuluan kita dalam mengkritik segala hal.

Agama adalah [ungkapan kesedihan nyata] kaum proletar, juga merupakan [protes mereka terhadap kesedihan nyata]. Di bawah ini adalah kata-kata Marx yang paling terkenal:

“Agama adalah keluh-kesah makhluk yang tertindas, nurani dunia yang kejam, hati dan jiwa dari seluruh kondisi yang tidak berhati dan tidak berjiwa. Agama adalah candu rakyat ”

Candu rakyat? Kaum proletar disuap candu oleh penguasa sehingga ketagihan berat, dan terkekang? Mungkin seperti ini maksudnya, namun juga terasa tidak begitu tepat. Apakah penguasa pasti dapat menolak agama, melarang candu? Kelihatannya tidak pasti. Kalau demikian, apakah perhatian dan cinta Marx terhadap kaum proletar, sudah melebar hingga ke penguasa? Ini pasti tidak mungkin

Dia mengungkit dalam surat cintanya tentang [cinta terhadap proletariat]. sudah! Patah paku potong besi, sampai di sini saja, tidak bahas lagi!

*

Agama bukan tujuan, ateisme juga bukan tujuan, bahkan komunisme juga bukan tujuan. Bagi Karl Marx, itu hanyalah bagian-bagian dari proses perkembangan manusia. Nyawa manusia barulah tujuan yang sebenarnya.

*

Moleschott, keahliannya memang sudah seharusnya di fisiologi

Kenyataannya, keterlibatan Moleschott dalam sejarah sains dapat dilihat dalam konsep [man-machine]. Dalam sejarah memang ada sekelompok ilmuwan suka melihat, menikmati, menganalisa manusia sebagai mesin. Pertama, ilmu rekayasa awalnya memang dirancang untuk mempelajari hubungan antara struktur dan fungsi, desain mesin meniru cara pengelompokan taksonomi. Kedua, dengan manusia mesin sebagai bayangan, sangat bisa menjelaskan uraian penting tubuh makhluk hidup (termasuk manusia dan binatang). Ketiga, dalam karya sastra sangat mudah terlihat, seperti Mary Shelley dengan [Frankenstein] coba menyelidiki pengalaman dan nilai manusia.

Konsep [Man-machine] ini sudah ada sejak jaman Yunani Kuno, hanya tidak umum, dan tidak mendalam. Pada jaman renaisans penguasaan teknik di Eropa mulai maju, alat yang terbuat dari tali, tinta, metal, tanah dan kayu makin bertambah, tentu akan teringat hal ini, terutama setelah melalui penjelasan Rene Descartes, sudah menjadi ilmu populer. Descartes dengan semangat filsafat mesin memperlakukan hal ini, bahwa tubuh manusia dan binatang mirip struktur mesin; dalam bukunya [ Traite de L’Homme ] yang terbit pada tahun 1662, dia menggunakan hydraulic automata untuk menjelaskan hubungan unik antara mesin dengan tubuh dan pikiran manusia. Setelah itu, melewati promosi dan penelitian dunia akedemis abad ke-18 dan abad ke-19, sehingga banyak cendekiawan Eropa percaya bahwa manusia dijelaskan sebagai sebuah mesin sangat bisa diterima. Moleschott tepat berada di puncak periode ini.

Konsep [man-machine] dengan iatromathematic. Yang disebut belakangan ini berasal dari astrologi, pelan-pelan mulai menggunakan fenomena alam semesta untuk menjelaskan fisiologi manusia, lama kelamaan tentu tidak dapat terhindar akan tergantung pada penemuan-penemuan alat, desain-desain mesin, hingga hari ini cinta terhadap kalkulator masih begitu dalam.

*

Cinta terhadap kalkulator begitu dalam — membuat orang bergidik

Seandainya berkembang sampai menjadi berkeyakinan kalkulator, lalu tiap hari disembah, tiada hari tanpa dia, situasi bisa jadi sangat genting.

Namun saya percaya manusia hanya akan berhenti pada rencana (mungkin juga sudah dilaksanakan) mempergunakan kalkulator saja, tidak benar-benar mempercayainya. Kau mempergunakannya, menyuruhnya, menindasnya, membohongnya, menyiksanya, suatu hari dia akan berontak. Kalkulator dalam film 2001: Space Odyssey telah berontak, mengerti balas dendam. Kalkulator itu diberi nama HAL, membuat saya teringat pangeran yang dapat begitu saja, tanpa pandang bulu berubah gaya dan sifat sesuai keadaan dalam drama Shakespeare (Lihat Henry IV pertama, kedua, dan Henry V). Namun seorang teman berkata bahwa ini tidak ada hubungannya dengan pangeran, sebenarnya erat berhubungan dengan IBM: tiga huruf HAL masing-masing mundur selangkah, jadi IBM.

*

Konsep [man-machine] adalah menganalisa dan menjelaskan manusia sebagai mesin

Kalkulator sebaliknya, mesin dianggap sebagai manusia, maka disebut komputer. Mereka sama-sama memiliki sesuatu yang unik, namun tidak tahu bagaimana memulainya.

*

Mungkin semua ini juga sudah ada sejak dahulu kala

Xu Zheng-徐整 yang hidup di abad ke-3 Masehi dalam bukunya:Tiga Lima Catatan Sejarah -三五历记 menggambarkan permulaan semesta begini:

Langit dan bumi kacau seperti telor ayam, Pangu lahir di tengah-tengahnya. 18.000 tahun, langit dan bumi terbuka, terang jernih sebagai langit, gelap keruh sebagai bumi. Pangu di tengah-tengahnya, sehari berubah sembilan kali, dewa di langit, yang bijak di bumi; tiap hari langit meninggi 3 meter, bumi menebal 3 meter, Pangu tumbuh 3 meter, begini selama 18.000 tahun, ukuran langit begitu tinggi, ukuran bumi begitu dalam, Pangu begitu panjang, kemudian baru ada Tiga Maharaja.

Paling suka membaca [ Pangu begitu panjang ]. Ren Fang – 任昉 yang hidup di abad ke-5 Masehi menyusun sebuah buku: Kisah Aneh – 述异记, ternyata Pangu telah mati. Ini membuat kita terpaksa teringat [man-machine], [iatromathematic], dan kalkulator, bahkan melampaui semuanya:

Setelah Pangu mati, kepala menjadi Empat Gunung, mata menjadi matahari dan bulan, cairan tubuh menjadi sungai dan lautan, bulu menjadi tumbuhan. Cerita rakyat jaman Qin dan Han menuturkan: Kepala Pangu sebagai Gunung Timur, perut sebagai Gunung Tengah, lengan kiri sebagai Gunung Selatan, lengan kanan sebagai Gunung Utara, kaki sebagai Gunung Barat. Para bijak berkata: Tangisan Pangu menjadi sungai, qi menjadi angin, suara menjadi guruh, bola mata menjadi halilintar. Kisah kuno mengatakan: Pangu senang menjadi cerah, marah menjadi mendung. Cerita rakyat tanah Chu: Suami isteri Pangu, permulaan yin yang.

Ini adalah cerita sempurna, lahirnya semesta, langit bumi gunung sungai, harus tunggu seorang pencipta mati. Awal cerita adalah kesimpulan dari Ren Fang terhadap hal ini, isinya ada di sini. Mencatat perbedaan dalam cerita rakyat Qin dan Han, dan yang menarik adalah: Setelah Pangu mati, tentu tumbang berbaring menghadap langit, kepala di timur kaki di barat. Kita menggabungkan kesimpulan Ren Fang, cerita rakyat Qin dan Han, perkataan para bijak, kisah kuno, kita pasti akan terasa semua ini memang ada sejak dahulu kala, bahkan melampaui semuanya — melampaui Descartes, Newton, Moleschott, bahkan menyamai mitologi, semacam agama.

*

Suami isteri Pangu, permulaan yin yang. Gambaran ini begitu indah, gambaran mitologi, mendekati agama

*

Terkubur di dalam lekukan lengannya

sebab ciumannya dan bangkit kembali

Apa yang susah dimengerti? Sungguh kasihan sama Marx yang demi hal kecil begini panik dan salah tingkah, untuk menjelaskan perkataannya sendiri masih harus menggunakan agama India Kuno, dan teologi agama Kristen: Demi cinta, aku kompromi!

Kawan Lawan Sama Rata

Cerita John Kuan

Saya mengambil jalur kereta api lokal dari Nara menuju Kyoto.
Kereta api bergerak sangat pelan, kecepatannya sangat cocok untuk menikmati pemandangan atau membaca buku. Negeri Salju Kawabata ada di tangan, namun saya tidak benar-benar membaca, pikiran terus melayang bersama salju dan berbagai hal tentang perempuan-perempuan tanah utara yang dingin itu. Kereta api berhenti di Stasiun Uji, papan petunjuk mengumumkan stasiun berikutnya adalah Obaku
Obaku – 黄檗 – Huang Bo, sebuah nama yang tidak asing bagi saya, nama ini berasal dari suatu tempat di Fujian, Cina. Dimulai dari tempat itu dua guru Zen Dinasti Tang, Baizhang ( 百丈 ) dan Xiyun ( 希運 ) mengembangkan sekte Huang Bo yang merupakan satu aliran besar dalam sejarah Zen di Cina
Saya pernah begitu terpikat dengan Zen, mungkin sewaktu SMA, selalu mencuri baca kitab-kitabnya, paling suka Sutra Huineng. Kemudian Zen menjadi sangat populer, banyak buku-buku tentang Zen ditulis dan diterjemahkan. Dasar Zen adalah membantu melepaskan keterikatan, membantu merobohkan rintangan pengetahuan, kembali ke kehidupan itu sendiri; Zen menjadi populer, mungkin juga merupakan suatu keterikatan lain, hanya saja saya sudah terlalu jauh dari Zen. Tidak tahu bagaimana reaksi guru-guru Zen itu melihat kearifan sederhana yang dipetik dari pengalaman hidup jatuh menjadi permainan kata dan bahasa pamer. Mungkin mereka akan berteriak dan memukul dengan kemocengnya, ketika pengikut sekte Huang Bo berhadapan dengan kekeras-kepalaan dan keterikatan, mereka akan mengunakan teriakan keras dan pukulan kemoceng untuk menghancurkan semua kepalsuan dan kepura-puraan.
Sekte Huang Bo yang dimulai di Gunung Huang Bo di Fujian lalu pindah ke Jiangxi, kemudian dikembangkan Guru Linji – 臨濟 hingga menyebar ke seluruh dataran Cina, tidak duga, di satu sudut Kyoto juga dapat bertemu dengan nama ini. Saya memutuskan turun di stasiun Obaku untuk melakukan sedikit petualangan. Dan ternyata nama stasiun ini memang berhubungan dengan sekte Huang Bo, keluar dari kereta api langsung dapat melihat tulisan besar ——— 萬福寺 – Manpuku-ji
Kuil Manpuku-ji ini didirikan oleh seorang guru Zen bernama Yinyuan – 隱元, orang Jepang memanggilnya, Ingen Ryuki. Tahun 1661, dia menyeberang dari Fujian ke Jepang, ketika itu usianya sudah 68 tahun. Dia memilih pinggiran Kyoto, di sekitar Uji untuk mendirikan kuil ini, dari tempat ini dia menyebarkan ajaran Huang Bo, dan gunung di sekitarnya dia beri nama Huang Bo, kuilnya diberi nama Wan Fu Shi ( Manpuku-ji ), persis seperti nama gunung dan kuil di kampung halamannya.
Cina belum pernah meninggalkan nama tempat yang berhubungan dengan agresi atau pendudukan militer di Jepang, justru di mana-mana dapat dengan mudah bertemu jejak langkah para penyebar kebudayaannya. Di satu sudut Kyoto ini, Guru Yinyuan yang jauh dari Fujian, mengunakan nama gunung dan kuil di kampungnya untuk nama gunung dan kuil di tempat ini, mungkin kampung halaman di hatinya adalah semua tempat yang ada di bawah langit, sebuah cita-cita kehidupan yang diyakini oleh setiap orang. Tidak perlu ada prasangka, tidak terikat cinta, kebencian, dendam dan sayang, semua bisa berasal dari satu sumber. Sehingga semua gunung bisa saja disebut Gunung Huang Bo, semua kuil bisa saja disebut Kuil Wan Fu Shi!
Saya melangkah masuk ke dalam kuil, kuil ini sangat luas, terdiri dari sekelompok bangunan besar dan kecil, selain beberapa bangunan utama, seperti balai agung yang disebut kondo, gedung lonceng atau shoro, ruang sarira, dan beberapa bangunan utama lain, masih banyak bangunan-bangunan kecil yang tersebar di antara rindang hijau pinus dan sipres, seperti dapur, kamar mandi, gudang, ruang tamu, tempat istirahat, dan sebagainya. Bangunan-bangunan kecil ini sangat sederhana, umumnya dari kayu, dijaga bersih dan rapi. Bangunan-bangunan kecil ini ada yang di atas pintunya tergantung sekeping papan kasar dengan tulisan Han ‘ Ayo Minum Teh ‘, ditulis dengan kaligrafi yang indah dan bahasa sederhana yang begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari. Puncak renungan Zen tidak lebih daripada sebuah hati yang biasa dari orang biasa.
Kuil tua ini terus menjaga hubungan erat dengan kuil induk di Fujian, selama 13 generasi, semua biksu pemimpin kuil datang dari kuil induk di Fujian, setelah itu baru mulai dipimpin secara bergiliran oleh biksu senior dari Cina dan Jepang.
Pada masa Perang Cina – Jepang, kuil yang mempunyai hubungan yang begitu erat dengan Cina ini tentu juga menghadapi sebuah situasi yang sangat sulit. Ketika dendam kesumat yang dinyalakan oleh perang, kebencian yang tidak rasional yang dikibaskan oleh perang, lebih memusnahkan daripada senjata apapun, menghancurkan segala cinta, saling percaya, toleransi, dan kasih sayang di antara manusia, dan kuil yang sudah ratusan tahun menjaga sebuah keyakinan terhadap kehidupan ini juga tergoncang seakan rubuh. Dunia di luarnya penuh dengan tangisan, jeritan, kebencian, dendam, pembalasan, di mana-mana berserakan tubuh-tubuh penuh darah yang dihasilkan oleh dendam dan kebencian itu, suara tangisan memenuhi udara. Kedamaian, keyakinan, nilai kehidupan, di mata orang-orang berperang yang merah membara mungkin hanyalah sebuah keluhan hampa dan tiada daya.
Namun, kuil ini tidak rubuh. di dalam udara yang penuh pekikan kebencian, biksu-biksu Manpuku-ji melangkah keluar, mereka adalah para pengikut yang datang dari Cina dan berbagai tempat di Jepang, mereka berjalan ke dalam reruntuhan, berjalan ke dalam jeritan pilu rakyat, mereka mengumpul dan mengurus mayat-mayat yang tidak dikenal dan tidak dikuburkan, mereka berdoa untuk roh-roh ini, kemudian dikremasi, dicampur jadi satu, bangun sebuah pagoda, disimpan di sana, di depan pagoda didirikan sebuah prasasti, di atasnya dipahat empat tulisan Han yang kokoh ‘ Kawan Lawan Sama Rata ‘
Saya cukup lama berdiri di depan prasasti, di sini ada abu yang datang dari orang Cina, orang Jepang, mungkin juga orang Korea dan orang dari berbagai tempat di Asia, di sini juga ada abu dari penjajah dan yang terjajah. Apakah kawan dan lawan benar-benar bisa sama rata? Di dunia ini ada terlalu banyak perbedaan: Negara, suku, kaya dan miskin, mulia dan rendah, cantik dan buruk, hormat dan hina, pandai dan bodoh, penurut dan pembangkang, penindas dan tertindas…, sungguh kawan lawan benar-benar bisa sama rata?
Tiba-tiba airmata merambat ke seluruh wajah, saya teringat kakek yang terbunuh 30 tahun yang lalu. Senja itu kakek buru-buru berangkat ke kampung tetangga untuk mengobati orang yang terluka parah, jaraknya sekitar dua jam jalan kaki. Di tengah perjalanan dia dirampok, dalam perkelahian dengan empat orang perampok, dia terluka parah, meninggal di hari berikutnya. Dia hanya sempat berpesan tidak perlu ada dendam dan jangan balas dendam.
Kampung kami yang langsung berhadapan dengan Laut Malaka hampir setiap musim angin utara pasti ada mayat yang mengapung di pantai, dan selalu kakek yang mengurusnya. Dia selalu berkata, tidak peduli dia orang dari mana, beri dia sebuah kehormatan terakhir, kubur dia baik-baik.
Saya berpikir, di jaman yang penuh pekikan kebencian dan balas dendam itu, segala keyakinan ditertawakan, segala nilai diinjak dihina, bagaimana biksu-biksu Manpuku-ji bisa begitu yakin dengan empat kata ini ——— Kawan Lawan Sama Rata
Saya lama berdiri di depan prasasti, merapatkan telapak tangan di dada, bungkuk memberi hormat lalu menjauh. Pikiran bergerak tanpa arah, bolak-balik di antara ombak Laut Malaka dan pohon-pohon persik dan plum yang bermekaran di pekarangan rumah-rumah di sekitar kuil.

*
Tempat itu misterius bagai parabel, abstrak seperti alam mimpi.
Setelah berputar separuh pulau Singapura, melewati sebuah pintu pagar besi berwarna hitam yang sempit, kelihatan beberapa baris batu nisan, saya langsung mengerti, ini adalah sebuah perkuburan Jepang. Teman saya menunjuk sebuah nisan kecil berbentuk persegi yang berdiri di antara barisan nisan-nisan, dia berkata bahwa itu mungkin adalah sebuah perkuburan yang paling hemat tempat di dunia, di atasnya tertulis enam karakter Han:
纳骨一万余体
Terkumpul Tulang Lebih dari Sepuluh Ribu Jasad.
Di bawah batu nisan kecil ini terkubur lebih dari sepuluh ribu abu tulang tentara kekaisaran Jepang yang datang menyerang Asia Tenggara. Lalu dia menunjuk ke satu hamparan rumput hijau, di atasnya bertaburan patok-patok batu, ” satu patok batu berarti seorang pelacur Jepang, lihat ada berapa banyak! ” katanya.
Saya tentu tercengang. Jepang yang pernah mengaduk Asia hingga limbung dan setengah pingsan, menebar jelitanya dan kekejamannya hingga tempat sejauh ini, lalu mengores sebuah titik tragis di sini. Ada berapa banyak senyum manis dan jeritan, gincu bedak dan darah segar, akhirnya semua menjadi bisu, membeku, mengumpal di satu sudut. Membeku jadi semacam persembunyian, sembunyi dari keramaian, sembunyi dari sejarah, hanya ingin mendekap rumput hijau dan suara burung, mendekap rasa bersalah, tanpa suara, dan juga tidak ingin didekati orang.
Tidak ada pedagang, karyawan, pekerja, petualang, kelasi, dokter berbaring di sini, hanya ada dua pasukan yang paling gemuruh, kemudian hilang di padang rumput yang tidak seberapa besar ini. Kita mesti hati-hati melangkah, takut ada yang terinjak. Di bawah kaki, di antara berlapis-lapis roh yang berdesakan ini, terkubur berapa tumpuk sejarah Jepang, berapa tumpuk sejarah Asia Tenggara, berapa tumpuk kisah cinta, berapa tumpuk sejarah penjajahan. Setiap tumpuk terlalu pedih dan dalam, maka hanya dapat dari pedih dan dalam kembali ke keheningan, seperti seorang petapa tua yang penuh kerutan di wajah, sudah tidak ingin, sekalipun hanya mengeluh.
Ada sebuah nisan yang cukup megah dan berwibawa di perkuburan ini, dia adalah Hasaichi Terauchi, sebuah nama yang tidak asing bagi peminat sejarah Perang Pasifik. Dalam catatan ini saya sungguh tidak ingin bercerita tentang dia, sebelum diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat Ekpedisi Selatan, dia yang paling bertanggung jawab terhadap kekejaman yang memerahkan Sungai Kuning selama menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat Wilayah Cina Utara, kemudian kekejaman itu dipindahkan ke Asia Tenggara. Bersama Laksamana Yamamoto, Hasaichi Terauchi merancang Perang Pasifik yang mengemparkan dunia. Akhirnya harus bersama bawahannya berbaring di tempat yang tersembunyi ini.

Ilustrasi dari styvopdevianartdotcom
Sekarang seharusnya kita lihat pelacur-pelacur Jepang yang malang itu.
Di perkuburan ini, mereka jauh lebih tua daripada tentara-tentara itu. Dimulai sekitar awal abad ke-20, gelombang kedatangan pelacur Jepang ke Asia Tenggara mencapai beberapa kali puncak, setiap kali selalu berhubungan dengan kelesuan ekonomi Jepang. Perempuan-perempuan muda yang sulit mendapat kerja di tempat asalnya, datang ke Asia Tenggara yang kala itu lebih makmur karena hasil perkebunan dan tambang, menjual senyum mereka yang terhina.
Perempuan-perempuan Jepang yang cantik dan lembut dengan cepat dapat mengalahkan berbagai tempat hiburan lain di Asia Tenggara, kemudian dengan gegap gempita digagas menjadi semacam profesi yang luar biasa. Mulai dari usahawan yang penuh semangat hingga para pekerja tambang yang menderita, pasti dapat menemukan rumah bordil yang sesuai. Para pelanggan dari berbagai negara dan bangsa terus keluar masuk rumah-rumah bordil Jepang. Saat itu, citra Jepang di Asia Tenggara, selain lemah juga sangat kasihan.
Karena kedatangan pelacur Jepang ke Asia Tenggara berhubungan erat dengan kelesuan ekonomi dalam negeri, dan kelesuan ekonomi inilah yang menyebabkan Jepang harus berekspansi. Dengan kata lain, kedatangan pelacur Jepang di awal dan disusul kedatangan tentara Jepang kemudian mungkin ada semacam hubungan sebab-akibat. Dan kuburan mereka yang saling berdekatan, kelihatan seperti sebuah rancangan logika sejarah.
Kisah tentang penderitaan pelacur Jepang tertuang penuh di dalam filem Sandakan No. 8. Namun, menurut saya, bagaimanapun itu adalah sebuah karya orang Jepang sendiri, pada simpul-simpul sejarah tertentu tidak dapat dengan tenang membukanya. Hal-hal yang menimpa pelacur Jepang di Asia Tenggara, harus digabung dengan tentara Jepang yang kemudian datang menduduki Asia Tenggara, dengan demikian sejarah orang Jepang di Asia Tenggara baru dapat diurai lurus dan jelas. Hanya menunjukkan rindu kampung halaman di dalam penderitaan dan penghinaan, jelas telah memperkecil topik.
Ada satu detil di dalam film Sandakan No. 8 yang sulit dilupakan. Pelacur-pelacur Jepang yang meninggal di Asia Tenggara, nisan mereka semuanya membelakangi kampung halaman. Ternyata memang demikian, nisan-nisan yang saya lihat di perkuburan ini persis seperti itu, lebih dari tiga ratus nisan pelacur-pelacur Jepang, semuanya menghadap barat, tidak ada satupun menghadap utara!
Mungkin tidak berani, mungkin enggan, mereka mengeraskan hari, tidak menoleh, lalu menghadap arah yang berbeda dan berbaring, tidak lagi menyayat hati, tidak lagi memendam benci, bahkan ujung mata juga tidak ingin menyapu tempat yang dulu pernah setiap hari rindukan itu.
Saya percaya di bawah nisan-nisan ini pasti tersimpan banyak cerita yang mengharukan, tetapi nisan-nisan ini tidak meninggalkan data apapun, bahkan nama-nama mereka yang di pahat di batu nisan juga jelas bukan nama mereka yang sebenarnya, sehingga berimajinasi saja tidak diberi kesempatan. Misalnya, ada nisan dengan pahatan yang sangat halus, kelihatan agak istimewa, apakah dia seorang perempuan yang sangat berbakat? Baik hati? Sehingga teman-temannya memberi dia sebuah hadiah terakhir yang cantik. Dan mengapa ada nisan yang samasekali tidak ada tulisan? Apakah dia telah melakukan kesalahan besar atau terjadi sesuatu yang di luar dugaan? Dan ada lima nisan yang disusun sebaris, apakah mereka bersumpah sehidup semati? Dan apa yang menyebabkan bersumpah demikian…
Setelah meninggalkan tanah perkuburan itu, pikiran saya berkelana di antara wajah gadis-gadis muda Indonesia yang mangkal di sekitar Boat Quay dan Clarke Quay, di lorong-lorong Geylang, ataupun mungkin di Shinjuku. Di balik senyum lembut dan senyum mengoda itu tersimpan berapa banyak cerita kemiskinan, pembodohan, penindasan, dan di bawahnya masih tersusun berlapis-lapis sejarah penjajahan, sejarah korupsi, sejarah balas dendam politik. Sungguh kawan dan lawan bisa sama rata?

Cerita Lain:
BUDAK
Orang Asing di Malam Paskah