Cerita John Kuan

Kereta api bergerak sangat pelan, kecepatannya sangat cocok untuk menikmati pemandangan atau membaca buku. Negeri Salju Kawabata ada di tangan, namun saya tidak benar-benar membaca, pikiran terus melayang bersama salju dan berbagai hal tentang perempuan-perempuan tanah utara yang dingin itu. Kereta api berhenti di Stasiun Uji, papan petunjuk mengumumkan stasiun berikutnya adalah Obaku
Obaku – 黄檗 – Huang Bo, sebuah nama yang tidak asing bagi saya, nama ini berasal dari suatu tempat di Fujian, Cina. Dimulai dari tempat itu dua guru Zen Dinasti Tang, Baizhang ( 百丈 ) dan Xiyun ( 希運 ) mengembangkan sekte Huang Bo yang merupakan satu aliran besar dalam sejarah Zen di Cina
Saya pernah begitu terpikat dengan Zen, mungkin sewaktu SMA, selalu mencuri baca kitab-kitabnya, paling suka Sutra Huineng. Kemudian Zen menjadi sangat populer, banyak buku-buku tentang Zen ditulis dan diterjemahkan. Dasar Zen adalah membantu melepaskan keterikatan, membantu merobohkan rintangan pengetahuan, kembali ke kehidupan itu sendiri; Zen menjadi populer, mungkin juga merupakan suatu keterikatan lain, hanya saja saya sudah terlalu jauh dari Zen. Tidak tahu bagaimana reaksi guru-guru Zen itu melihat kearifan sederhana yang dipetik dari pengalaman hidup jatuh menjadi permainan kata dan bahasa pamer. Mungkin mereka akan berteriak dan memukul dengan kemocengnya, ketika pengikut sekte Huang Bo berhadapan dengan kekeras-kepalaan dan keterikatan, mereka akan mengunakan teriakan keras dan pukulan kemoceng untuk menghancurkan semua kepalsuan dan kepura-puraan.
Sekte Huang Bo yang dimulai di Gunung Huang Bo di Fujian lalu pindah ke Jiangxi, kemudian dikembangkan Guru Linji – 臨濟 hingga menyebar ke seluruh dataran Cina, tidak duga, di satu sudut Kyoto juga dapat bertemu dengan nama ini. Saya memutuskan turun di stasiun Obaku untuk melakukan sedikit petualangan. Dan ternyata nama stasiun ini memang berhubungan dengan sekte Huang Bo, keluar dari kereta api langsung dapat melihat tulisan besar ——— 萬福寺 – Manpuku-ji
Kuil Manpuku-ji ini didirikan oleh seorang guru Zen bernama Yinyuan – 隱元, orang Jepang memanggilnya, Ingen Ryuki. Tahun 1661, dia menyeberang dari Fujian ke Jepang, ketika itu usianya sudah 68 tahun. Dia memilih pinggiran Kyoto, di sekitar Uji untuk mendirikan kuil ini, dari tempat ini dia menyebarkan ajaran Huang Bo, dan gunung di sekitarnya dia beri nama Huang Bo, kuilnya diberi nama Wan Fu Shi ( Manpuku-ji ), persis seperti nama gunung dan kuil di kampung halamannya.
Cina belum pernah meninggalkan nama tempat yang berhubungan dengan agresi atau pendudukan militer di Jepang, justru di mana-mana dapat dengan mudah bertemu jejak langkah para penyebar kebudayaannya. Di satu sudut Kyoto ini, Guru Yinyuan yang jauh dari Fujian, mengunakan nama gunung dan kuil di kampungnya untuk nama gunung dan kuil di tempat ini, mungkin kampung halaman di hatinya adalah semua tempat yang ada di bawah langit, sebuah cita-cita kehidupan yang diyakini oleh setiap orang. Tidak perlu ada prasangka, tidak terikat cinta, kebencian, dendam dan sayang, semua bisa berasal dari satu sumber. Sehingga semua gunung bisa saja disebut Gunung Huang Bo, semua kuil bisa saja disebut Kuil Wan Fu Shi!
Saya melangkah masuk ke dalam kuil, kuil ini sangat luas, terdiri dari sekelompok bangunan besar dan kecil, selain beberapa bangunan utama, seperti balai agung yang disebut kondo, gedung lonceng atau shoro, ruang sarira, dan beberapa bangunan utama lain, masih banyak bangunan-bangunan kecil yang tersebar di antara rindang hijau pinus dan sipres, seperti dapur, kamar mandi, gudang, ruang tamu, tempat istirahat, dan sebagainya. Bangunan-bangunan kecil ini sangat sederhana, umumnya dari kayu, dijaga bersih dan rapi. Bangunan-bangunan kecil ini ada yang di atas pintunya tergantung sekeping papan kasar dengan tulisan Han ‘ Ayo Minum Teh ‘, ditulis dengan kaligrafi yang indah dan bahasa sederhana yang begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari. Puncak renungan Zen tidak lebih daripada sebuah hati yang biasa dari orang biasa.
Kuil tua ini terus menjaga hubungan erat dengan kuil induk di Fujian, selama 13 generasi, semua biksu pemimpin kuil datang dari kuil induk di Fujian, setelah itu baru mulai dipimpin secara bergiliran oleh biksu senior dari Cina dan Jepang.
Pada masa Perang Cina – Jepang, kuil yang mempunyai hubungan yang begitu erat dengan Cina ini tentu juga menghadapi sebuah situasi yang sangat sulit. Ketika dendam kesumat yang dinyalakan oleh perang, kebencian yang tidak rasional yang dikibaskan oleh perang, lebih memusnahkan daripada senjata apapun, menghancurkan segala cinta, saling percaya, toleransi, dan kasih sayang di antara manusia, dan kuil yang sudah ratusan tahun menjaga sebuah keyakinan terhadap kehidupan ini juga tergoncang seakan rubuh. Dunia di luarnya penuh dengan tangisan, jeritan, kebencian, dendam, pembalasan, di mana-mana berserakan tubuh-tubuh penuh darah yang dihasilkan oleh dendam dan kebencian itu, suara tangisan memenuhi udara. Kedamaian, keyakinan, nilai kehidupan, di mata orang-orang berperang yang merah membara mungkin hanyalah sebuah keluhan hampa dan tiada daya.
Namun, kuil ini tidak rubuh. di dalam udara yang penuh pekikan kebencian, biksu-biksu Manpuku-ji melangkah keluar, mereka adalah para pengikut yang datang dari Cina dan berbagai tempat di Jepang, mereka berjalan ke dalam reruntuhan, berjalan ke dalam jeritan pilu rakyat, mereka mengumpul dan mengurus mayat-mayat yang tidak dikenal dan tidak dikuburkan, mereka berdoa untuk roh-roh ini, kemudian dikremasi, dicampur jadi satu, bangun sebuah pagoda, disimpan di sana, di depan pagoda didirikan sebuah prasasti, di atasnya dipahat empat tulisan Han yang kokoh ‘ Kawan Lawan Sama Rata ‘

Tiba-tiba airmata merambat ke seluruh wajah, saya teringat kakek yang terbunuh 30 tahun yang lalu. Senja itu kakek buru-buru berangkat ke kampung tetangga untuk mengobati orang yang terluka parah, jaraknya sekitar dua jam jalan kaki. Di tengah perjalanan dia dirampok, dalam perkelahian dengan empat orang perampok, dia terluka parah, meninggal di hari berikutnya. Dia hanya sempat berpesan tidak perlu ada dendam dan jangan balas dendam.
Kampung kami yang langsung berhadapan dengan Laut Malaka hampir setiap musim angin utara pasti ada mayat yang mengapung di pantai, dan selalu kakek yang mengurusnya. Dia selalu berkata, tidak peduli dia orang dari mana, beri dia sebuah kehormatan terakhir, kubur dia baik-baik.
Saya berpikir, di jaman yang penuh pekikan kebencian dan balas dendam itu, segala keyakinan ditertawakan, segala nilai diinjak dihina, bagaimana biksu-biksu Manpuku-ji bisa begitu yakin dengan empat kata ini ——— Kawan Lawan Sama Rata
Saya lama berdiri di depan prasasti, merapatkan telapak tangan di dada, bungkuk memberi hormat lalu menjauh. Pikiran bergerak tanpa arah, bolak-balik di antara ombak Laut Malaka dan pohon-pohon persik dan plum yang bermekaran di pekarangan rumah-rumah di sekitar kuil.
*
Tempat itu misterius bagai parabel, abstrak seperti alam mimpi.
Setelah berputar separuh pulau Singapura, melewati sebuah pintu pagar besi berwarna hitam yang sempit, kelihatan beberapa baris batu nisan, saya langsung mengerti, ini adalah sebuah perkuburan Jepang. Teman saya menunjuk sebuah nisan kecil berbentuk persegi yang berdiri di antara barisan nisan-nisan, dia berkata bahwa itu mungkin adalah sebuah perkuburan yang paling hemat tempat di dunia, di atasnya tertulis enam karakter Han:
纳骨一万余体
Terkumpul Tulang Lebih dari Sepuluh Ribu Jasad.
Di bawah batu nisan kecil ini terkubur lebih dari sepuluh ribu abu tulang tentara kekaisaran Jepang yang datang menyerang Asia Tenggara. Lalu dia menunjuk ke satu hamparan rumput hijau, di atasnya bertaburan patok-patok batu, ” satu patok batu berarti seorang pelacur Jepang, lihat ada berapa banyak! ” katanya.
Saya tentu tercengang. Jepang yang pernah mengaduk Asia hingga limbung dan setengah pingsan, menebar jelitanya dan kekejamannya hingga tempat sejauh ini, lalu mengores sebuah titik tragis di sini. Ada berapa banyak senyum manis dan jeritan, gincu bedak dan darah segar, akhirnya semua menjadi bisu, membeku, mengumpal di satu sudut. Membeku jadi semacam persembunyian, sembunyi dari keramaian, sembunyi dari sejarah, hanya ingin mendekap rumput hijau dan suara burung, mendekap rasa bersalah, tanpa suara, dan juga tidak ingin didekati orang.
Tidak ada pedagang, karyawan, pekerja, petualang, kelasi, dokter berbaring di sini, hanya ada dua pasukan yang paling gemuruh, kemudian hilang di padang rumput yang tidak seberapa besar ini. Kita mesti hati-hati melangkah, takut ada yang terinjak. Di bawah kaki, di antara berlapis-lapis roh yang berdesakan ini, terkubur berapa tumpuk sejarah Jepang, berapa tumpuk sejarah Asia Tenggara, berapa tumpuk kisah cinta, berapa tumpuk sejarah penjajahan. Setiap tumpuk terlalu pedih dan dalam, maka hanya dapat dari pedih dan dalam kembali ke keheningan, seperti seorang petapa tua yang penuh kerutan di wajah, sudah tidak ingin, sekalipun hanya mengeluh.
Ada sebuah nisan yang cukup megah dan berwibawa di perkuburan ini, dia adalah Hasaichi Terauchi, sebuah nama yang tidak asing bagi peminat sejarah Perang Pasifik. Dalam catatan ini saya sungguh tidak ingin bercerita tentang dia, sebelum diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat Ekpedisi Selatan, dia yang paling bertanggung jawab terhadap kekejaman yang memerahkan Sungai Kuning selama menjabat sebagai Panglima Angkatan Darat Wilayah Cina Utara, kemudian kekejaman itu dipindahkan ke Asia Tenggara. Bersama Laksamana Yamamoto, Hasaichi Terauchi merancang Perang Pasifik yang mengemparkan dunia. Akhirnya harus bersama bawahannya berbaring di tempat yang tersembunyi ini.
Di perkuburan ini, mereka jauh lebih tua daripada tentara-tentara itu. Dimulai sekitar awal abad ke-20, gelombang kedatangan pelacur Jepang ke Asia Tenggara mencapai beberapa kali puncak, setiap kali selalu berhubungan dengan kelesuan ekonomi Jepang. Perempuan-perempuan muda yang sulit mendapat kerja di tempat asalnya, datang ke Asia Tenggara yang kala itu lebih makmur karena hasil perkebunan dan tambang, menjual senyum mereka yang terhina.
Perempuan-perempuan Jepang yang cantik dan lembut dengan cepat dapat mengalahkan berbagai tempat hiburan lain di Asia Tenggara, kemudian dengan gegap gempita digagas menjadi semacam profesi yang luar biasa. Mulai dari usahawan yang penuh semangat hingga para pekerja tambang yang menderita, pasti dapat menemukan rumah bordil yang sesuai. Para pelanggan dari berbagai negara dan bangsa terus keluar masuk rumah-rumah bordil Jepang. Saat itu, citra Jepang di Asia Tenggara, selain lemah juga sangat kasihan.
Karena kedatangan pelacur Jepang ke Asia Tenggara berhubungan erat dengan kelesuan ekonomi dalam negeri, dan kelesuan ekonomi inilah yang menyebabkan Jepang harus berekspansi. Dengan kata lain, kedatangan pelacur Jepang di awal dan disusul kedatangan tentara Jepang kemudian mungkin ada semacam hubungan sebab-akibat. Dan kuburan mereka yang saling berdekatan, kelihatan seperti sebuah rancangan logika sejarah.
Kisah tentang penderitaan pelacur Jepang tertuang penuh di dalam filem Sandakan No. 8. Namun, menurut saya, bagaimanapun itu adalah sebuah karya orang Jepang sendiri, pada simpul-simpul sejarah tertentu tidak dapat dengan tenang membukanya. Hal-hal yang menimpa pelacur Jepang di Asia Tenggara, harus digabung dengan tentara Jepang yang kemudian datang menduduki Asia Tenggara, dengan demikian sejarah orang Jepang di Asia Tenggara baru dapat diurai lurus dan jelas. Hanya menunjukkan rindu kampung halaman di dalam penderitaan dan penghinaan, jelas telah memperkecil topik.
Ada satu detil di dalam film Sandakan No. 8 yang sulit dilupakan. Pelacur-pelacur Jepang yang meninggal di Asia Tenggara, nisan mereka semuanya membelakangi kampung halaman. Ternyata memang demikian, nisan-nisan yang saya lihat di perkuburan ini persis seperti itu, lebih dari tiga ratus nisan pelacur-pelacur Jepang, semuanya menghadap barat, tidak ada satupun menghadap utara!
Mungkin tidak berani, mungkin enggan, mereka mengeraskan hari, tidak menoleh, lalu menghadap arah yang berbeda dan berbaring, tidak lagi menyayat hati, tidak lagi memendam benci, bahkan ujung mata juga tidak ingin menyapu tempat yang dulu pernah setiap hari rindukan itu.
Saya percaya di bawah nisan-nisan ini pasti tersimpan banyak cerita yang mengharukan, tetapi nisan-nisan ini tidak meninggalkan data apapun, bahkan nama-nama mereka yang di pahat di batu nisan juga jelas bukan nama mereka yang sebenarnya, sehingga berimajinasi saja tidak diberi kesempatan. Misalnya, ada nisan dengan pahatan yang sangat halus, kelihatan agak istimewa, apakah dia seorang perempuan yang sangat berbakat? Baik hati? Sehingga teman-temannya memberi dia sebuah hadiah terakhir yang cantik. Dan mengapa ada nisan yang samasekali tidak ada tulisan? Apakah dia telah melakukan kesalahan besar atau terjadi sesuatu yang di luar dugaan? Dan ada lima nisan yang disusun sebaris, apakah mereka bersumpah sehidup semati? Dan apa yang menyebabkan bersumpah demikian…
Setelah meninggalkan tanah perkuburan itu, pikiran saya berkelana di antara wajah gadis-gadis muda Indonesia yang mangkal di sekitar Boat Quay dan Clarke Quay, di lorong-lorong Geylang, ataupun mungkin di Shinjuku. Di balik senyum lembut dan senyum mengoda itu tersimpan berapa banyak cerita kemiskinan, pembodohan, penindasan, dan di bawahnya masih tersusun berlapis-lapis sejarah penjajahan, sejarah korupsi, sejarah balas dendam politik. Sungguh kawan dan lawan bisa sama rata?
Cerita Lain:
BUDAK
Orang Asing di Malam Paskah