Arsip Kategori: Gerundelan

Negara Sekuler: Pengaruh Barat?

Gerundelan Soe Tjen Marching

gandhi
Ilustrasi dari eliteoftheworld.com
Pada senja 14 Juli 1942, lelaki tirus dengan secarik kain penutup tubuh, menyusuri tanah yang kerontang berdebu. Mereka yang tak mengenalnya akan menyangka lelaki ini sebagai gembel peminta-minta. Namun, “gembel“ bernama Mahatma Gandhi ini tidak sedang meminta-minta. Dia baru saja memutuskan sesuatu yang akan mengguncangkan dunia. Bersama dengan Kongres Nasional India, ia meluncurkan dekrit yang mendesak pemerintah Inggris untuk segera keluar dari tanah itu. India akan memerintah Negaranya sendiri, dan Gandhi merencanakan suatu sistem bagi Bangsa ini, untuk menentang kolonialisme: pemerintahan sekuler.
Sekulerisme dalam Negara secara umum dikenal sebagai sistem pemerintahan yang memisahkan agama dari politik dan kenegaraan. Inilah yang menakutkan bagi beberapa orang: bila tidak ada lagi agama yang dipegang oleh penguasa, apa yang akan mengarahkan nurani mereka?
Agama adalah untuk membuat manusia lebih manusiawi, demi kebaikan, sebuah pegangan untuk moralitas manusia. Namun, agama di tangan para pejabat telah terbukti disalahgunakan untuk semakin membohongi rakyat. Begitu pula di Indonesia. Kekerasan atas nama agama masih berlanjut. Pertempuran antar agama dibiarkan, terkadang dengan membela agama mayoritas, untuk memperoleh kepopuleran.
Pemerintah telah menggunakannya untuk ajang adu domba. Justru karena keyakinan bahwa apa saja yang menyangkut agama itu benar dan selalu baik, kebanyakan masyarakat buta. Agama bisa menjadi vitamin atau racun, tergantung dari siapa yang menyandangnya.
Dan sekali lagi, kecurigaan bahwa sekulerisme hanyalah pengaruh Barat? Mahatma Gandhi, seorang Hindu yang taat beribadah, telah mengenali muslihat agama dalam politik. Justru dengan sekulerisme, dia melawan dominasi Negara Inggris (yang dikenal sebagai “Barat” oleh kebanyakan orang).
Ia tahu, betapa mudahnya agama bisa dijadikan bulu-bulu domba bagi para serigala politik. Ucapnya: “Simpanlah agama untuk kehidupan pribadimu. Kita sudah cukup menderita dengan campur tangan agama atau Gereja di bawah pemerintahan Inggris. Sebuah masyarakat, yang kehidupan agamanya tergantung pada Negara, sungguhlah tidak layak mempunyai agama. . .”

Pemahaman Keliru Tentang Lirisisme Dalam Prosa

Oleh Richard Oh

prosa lirisPerkembangan sastra dalam negeri saat ini, menurut saya, cukup memprihatinkan karena penekanannya lebih pada sintaksis ketimbang integritas dan keunikan ekspresi. Maka, sering kita baca betapa dahsyat Cala Ibi karena pengungkapannya yang unik. Ia bahkan dianggap memperbarui bahasa dan lain-lain. Kenyataannya, setelah membaca beberapa halaman novel ini, pembaca akan menemukan paragraf demi paragraf sarat purple prose. Saya jadi ingat kata-kata Virginia Woolfe “mannered, self-conscious”. Kalimat yang seharusnya tak perlu kompleks dan bisa ditulis sangat sederhana dipuisikan, dinyanyikan, dibuat keruh serasa pembaca senantiasa dibombardir oleh aliterasi. Rima haram bagi novelis di mana saja karena ia menjadi distraksi tersendiri dan mengganggu laju arus cerita. Metafor ataupun simbolisme yang dalam kamus seorang penulis seharusnya diungkapkan untuk memperkuat makna keseluruhan satu karya-seperti kejadian di awal bab novel Anna Karenina di mana seorang wanita mencampakkan diri ke dalam rel kereta meramal kematian Anna Karenina sendiri pada akhir novel- disalahpahami oleh penulis Cala Ibi sebagai kreativitas dalam berbahasa. Penggalan ini saya ambil secara acak dari novel itu.
Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat. Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat-atau Ahad, Rabu, hari apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari kejauhan.
Bayangkan ini hanya satu penggalan kalimat. Begitu padat dengan informasi, berputar-putar tidak menuju satu tujuan yang memberikan pencerahan makna. Apa artinya “Bapakku bening air kelapa muda”? “Ibuku sirup merah kental manis” saja sudah membingungkan, tetapi kemudian ditambah dengan “kental manis buatan sendiri”. Dan, apa pula artinya “Jumat pagi robotik”? Ada kesan, dalam menulis kalimat-kalimat ini penulis ingin memaksakan makna ke dalam tiap baris prosa, seperti seorang penyair karena keterbatasan ruang memadatkan larik dengan makna. Kalimat demi kalimat kalau dibaca bagaikan puisi sahut-menyahut, namun jadi sangat mengganggu kelancaran cerita novel ratusan halaman ini selain menambah kelelahan. Di sini terlihat jelas penulisnya tidak paham sama sekali penggunaan puisi dalam penulisan novel.
Sebelum meninggal, Italo Calvino menulis buku tipis Six Memos for the New Millenium. Ia menurunkan kepada penulis generasi penerus enam hal penting tentang penulisan, elemen-elemen pembangun sebuah karya sastra. Dia membicarakan tentang lightness, ringan yang membebaskan tapi berbobot, dengan mengutip Paul Valery, “One should be light like a bird, and not like a feather.” Dia juga bahas quickness, kegesitan prosa, dengan mengambil contoh keefektifan struktur sebuah dongeng rakyat. Kita bisa memahami makna sebuah dongeng rakyat dengan begitu mudah karena rentetan cerita bergerak maju cepat tanpa hambatan detail yang mengganggu. Dia membahas exactitude, presisi bahasa ungkapan, dan visibility, kekuatan visual dalam prosa. Dia kemudian mengupas multiplicity, yaitu suatu karya seni harus punya ambisi dan mencakup semua seperti pada novel ambisius Flaubert, Bouvard et Pecuchet, yang mencoba menuangkan semua pengetahuan dunia dalam satu buku. Untuk menulis buku ini, Flaubert membaca ribuan buku dalam pelbagai bidang disiplin.
Dengan tolok ukur Calvino ini, banyak aspek dari Cala Ibi yang perlu dipertimbangkan. Ia terlalu lamban, maka kurang quickness, seperti sebuah dongeng rakyat. Ia kurang lightness karena prosanya tak mengalir. Mungkin cukup kaya dengan visualisasi, tapi kurang exactitude sebab kreativitas dalam kata tak berarti presisi kata. Ia terlalu memikirkan permainan kata dan irama daripada ketepatan frase bagi suatu ungkapan. Untuk aspek multiplicity, di sini mungkin terlihat cakupan ambisinya, tapi tetap miskin karena kurang konsisten. Kritikus yang mencintai permainan kata dan kekayaan sintaksis memuji karya ini karena merasa novel ini telah memperbarui bahasa dengan padatnya metafora dalam kalimat-kalimat, tapi membutakan mata memeriksa integritas ungkapan yang memperkukuh makna utama novel itu.
Namun, tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini. Apakah lantas kita juga harus menyukainya dengan cara pembacaan yang dianjurkan oleh Karr terhadap puisi The Waste Land, yaitu menikmatinya segmen demi segmen tanpa terlalu memikirkan kesempurnaan struktur keseluruhan. Untuk bisa menikmati sepenuhnya, kita perlu menilai segi presisi bahasa, problema overwriting, dan kelancaran cerita yang terhambat oleh metafora yang berkelebat dan saling tubruk tanpa menciptakan makna, mengevokasi mood, atau aksen yang jelas. Sangat berbeda dengan The Waste Land atau Ulysses yang, walau sangat susah dipahami secara keseluruhan, bisa dinikmati dalam momen epiphany demi epiphany.

Diambil dari makalah “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?
Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra”
pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

Sastra di Tengah Patronase Sosial

Oleh Binhad Nurrohmat*

seni dan moralHubungan sastra dengan masyarakatnya memang rumit dan potensial menyembulkan perbedaan pendapat. Sastra bisa dinilai lantaran ada perangkat-perangkat aturan, konvensi, atau kode; dan antara perangkat yang satu dengan perangkat yang lain tak sama.
Selain itu, sastra juga punya sejumlah kemungkinan hubungan dengan struktur sosial masyarakat yang memunculkannya, ekspresi pandangan dunia atau ideologinya (Lucien Goldmann, 1977), dan juga konvensi estetikanya maupun mediasi kondisi produksinya (baik kondisi teknologis, kelembagaan, dan kondisi sosial dalam produksi seni) untuk bisa memahami dan menjelaskan fenomena sastra (Janet Wolff, 1982).
Ada anggapan bahwa sastra sebagaimana lembaga sosial yang sah dan punya konvensi yang menuntut kepatuhan terhadap sejumlah urusan demi tegaknya kesahan dan konvensinya. Pelanggaran terhadap konvensi sebuah lembaga sastra merupakan ancaman sebagaimana pelanggaran terhadap konvensi dalam sebuah lembaga masyarakat.
Ada hubungan kelembagaan antara konvensi sastra dan masyarakatnya, misalnya puisi kita pada dekade awal 1900-an yang cenderung meninggalkan pola puisi lama atau tradisional demi menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru. Kecenderungan ini terucapkan dalam puisi Rustam Effendi, “Sarat-saraf saya mungkiri, untai rangkaian seloka lama, beta buang beta singkiri, sebab laguku menurut sukma”.
Sastra juga dipandang sebagai sebuah model yang terbatas dari semesta yang tak terbatas. Sastra merupakan model dunia imajiner yang membonceng bahasa, baik dunia sosial, personal, individual, maupun hubungan antarindividu dan kemungkinan-kemungkinan hubungan yang lain. Contohnya, kasus cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin pada 1968.
Cerpen ini dianggap melukai kepercayaan Muslim karena penggambaran unsur-unsur yang berkaitan dengan agama Islam di dalam cerpen itu. Akibatnya, HB Jassin, pemimpin majalah yang memuat cerpen itu, diadili dan dihukum, meski HB Jassin menyatakan gambaran dalam cerpen itu merupakan model dunia imajinasi. Tapi masyarakat seakan menganggap penggambaran dalam cerpen itu adalah dunia kenyataan itu sendiri.
Sastra pun mengembangkan rancangan khusus berupa bangunan penafsiran yang menuntut diperlakukan sebagaimana rancangan khususnya itu. Dengan kata lain, hubungan karya sastra dengan struktur sosial tidak muncul sebagaimana adanya dalam karya sastra, misalnya, novel Siti Nurbaya yang memuat masalah politik melalui tokoh Syamsul Bahri yang berperang untuk mencari kematiannya agar berjumpa dengan kekasihnya. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka karena motif Syamsul Bahri itu romantik dan bukan karena urusan yang politis.
Selain itu, sastra kerap dirundung pembatasan atau konvensi “bisu” dalam urusan mengungkap peristiwa-peristiwa atau gagasan-gagasan tertentu. Apa yang membuat sebuah teks dianggap sebagai karya sastra karena kecocokannya dengan ukuran tertentu yang bersifat ideologis, misalnya tak melanggar “stabilitas” politik kekuasaan dan “kesopanan” umum. Kasus pamflet Rendra dan puisi Widji Thukul merupakan contoh hubungan sastra dengan standardisasi sastra versi kekuasaan.
Selain hubungan-hubungan itu, untuk memahami kondisi sastra juga perlu memerhatikan urusan yang berkaitan dengan produksi seni, yaitu teknologi dan lembaga sosial.
Teknologi cetak dan teknologi komunikasi memengaruhi kesusastraan, misalnya maraknya penerbitan buku, internet (situs dan blog) dan koran di Tanah Air setelah jatuhnya rezim Orde Baru yang berefek pada produksi dan penyebaran karya sastra. Banyak pengarang yang tak lagi berhubungan dengan penerbit resmi karena teknologi cetak yang murah (komputer/fotokopi) dan teknologi komunikasi (internet). Hambatan penyaluran karya sastra makin menyingkir dengan adanya situs di internet, kantong sastra, dan toko buku di luar jaringan toko buku besar.
Selain teknologi, lembaga sosial di dalam kesenian pun punya peran penentu dalam urusan produksi sastra. Dewan kesenian, gedung kesenian, taman budaya, media sastra, kritikus, maupun komunitas sastra merupakan wujud lembaga sastra yang punya otoritas penilaian atau legitimasi. Dulu TIM dan majalah sastra Horison dianggap sebagai pusat legitimasi kesenian di negeri ini. Setiap seniman yang diundang tampil di TIM atau karyanya dimuat Horison dianggap sebagai seniman papan atas.
Lembaga sosial dalam kesenian punya selera estetik tertentu dan perannya bisa menjadi politis dalam penarikan anggotanya (rekruitmen). Zaman dulu, penguasa di Barat menyediakan pusat latihan seni (gilda) bagi seniman yang direkrut untuk memuja dirinya.
Di zaman modern, rekruitmen seniman terselenggara lebih longgar melalui sistem sekolah maupun pelatihan yang didanai oleh sponsor, misalnya Ubud Writers dan Readers Festival dan Program Penulisan Majelis Asia Tenggara (Mastera). Secara sosiologis, dalam rekruitmen seniman ada faktor kekuatan sosial yang mendorong seseorang untuk bersekutu dengan kelompok tertentu untuk mengembangkan kerja atau karier kesenimanan.
Selain rekruitmen, lembaga sosial dalam kesenian juga menjalankan patronase, yaitu suatu hubungan di mana sang patron (pelindung) memberikan sesuatu ke pihak lain, misalnya sokongan material atau perlindungan ke seniman yang memungkinkan karya sang seniman diproduksi dan didistribusikan dalam lingkungan yang serba tak pasti dan bahkan penuh perseteruan, sedangkan sang seniman memberikan kesetiaannya kepada sang patron sebagai imbalannya, misalnya dengan penyesuaian selera ideologi atau estetikanya. Memang tak ada campur tangan langsung sang patron terhadap karya seni sang seniman, tapi ada seleksi tertentu dalam pemberian dana dapat mengindikasikan ideologi sang patron.
Menurut Edwar B Henning (1970), pengaruh patronase terjadi dalam tiga cara. Pertama, menarik seniman untuk bergabung melalui performa intelektual atau moral yang simpatik serta dukungan material. Kedua, stipulasi (persyaratan suatu kesepakatan yang harus dilaksanakan sang seniman). Ketiga, seleksi terhadap karya seni dilakukan oleh patron yang biasanya berasal dari kelompok ekonomi yang kuat dan dapat memengaruhi gaya seni sang seniman.
Patronase kesusastraan berperan penting dalam sejarah sastra Barat, misalnya patronase raja dan gereja abad XIV dan XV, patronase bangsawan pada abad XVI, dan patronase politik pada abad XVII. Mulai abad XVIII sistem patronase lenyap dan sastrawan menghadapi situasi baru yang menawarkan kebebasan lebih besar, tapi membuat sastrawan menerima tekanan hubungan pasar dan kerawanan ekonomik.
Pada abad XX hingga kini muncul patronase baru yang menggantikan hubungan patronase tradisional, misalnya pengarang menulis untuk koran, fotografer dipekerjakan oleh majalah, dan juga pengarang yang memperoleh dana dari lembaga pemerintah atau swasta dalam negeri maupun asing.

*Penulis adalah Penyair

Sumber: Republika, 02 September 2007.

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

Gerundelan Richard Oh

seni dan moralSelain bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos batas-batas kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, “Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?” Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan.

Sumber: Blog Richard Oh 18 January 2008

Siapa Saja Ateis di Indonesia?

Gerundelan Soe Tjen Marching*)

merpati perdamaian
Ilustrasi dari img.brothersoft.com
Awal bulan Januari tahun ini, seperti dilaporkan dalam surat kabar: lelaki bernama Alex Aan ditahan polisi karena tulisannya di Facebook “Tuhan tidak ada”. Alex juga sempat mengumumkan bahwa ia tidak percaya malaikat, setan, surga atau neraka. Dan karena itu, ia dikenal sebagai seorang ateis. Saya tidak tahu apakah Alex telah berbuat hal lain, selain yang sudah disebut oleh koran, sehingga ia menghadapi ancaman 5 tahun penjara. Tapi kasus ini membuat saya bertanya “kenapa ateisme begitu disikapi dengan kecurigaan di Indonesia? Apakah seseorang yang menyatakan bahwa ia tidak percaya pada Tuhan benar-benar menyinggung agama? Apakah hanya ateis yang tidak percaya pada Tuhan? Dan Tuhan yang mana?

Ateis secara umum diartikan sebagai “tidak percaya pada tuhan”. Sedangkan, di Indonesia, dikenal semboyan “Tuhan yang maha Esa”. Tuhan itu satu. Tapi bila Tuhan itu satu, mengapa titahnya begitu berbeda dari agama satu dan lainnya, dan bahkan bisa bertentangan?

Sebagai contoh, umat Islam memiliki buku suci mereka sendiri dan Allah sendiri, masing-masing terpisah dari orang-orang Kristen. Banyak Muslim dan Kristen akan mempertimbangkan dewa dalam bentuk seekor gajah atau monyet (dewa Hindu Ganesha dan Hanuman) hanyalah mitos. Saya kira, pemeluk agama Hindu tidak akan senang jika mereka harus menyembah Allah atau Yesus Kristus. Ini berarti bahwa jika Anda meyakini atau memeluk agama tertentu, Anda biasanya akan tidak percaya pada dewa-dewa atau Tuhan lain selain Tuhan agama Anda sendiri. Artinya, orang beragama bisa dianggap ateis (tidak mempercayai) tuhan dan dewa-dewa agama-agama lain.

Bahkan aliran yang berbeda dari agama yang sama dapat memiliki keyakinan yang berbeda. Pertimbangkan dua komunitas utama Islam di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. NU percaya bahwa tahlil (mengucapkan doa untuk orang mati) adalah suatu yang Islami, karena ritual tahlil adalah dzikir (mengingat dan menghormati Allah). Namun, praktik ini dianggap sesat oleh Muhammadiyah. Jadi, pujian untuk Allah bagi suatu aliran bisa dianggap sebaliknya oleh aliran lain.

Berbagai denominasi Kristen juga memiliki perbedaan mereka; Protestan dan Katolik, misalnya. Protestan tidak berdoa kepada Santa Perawan Maria. Alasannya? Mereka percaya bahwa Alkitab menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya pengantara antara manusia dan Tuhan. Berikut adalah petikan yang sering dikutip mereka: “Karena ada satu Allah, dan satu pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Yesus Kristus ” (1 Timotius 2:5). Protestan biasanya menganggap doa orang-orang Katolik terhadap Bunda Maria sebagai penyembahan berhala.

Di sisi lain, Katolik percaya bahwa karena Tuhan memilih perempuan ini untuk menjadi ibu dari Yesus, ada tempat khusus bagi sang Bunda dalam agama mereka. Karena itu, penghormatan terhadap sang perempuan adalah rasa hormat kepada Allah dan mereka mempunyai berbagai pujian terhadap Maria. Bahkan, dalam doa Rosario, mereka harus mengucapkan berpuluh kali doa “Salam Maria“.

Ada lebih banyak lagi perbedaan antara Protestan dan Katolik, salah satu yang penting adalah kepercayaan antara surga dan neraka. Katolik percaya bahwa kebanyakan orang pada akhirnya akan pergi ke surga setelah mati (bahkan beberapa ajaran menyebutkan semua manusia akhirnya akan masuk surga). Namun, mereka yang dianggap belum “layak” untuk langsung menuju ke tempat indah ini karena dosa-dosa mereka, akan dikirim terlebih dahulu ke dalam api penyucian – yaitu, tempat untuk penyiksaan sampai mereka bersih dari kesalahan mereka.

Tetapi, tidak ada api penyucian dalam Protestan. Mereka biasanya percaya bahwa orang akan pergi ke surga atau neraka, tidak ada di antara keduanya. Jadi, dalam agama yang sama pun, Tuhan tampaknya memiliki aturan yang berbeda. Memang, kebiasaan suatu agama atau bahkan aliran dapat dianggap di mata orang lain. Jika kita berbicara tentang agama-agama di dunia, bisa Anda bayangkan perbedaan mereka? Berapa macam surga, neraka dan dewa-dewa yang ada?

Ketika Agama Dianggap Ateis

Beberapa abad yang lalu, Roma menganut paham politeisme (percaya terhadap banyak tuhan), dan pada umumnya cukup toleran terhadap agama-agama lain. Mereka bahkan sering mengadopsi dewa-dewa orang lain. Namun, kepercayaan pada satu Tuhan dianggap aneh bagi penduduk Mediterania kuno. Akibatnya, banyak orang Yunani, Romawi dan Mesir memandang dengan kecurigaan agama baru saat itu, Kristen. Bahkan, tersebar isu bahkan orang-orang Kristen itu kanibal, karena mereka memakan tubuh Kristus. Dan mereka dianggap “ateis”.

Pada 64 M, selama pemerintahan Kaisar Nero (37-68), api mengoyak Roma selama enam hari. Kota Roma hampir hancur. Dalam kemarahan, rakyat menyalahkan Kaisar yang tidak bisa menangani tragedi ini. Nero segera menuding jarinya kepada orang-orang Kristen, untuk mengalihkan kemarahan rakyatnya. Nero memerintahkan beberapa pentolan kelompok “ateis” ini ditangkap. Orang-orang Kristen yang ditangkap ini, kemudian disiksa untuk menyerahkan nama orang-orang Kristen lainnya. Dan mereka-mereka ini dihukum, antara lain, dengan dijadikan santapan singa, dengan ditonton oleh publik Roma.

Ateis – Berbeda pada Waktu dan Tempat

Kristen adalah korban dalam cerita itu, tapi mereka kemudian menjadi para penganiaya di lain waktu. Selama Perang Salib, orang-orang Kristen menyatakan perang terhadap kaum politeis dan Muslim. Intinya adalah, dalam era yang berbeda dan di tempat yang berbeda, berbagai dewa atau tuhan dapat dianggap lebih benar dan asli daripada yang lain. Yang dianggap sebagai ateis juga dapat bervariasi. Bila dulu, Kristen dianggap ateis oleh para politeis Roma, pada jaman lainnya orang Kristenlah yang menuduh politeis sebagai ateis. Seringkali, kita dapat dianggap ateis oleh orang-orang dengan sistem kepercayaan yang berbeda.Karena itulah, Stephen Roberts yang mendeklarasikan dirinya sebagai ateis, pernah berkata: “Sebenarnya kita berdua adalah ateis. Aku hanya percaya pada satu tuhan lebih sedikit daripada Anda.”

(Versi yang hampir sama dalam bahasa Inggris telah dimuat di Jakarta Globe).

*)Soe Tjen Marching adalah penulis “Kisah di Balik Pintu”.

Cinta Pria kepada Wanita

Gerundelan Rere ‘Loreinetta

Bagi seorang wanita (yang lebih emosional), sebuah kata “Aku Cinta Padamu” dari mulut seorang lelaki tidak cukup membuktikan sebuah cinta. Karena itu wanita sering bertanya – tanya dalam hatinya tentang cinta pria kepadanya. Benarkah dia mencintaiku, mungkinkah hubungan ini bertahan lama, apakah cinta ini bisa berlanjut ke tingkat selanjutnya?

Semua perasaan dan pikiran yang bergejolak dalam diri anda tidak salah. Ini normal karena cara anda mencintai berbeda dengan cara pria mencintai. Anda mencintai dengan menyerahkan masa depan anda kepadanya!

Simak tulisan di bawah ini yang akan membantu anda menemukan tanda – tanda seorang pria benar – benar mencintai anda, paling tidak 3 hal ini menegaskan bahwa hubungan anda berada di jalur yang benar, berada dalam sebuah cinta sejati!

3 TANDA CINTA PRIA

Satu hal yang harus anda ketahui dari seorang pria adalah:
Pria itu simpel.
Pria itu sederhana, tidak berbelit-belit, to-the-point, dan praktis dalam hal apapun.

Demikian pula dengan cara pria mencintai seorang wanita.
kata MARS : Ketika kami memutuskan untuk mencintai anda, paling tidak ada tiga hal yang kami lakukan :

Pengakuan
Memenuhi kebutuhan anda
Melindungi anda

TANDA 1 : PENGAKUAN

Sebuah ucapan “Aku cinta padamu” dari mulut seorang pria berarti banyak bagi dirinya. Sayangnya hal ini tidak dipahami dengan benar oleh para wanita. Alasannya sederhana, karena Pria dari Mars dan Wanita dari Venus.

Mereka berbeda asal, berbeda budaya, dan berbeda kodrat!
Pria tidak banyak berbicara, sementara wanita hidup untuk berbicara.
Pria tidak suka ditolong maupun menolong tanpa diminta. Wanita senang menolong dan memiliki insting untuk mengetahui sesuatu yang salah.
Wanita bangga karena bisa membantu sementara pria merasa direndahkan jika dibantu!

Pengakuan Cinta Pria

Sebuah pengakuan cinta dari pria berarti banyak bagi dirinya. Dia menyatakan komitmennya untuk mencintai anda ! Masalahnya ada pada diri anda, para wanita!
Ingatlah bahwa pria adalah makhluk yang simple, sederhana, praktis, dan to-the-point!

Pengakuan aku cinta padamu tidak bisa kami ucapakan setiap minggu, setiap hari, ataupun setiap jam ! Jika itu yang anda inginkan, anda meminta sesuatu yang mustahil ! Mengapa meminta sesuatu yang sudah jelas kami proklamirkan ke anda?

Ketika kami memutuskan untuk mencinta anda, kami akan mengatakan kepada setiap orang yang kami temui bahwa anda adalah pacar kami, kekasih kami, calon istri kami, dan milik kami. Hal ini untuk mencegah pria – pria lain mendekati anda ! Dengan senang hati kami akan menggandeng tangan anda dan mengenalkan anda kepada teman-teman kami. Supaya mereka tahu dan tidak bermain api dengan menggoda anda!

Kita semua tahu bahwa laki-laki itu buaya. Anda tahu itu, apalagi kami para laki-laki buaya Mengakui anda adalah kekasih kami adalah salah satu cara untuk memagari anda dari binatang buas penakluk wanita.

Jadi, tanda pertama cinta seorang pria adalah sebuah pengakuan!

TANDA 2 : MEMENUHI KEBUTUHAN ANDA

Seorang pria yang mencintai anda akan membawa uang ke rumah untuk memastikan anda dan anak-anak terpenuhi semua kebutuhannya. Itulah peran kami, tujuan kami.
Selama berabad – abad masyarakat mengajarkan kepada kami kaum pria bahwa tugas utama kami adalah memastikan keluarga kami terurus, apakah kami masih hidup atau sudah mati, kami akan mengurus orang-orang yang kami cintai tanpa pamrih.

Itulah tugas terpenting menjadi laki-laki, yaitu mencukupi kelurganya.

Pria yang benar – benar mencintai anda tidak akan pernah membuat anda meminta-minta uang untuk keperluan rumah-tangga. Dia akan memastikan anda mendapatkan apa yang anda butuhkan dan inginkan, tanpa pamrih. Dia akan membawa pulang setiap rupiah yang dimilikinya. Dia tidak akan menghambur-hamburkan uangnya lalu pulang dan mengatakan, “Ini seratus ribu – hanya ini yang aku dapatkan bulan ini.”

Dia akan langsung pulang membawa semua gajinya, dan jika masih ada yang belum terbayar setelah semua kebutuhan anda terpenuhi, dia akan mengurus kekurangan itu. Ini urusan laki-laki sayang. Begitulah cara kami bekerja.

Kebutuhan adalah semua hal yang benar-benar anda butuhkan untuk bisa hidup.
Kebutuhan dan keinginan berbeda, seperti bumi dan langit.

Kebutuhan adalah hal – hal yang mendasar, yang penting, dan yang dibutuhkan untuk bisa hidup layak. Keinginan adalah hal-hal diatas kebutuhan, untuk memuaskan diri sendiri, dan bisa ditunda.
Anda harus tahu hal ini dan anda harus bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Masalah akan timbul jika anda memaksakan keinginan anda menjadi kebutuhan. Jangan menipu diri anda sendiri bahwa pria itu bodoh!
Kami tahu perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Kami akan berusaha untuk memenuhi keinginan anda, tetapi prioritas utama kami adalah kebutuhan anda!

Tanda kedua cinta pria kepada anda adalah memenuhi kebutuhan anda!

Jika mobil anda rusak, dan kami tidak mampu membayar tukang, kami akan meminta tolong kepada teman-teman kami untuk membetulkan mobil anda dan mengantar anda ke tempat yang aman dan nyaman. Jika anda sakit, kami akan membelikan obat untuk anda, memastikan semangkuk bubur hangat untuk anda makan, dan menelepon beberapa kali untuk menanyakan keadaan anda. Jika adik anda akan pergi dan membutuhkan transportasi, kami akan dengan senang hati mengantarkannya. Jika orang tua anda ingin membeli buah-buahan di hokky, kami akan siap berangkat.
Kapanpun kami bisa!

TANDA 3 : MELINDUNGI ANDA

Jika seorang lelaki sungguh-sungguh mencintai anda, orang yang berniat menyerang anda melalui kata-kata, perbuatan, saran, atau bahkan hanya pemikiran, akan dihancurkan. Pria anda akan menghancurkan semua yang menghalangi jalannya untuk memastikan siapapun yang tidak menghormati anda akan menanggung akibatnya.

Memang itulah yang setiap laki-laki bersedia lakukan untuk orang-orang yang dia akui dan nafkahi. Jika seorang pria mengatakan bahwa dia peduli terhadap anda, anda adalah miliknya yang berharga dan dia bersedia melakukan apa saja untuk melindungi miliknya yang berharga itu. Dia akan menjadi pelindung dan pemimpin bagi keluarganya karena dia paham benar bahwa laki-laki sejati adalah seorang pelindung. Tak ada laki-laki sejati yang tak melindungi apa yang dimilikinya. Ini tentang sebuah kehormatan!

Melindungi bukan hanya berarti menggunakan kekerasan fisik terhadap seseorang. Lelaki yang sungguh-sungguh mencintai dan peduli pada anda dapat melindungi dengan cara lain, apakah itu dengan cara memberi saran, atau mengambil alih tugas yang menurutnya berbahaya bagi anda.

Misalnya, jika di luar gelap, dia mungkin tidak membiarkan anda yang memarkir mobil di depan rumah atau mengajak jalan-jalan anjing sendirian karena khawatir akan keselamatan anda; dalam kasus ini, dialah yang akan memindahkan mobil dan mengajak jalan-jalan anjing, sehingga anda tetap aman di dalam rumah meskipun dia baru pulang dari kerja lembur.

Apabila anda berjalan di dekat seorang pria yang agak mencurigakan, pria yang mencintai anda akan memposisikan dirinya di antara anda dan orang itu saat berjalan, sehingga jika dia mencoba berbuat macam-macam pada anda, dia harus melewati lelaki anda terlebih dulu sebelum menyentuh anda.

KESIMPULAN

Anda, para wanita harus berhenti meraba-raba definisi tentang cinta seorang laki-laki dan mulai memahami bahwa pria mencintai dengan cara yang berbeda. Tanda – tanda pria mencintai anda bisa disingkat menjadi 3P yaitu Pengakuan, pemenuhan kebutuhan, dan perlindungan.

Seorang pria mungkin tidak bisa menemani anda berbelanja gaun untuk menghadiri pesta, tetapi pria sejati akan menemani anda menghadiri pesta itu, menggandeng tangan anda, dan dengan bangga memperkenalkan anda sebagai kekasihnya kepada semua yang hadir (pengakuan).

Dia mungkin tidak bisa ngemong dan duduk di sisi ranjang sambil memijati kaki anda saat tergolek sakit, tetapi laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai anda akan memastikan obat tersedia, bubur hangat waktu makan, dan memastikan ada orang lain yang membantu anda sampai anda benar-benar sehat kembali (pemenuh kebutuhan).

Dan mungkin saja dia tidak dengan sukarela bersedia mengganti pokok, mencuci piring, dan memijat badan anda setelah mandi ari panas, namun lelaki sejati yang sungguh-sungguh mencintai anda tidak segan-segan menembus gunung dan menyeberangi lautan jika ada orang lain yang menyakiti anda (perlindungan).
Anda dapat mempercayai semua itu.

Jika anda telah menemukan laki-laki yang bersedia melakukan semua hal itu untuk anda, percayalah, dia mencintai anda luar dalam!

BACA YA WAHAI WANITA…
Anda pasti akan tertawa ngakak membacanya, karena begitulah anda!!

*ngakaaak.:-)

Referensi:
Men are from Mars, Women are from Venus

Negara di Bawah Bayang-bayang Ranjang

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

Ilustrasi diunduh dari kompas.com

Sebenarnya saya cukup ragu menggunakan judul di atas. Mungkin akan lebih menarik jika berjudul “Negara Seluas Ranjang”. Tapi judul demikian akan terbaca terlalu satire dan tampak seperti mengarah pada satu ranjang saja. Bisa jadi pembaca menginterpretasikan sebagai ranjang Presiden saja. Ingatan pembaca seolah dikembalikan pada rumor pernikahan Pak Beye sebelum masuk Akabri. Padahal ingatan publik akan pernikahan Edhie Baskoro Yudhoyono dan Siti Aliya Radjasa belum lama ini, masih cukup hangat. Sebagian pengamat menyebut pernikahan tersebut sebagai pernikahan politik yang tentu saja dibantah Presiden (Republika, 22 November 2011). Bantahan Pak Beye pantas dimaklumi mengingat kesulitan awam membayangkan apa yang disebut pernikahan politik sebab sebenarnya memang tidak mudah mengawinkan ideologi.
Awalnya adalah Michael Foucault yang memberi istilah “tubuh adalah politik karena seks” pada wacana seks dan kekuasaan. Sebagaimana ditulis Haryatmoko (2010), Foucault memaparkan bahwa kekuasaan yang berfungsi mengatur kehidupan, memiliki tanggung jawab atas kehidupan sehingga memberi akses pada kekuasaan untuk masuk sampai pada tubuh. Dalam konteks demikian, tubuh bukan menjadi sesuatu yang penting jika tidak terdapat unsur seks. Kekuasaan menggunakan seks untuk mempolitisasi tubuh demi kekuasaan itu sendiri. Tanpa seks, tubuh bukanlah politik sebab yang demikian tidak menunjukkan tanggung jawab kekuasaan atas keberlangsungan kehidupan. (Catatan penulis tubuh di sini bisa saja tubuh lelaki atau tubuh perempuan). Penjelasan Foucault atas fenomena tersebut menarik untuk diperbincangkan terkait fenomena keindonesiaan akhir-akhir ini terutama bahwa pernikahan Ibas dan Aliya mendapatkan konteksnya. Tanpa ketertarikan seksual antara Ibas kepada Aliya atau sebaliknya, maka dapat dikatakan pernikahan Ibas dan Aliya memperoleh justifikasi sebagai pengawinan politik untuk kekuasaan semata.
Seharusnya, awal tulisan ini saya cantumi definisi seks terlebih dahulu. Mungkin saya cantumkan definisi menurut kamus besar bahasa Indonesia yang memberi definisi seks sebagai alat kelamin atau sebagai suatu hal yang berhubungan dengan kelamin atau sebagai birahi. Tetapi definisi-definisi tersebut masih belum cukup jelas menjelaskan “tubuh adalah politik karena seks”. Beberapa artikel terkait dengan seksual seperti pelecehan seksual, kuasa seks, paradok seks dan di beberapa artikel lain belum saya temukan penjelasan yang memuaskan mengenai seks. Dengan demikian saya tidak mencantumkan definisi seks sebab saya beranggapan definisi utuh serta berterima umum mengenai seks belum saya temukan.
Dengan ketidakpahaman secara utuh tentang seks, bagaimana saya harus menjelaskan keberadaan “tubuh adalah politik karena seks” pada fenomena menarik seperti pertarungan pilkada Bupati Kediri antara istri tua, Haryanti, dengan istri muda, Nurlaela, pada tahun 2010 lalu. Sebelumnya, kita ingat Rano Karno dan Dede Yusuf berhasil memenangkan pilkada. Jujur, andai mereka tidak ganteng dan seksi di mata pemilihnya, saya tidak begitu yakin mereka akan memenangkan pilkada sebab saya belum pernah membaca tulisan pemikiran Rano Karno maupun Dede Yusuf. Saya juga belum pernah membaca tulisan pemikiran Julia Peres, Inul Daratista dan Ayu Azhari yang mencoba peruntungan menjadi pejabat daerah. Absennya pemikiran dari para artis seksual tersebut seperti menjelaskan kepada publik bahwa mereka sedang mempolitisasi tubuh untuk mendapat kekuasaan. (Atau malah sebaliknya, seks menunjukkan kekuasaannya dengan menaklukkan kalkulasi-kalkulasi politik?)
Bagi kaum pembela hak-hak politik perempuan fenomena tersebut mungkin dianggap sebagai salah satu kemajuan emansipasi serta kesetaraan gender dalam hukum, politik dan kekuasaan kepemerintahan. Persoalannya, seksi pada dasarnya bukan monopoli kaum perempuan. Bisa jadi kemenangan Rano Karno, Dede Yusuf dan Dicky Chandra pun adalah karena keseksian mereka. Mengapa yang dikaitkan dengan keseksian mesti harus perempuan?
Bagi politisi tulen, tanpa daya tarik seksual mereka, tubuh-tubuh tersebut tidak menghasilkan keuntungan apapun. Tubuh-tubuh yang berpolitik tanpa comparative advantage. Adanya daya tarik seksual membuat mereka mampu melakukan penaklukan terhadap pakem politik yang lazim meski tentu saja tidak dapat dihindari perebutan kekuasaan antara politik dan seks itu sendiri. Untuk mengukur seberapa kuat daya tarik seks para calon bupati dan wakil bupati tersebut, mungkin dapat dilakukan dengan mengukur seberapa kuat competitive advantage antar mereka. Pada titik ini, apa yang disampaikan Foucault bahwa kapitalisme membutuhkan tubuh yang dapat dikontrol untuk produksi, kembali menemukan konteksnya.
Tetapi tulisan ini akan melenceng terlalu jauh dari pokok permasalahan semula tentang negara yang di bawah bayang-bayang ranjang jika memasuki kajian mana yang lebih kuat antara seks dan politik pada kekuasaan, terlepas dari rerangka kekuasaan kapitalisme yang mungkin tidak terlalu peduli mana yang lebih kuat, sepanjang tetap menghasilkan keuntungan maksimal bagi pemilik modal, itu bukan masalah urgen. Dengan kata lain, siapa yang mampu mengontrol tubuh, ia akan memperoleh keuntungan maksimal. Dan seksualitas berkali-kali tampaknya merupakan alat paling efektif dan efisien untuk melakukan kontrol tubuh. Pembicaraan di ranjang bisa jadi bermuara pada munculnya berbagai kebijakan di ranah publik. Pembicaraan para politisi dengan istrinya. Atau pembicaraan istri pertama dengan istri kedua. Atau pembicaraan para politisi dengan istri simpanannya. Atau pembicaraan entah dengan siapa yang kebetulan tidur satu ranjang. Dan di ranjang-ranjang yang tersembunyi, publik tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dibicarakan yang kemudian juga bisa jadi kebijakan yang sulit terpahami publik. Ketika kisah ranjang tersebut terkuak, kriminalisasi terhadap perempuan biasanya yang lebih dulu dilakukan.
Ambil contoh misalnya kasus Bill Clinton dan Lewinsky. Publik Amerika yang diperkenalkan sebagai negara dengan seks bebas dan bertanggung jawab, tetap lebih memilih agar Clinton mengakui perbuatan yang tidak patut. Mereka “hanya” menginginkan presidennya tidak berbohong. Tetapi, sejauh pengetahuan penulis, publik Amerika tidak menanyakan adakah kebijakan publik yang dipengaruhi kedekatan Clinton dengan Lewinsky.
Kita lihat kemudian kasus yang terjadi di Indonesia. Kasus Yahya Zaini, kasus bupati Pekalongan Qomariyah-Wahyudi, termasuk fenomena-fenomena politik yang telah disebutkan sebelumnya seperti pemilihan bupati Kediri, pencalonan Julia Perez, Inul dan Ayu Azhari. Publik lebih menyukai pewacanaan seks yang ada pada kasus-kasus tersebut tetapi abai pada substansi siapa sebenarnya pengambil keputusan yang nantinya akan berdampak luas. Pewacanaan seks ini lebih sering berujung pada kriminalisasi perempuan daripada, minimal menuntut politisi untuk tidak berbohong mengakui perbuatannya. Mengakui bahwa mereka takluk pada seks. Yang cukup mengkhawatirkan adalah apabila ternyata kriminalisasi perempuan merupakan bentuk balas dendam dari setiap kekalahan kekuasaan lelaki atas ranjang. Sayangnya, belum ada penelitian empiris tentang berbagai pertanyaan tersebut.
Dari uraian-uraian sebelumnya, saya ingin menyimpulkan bahwa terdapat kemungkinan bahwa kekuasaan dalam konteks kepemerintahan sebuah negara bisa jadi bukan tersebab oleh politik melainkan oleh dominasi seks. Dominasi tersebut tidak saja pada tataran konkrit yang kasat mata tetapi juga pada tataran abstrak imajinasi para pelaku atau obyek-obyek seks yang menjadi sasaran kekuasaan. Bayangkan perebutan kekuasaan atas kontrol tubuh itu terjadi di ranjang-ranjang para politisi kita. Bayangkan daya tarik seks Julia Peres, Inul dan Ayu Azhari menguasai imajinasi para pemilih yang kemudian dibawa keranjang kapan pun mereka mau. Emansipasi perempuan pada ranah politik mungkin saja melangkah maju, tetapi istri-istri atau perempuan-perempuan yang hak-hak seksualnya tidak terpenuhi adalah kemunduran di sisi lain.
Pada konteks pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, pada akhirnya, baik buruknya sebuah negara, maju tidaknya sebuah negara, akan bergantung pada siapa yang menguasai ranjang. Dan celakanya, entah lelaki atau perempuan yang menguasai ranjang, pemenangnya adalah tetap kapitalisme. Mungkin kaum perempuan harus berpikir ulang perjuangan untuk kaum mereka yang sesungguhnya. Atau setidaknya, kita harus berpikir ulang tentang relevansi daya tarik seksual untuk memperoleh kekuasaan di satu sisi, dan berpikir tentang relasi seks dan kekuasaan dengan kapitalisme di sisi lain.

CAKRA MANGGILINGAN: Harapan Sebuah Perputaran Menuju ke Arah Lebih Baik

Oleh: Rere ‘Loreinetta

Cakra manggilingan bagi sebagian masyarakat adalah filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro. Demikian pula dengan berputar dan terbatasnya kekuasaan.

Bentuk melingkar cakra manggilingan, atau bentuk lain yang tertutup itu dimaksudkan sebagai model membuat keseimbangan. Bila salah satu bagian tidak berfungsi sesuai peran dan atau kecepatan berputarnya, maka keseimbangan itu akan terganggu dan bahkan bisa hancur. Bilamana masih memungkinkan, akan dilakukan perbaikan (recovery) pada titik kerusakan itu hingga pulih kembali, atau terjadi keseimbangan baru.

Hukum alam Tuhan memang mengatakan sebuah kondisi tak stabil akan membuat ‘pergerakan’ untuk menuju kestabilan, tapi apa yang terjadi di alam hampir selalu, perjalanan menuju kestabilan itu menyebabkan ke ketidakstabilan-ketidakstabilan baru yang selisihnya justru semakin banyak ketidakstabilannya daripada kestabilannya.

Perlu dahi berkerut untuk memikirkannya memang, tapi begitulah teori itu. Pemahaman yang membuat pemikirnya konon menjalani kehidupan sufi dan tak henti-hentinya selalu memuja kebesaran Ilahi.

Mencoba membawa pengertian hukum alam ini kepada sebuah hukum sosial peradaban umat manusia. Yang tentunya juga semakin logis bila kita mengatakan bahwa ‘perjalanannya’ akan semakin tidak stabil tinimbang hukum alam. Karena yang terlibat di sini adalah umat manusia yang jauh dari sempurna pemahaman, akal, pikiran dan perilakunya tarhadap peri kehidupannya di muka bumi ini.

Sebuah ketidakstabilan yang ‘memaksa’ setiap orang untuk selalu bergerak, selalu berpikir, selalu mencari hal baru, selalu mencoba memperbaiki, dan di antara sekian banyak perbaikan di muka bumi ini, sebagian justru menimbulkan masalah baru, yang bisa jadi lebih besar membuat ke ketidakstabilan baru dari kestabilan yang diperoleh dari perbaikan sebelumnya, menimbulkan semangat untuk tetap bergerak, semakin berpikir, semakin mencari hal baru, demikian seterusnya.

Sebuah siklus yang terjadi pada sebuah komunitas peradaban sekelompok umat manusia pada satu daerah dan satu ras tertentu. Dan menariknya, perputaran siklus ini di daerah lain dan suku bangsa lain bisa berbeda, ada yang berputar cepat ada yang pelan, ada yang suatu ketika sebuah ras mencapai kejayaannya, sementara saat yang sama ras lain mencapai kejumudan. Dan di lain waktu, yang jaya menjadi jenuh, sementara yang di bawah, tumbuh membaik.

Itulah semua yang mungkin digambarkan sebagai kejadian ‘roda berputar’. Roda tak tampak yang begitu besar, menjangkau segala sisi kehidupan, baik yang bersifat hukum alam, maupun hukum sosial, dan melibatkan semua faktor yang ada di alam semesta ini.

Dan yang membuat kagum adalah ketika para filsafat dan budayawan Jawa dulu ternyata juga sudah melihat perputaran roda itu, dan membuat sebuah ungkapan pemikiran : CAKRA MANGGILINGAN

Ketika manusia mampu merubah diri k earah lebih baik dan lebih baik lagi,

Perkembangan potensi manusia tentunya tidak akan berkembang pesat apabila mental spiritual, dan pola pikirnya masih terbelenggu oleh sistem nilai yang diam-diam mengikat kesadaran dari dalam alam bawah sadar itu sendiri.
Agama pun sesungguhnya bukan untuk mengungkung mental, mengurung kesadaran dan kebebasan berpikir, serta membelenggu kemampuan jelajah spiritual manusia.

Sebaliknya, sungguh ideal di saat mana agama dipahami sebagai guidance (pemandu jalan) agar potensi dan prestasi manusia mampu mengembangkan kemampuan pikirnya secara maksimal, dengan orientasi yang terarah, bermanfaat sebagai berkah bagi alam semesta dan seluruh isinya.

Pada hakekatnya peran semua agama bukan bertujuan untuk membatasi perkembangan potensi diri, kreativitas dan inovasi manusia. Melainkan menjaganya agar jangan sampai inovasi manusia disalahgunakan sehingga membuat kerusakan-kehancuran di muka bumi. Sebagai contoh, bila kita percaya bahwa Tuhan itu berkah bagi alam semesta maka dinamit bukan untuk digunakan membunuh manusia lainnya, melainkan untuk menciptakan energi yang dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat, serta menjaga dan melestarikan anugrah Tuhan berupa lingkungan alam.

Dapat dibayangkan besarnya prestasi apabila manusia mampu mendayagunakan potensi diri yang lebih besar lagi, hingga mencapai 50 %-nya saja. Sebab biar seberapa pun kemajuan dan kedahsyatan potensi manusia seperti contoh di atas, kenyataannya bagian yang 90% potensi masih terpendam di dalam diri dan dibiarkan sia-sia begitu saja.

Maka tugas masing-masing kita adalah bisa membuka, menggali, mengenali, mengembangkan, lalu memanfaatkan potensi diri lebih baik daripada hari ini.
Bukan untuk mengejar kepentingan pribadi, melainkan untuk menggapai kebaikan yang lebih utama, yakni menghayati makna berkah bagi alam semesta, dengan berprinsip memanfaatkan hidup kita agar berguna bagi sesama, seluruh makhluk, dan lingkungan alam.

Apabila prinsip ini kita terapkan dalam lembaga terkecil keluarga, niscaya keluarga anda akan harmonis, tenteram, selamat, sejahtera, dan selalu kecukupan rejeki. Kalis ing rubeda, nir ing sambekala.

Semoga kita semua akan terlindung dari segala kefakiran ;
fakir kesehatan, fakir harta, fakir ilmu, fakir hati nurani, fakir budi pekerti.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa :
Sebuah ketidakstabilan yang ‘memaksa’ setiap orang untuk selalu bergerak, selalu berpikir, selalu mencari hal baru, selalu mencoba memperbaiki, dan di antara sekian banyak perbaikan di muka bumi ini, sebagian justru menimbulkan masalah baru, yang bisa jadi lebih besar membuat ke ketidakstabilan baru dari kestabilan yang diperoleh dari perbaikan sebelumnya, menimbulkan semangat untuk tetap bergerak, semakin berpikir, semakin mencari hal baru, demikian seterusnya.

Sebuah siklus yang terjadi pada sebuah komunitas peradaban sekelompok umat manusia pada satu daerah dan satu ras tertentu. Dan menariknya, perputaran siklus ini di daerah lain dan suku bangsa lain bisa berbeda, ada yang berputar cepat ada yang pelan, ada yang suatu ketika sebuah ras mencapai kejayaannya, sementara saat yang sama ras lain mencapai kejumudan. Dan di lain waktu, yang jaya menjadi jenuh, sementara yang dibawah, tumbuh membaik.

Itulah semua yang mungkin digambarkan sebagai kejadian ‘roda berputar’

Obrolan Cangkrukan Ir Soekarno Vs KH Wahid Hasyim Soal Monas dan Istiqlal.


Oleh Rere ‘Loreinetta

Monumen besar atas bangsa ini dari pemikiran Soekaro adalah Tugu Monas dan Masjid Istiqlal. Dua bangunan itu cukup monumental di zamannya, dan di zaman sekarang pun masih terlihat gagah dan berani, seberani dan segagah pemikiran Soekarno.

Peletakkan batu pertama di kedua bangunan ini nyaris bersamaan, dan sedikit menimbulkan pro kontra antara Ir. Soekarno dan KH. Wahid Hasyim.

Wahid Hasyim (ayah Gus Dur) menjadi Menteri Agama waktu itu dan bersama para ulama lain berkeinginan mendirikan masjid skala Nasional.
Ide itu dicetuskan tahun 1950, atas sepertujuan presiden dibentuklah kemudian ketua panitia pembangunan sekaligus Ketua Yayasan Istiqlal, yaitu Bapak Anwar Cokroaminoto.
Pemikiran ini disampaikan sekali lagi kepada presiden, dan beliau sangat setuju dengan pembangunan masjid Istiqlal skala nasional. Maka tahun 1961 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan masjid.

Pada tahun 1961 juga Ir. Soekarno melakukan peletakkan batu pertama pembangunan tugu Monas. Dua bangunan yang cukup besar dan mustahil untuk zaman itu, karena rakyat masih sengsara, sementara pemerintah dalam pembangunan masjid dan monumen tentu menyedot biaya milyardan rupiah, (untuk Istiqlal pembangunan pertama menelan biaya 12. juta dolar Amerika, selesai tahun 1978), demikian juga Monas sangat sebanding atas pembiayaan APBN-nya.

Demi cita-cita yang besar ini, kedua proses pembangunan mengalami titik tegang antara Presiden dan Menteri Agama.

Presiden Soekarno melakukan peletakkan batu pertama untuk Istiqlal, demikian juga untuk tugu Monas. Setelah melakukan peletakkan batu pertama Soekarno melanjutkan pembangunan Monasnya, sementara Istiqlal ditunda sementara.

Kebijakan ini menurut Menteri Agama sangat tidak logis, sama dengan melecehkan tempat ibadah. Presiden lebih mengutamakan Tugu daripada Masjid.

Umat Islam protes dan berpandangan negatif terhadap pemikiran Soekarno.
Para Ulama mengajukan petisi gugatan yang diwakili oleh Menteri Agama, KH. Wahid Hasyim. Wakil umat ini menyampaikan protes kepada presiden. Ia mendatangi istana dengan serius sekali menyampaikan amanah umat.

Setelah menyampaikan proses itu, dengan tenang Soekarno menjawab (menurut prolog sumber, keduanya berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa Timuran),
“Kenengopo aku ndisikno tugu karo masjid….!”
artinya : (kenapa aku mendahulukan membangun tugu daripada masjid)

Selanjutnya kata Soekarno,
“Tugu iku uwekku, teko pikiranku kanggo negoro…, sa’wayah-wayah aku mati, sopo seng nerusno mbangun tugu! Ora ono!”
artinya : (tugu itu milikku, dari pemikiranku untuk negara sebagai monumen. Jika sewaktu-waktu aku mati, siapa yang akan meneruskan, Tidak ada! ini hanya tugu saja)

KH. Wahid Hasyim diam, ia mendengarkan petuah Sooekarno selanjutnya,
“Bedo karo masjid, Khid ! Sa’wayah-wayah aku mati, kowe seng nerusno. Sa’wayah-wayah awakmu mati, ono umat Islam seng mikirno lan nerusno pembangunane. Lan Tugu, ora ono seng nerusno!”
artinya : (Beda kalau masjid, Khid ! Jika aku mati, kamu bisa meneruskan. Atau jika engkau mati juga, maka di belakang masih ada umat Islam yang memikirkan dan meneruskan pembangunan masjid, dan tugu tidak ada yang meneruskan pastinya).

KH. Wahid Hasyim tidak memberikan komentar.
Beliau memahami maksud Soekarno, dan membenarkan pemikiran sang presiden.

BEGITULAH ADANYA..
Suatu pemikiran yang mendalam dan luar biasa atas bangsa ini, tanpa skat-skat kepentingan di dalam hati dan pemikirannya atas keanekaragaman bangsa dan negaranya.
Seorang politisi yang memegang teguh politik kerakyatan dan kebangsaan, ia tidak hanya berkutat pada politik praktis saja walaupun hidup masa muda aktif di dunia politik.

Politik baginya atas bangsa ini sebagai alat untuk kesejahteraan dan kebesaran bangsa dan rakyat. Bukan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan nafsu sesaat saja.

Sumber : internet.

Fenomena Sondang dan Nurani Bangsa Sakit

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

Saya cukup tersentak kaget ketika membaca berita seorang demonstran membakar diri tanpa sebab yang jelas. Demonstran itu bernama Sondang Hutagalung, mahasiswa semester akhir Universitas Bung Karno (UBK). Beberapa situs saya telusuri dan mungkin beberapa informasi cukup membantu saya memberi jawab mengapa Sondang melakukan aksi bakar diri.
Ia seorang aktivis gerakan mahasiswa. Anak bungsu dari empat bersaudara. Berayah sopir taksi dan ibunya tidak bekerja. Meski demikian, ia tercatat sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi di UBK. Hidup yang cukup hebat, saya kira. Lalu mengapa ia melakukan bakar diri?
Saya tidak ingin mengatakan bahwa ia kurang beriman. Latar belakang keluarga cukup memberi gambaran bagaimana Sondang dan keluarganya bertahan hidup. Tidak mudah mengkuliahkan anak di Jakarta. Mungkin setiap pagi dan petang bibir mereka menyebut nama Tuhan agar meringankan beban dan mempermudah terjadinya perubahan. Tetapi bagi Sondang, mungkin Tuhan terlalu banyak diam. Dan ia mencoba mengubah keadaan dengan caranya sendiri, aksi membakar diri. Mungkin awalnya adalah aksi teatrikal kecil-kecilan. Namun siapa sangka bahwa itu akan menjadi sebuah drama tragedi yang membakar seluruh bangsa.
Publik tersentak. Bangsa ini rabun. Seorang martirkah ia? Dalam kondisi yang serba abu-abu, ia bisa menjadi siapa saja. Ia bisa jadi pejuang HAM karena kejadian mendekati hari peringatan HAM Internasional. Ia juga bisa jadi pejuang anti korupsi. Bisa juga menjadi pejuang anti kekerasan. Tetapi apa makna dari semua sebutan itu ketika segala sesuatu tetap berjalan seperti biasa. Pejabat biasa bersilat lidah. DPR menjalani hari-hari biasa dengan segala kebiasaannya. Para pejuang perubahan seperti biasa terkagum-kagum, “masih ada ya orang yang demikian”. Opportunis menjalankan kebiasaannya. Lalu semua kembali menjadi seperti biasa. Keluarga Sondang pun menjalani hari-hari biasa dan mulai harus membiasakan diri tanpa Sondang. Ia hanya menjadi setitik hiburan di tengah bangsa yang frustasi. Tidak lebih, tidak kurang. Sebab nurani bangsa ini sudah sakit parah.
Setiap orang menginginkan perubahan. Tetapi setiap orang ingin orang lain yang melakukan perubahan. Setiap orang ingin hidup lebih baik. Tetapi setiap orang ingin orang lain melakukan segala sesuatu untuk membuat hidupnya lebih baik. Setiap orang ingin orang lain hidup lurus, tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Lalu nurani kita semakin kebal dan bebal. Aksi-aksi yang menyentak publik tidak terasa lagi. Pengusaha semakin banyak yang bunuh diri. Orang patah hati semakin banyak bunuh diri. Kesulitan ekonomi, bunuh diri. Tapi semua sudah tidak berarti. Mungkin akan menyusul sondang-sondang yang lain, itu pun akan menjadi tidak berarti. Sebab ternyata nurani kita tidak sakit parah lagi, tetapi telah mati.
Terkadang menjadi pertanyaan, terlalu sulitkah berbagi? Sedikit berbagi kekuasaan. Sedikit berbagi kekayaan. Sedikit berbagi pengetahuan. Dan tentu saja sedikit berbagi penderitaan. Sedikit berbagi keluh kesah. Ketika setiap orang rela sedikit berbagi itulah arti sebuah keluarga. Keluarga besar bangsa Indonesia. Tanpa rasa kekeluargaan ini, sungguh sulit bagi setiap orang mengatasi pergolakan batin dan depresi yang mendera hampir setiap hari. Setajam apapun perbedaan, entah ideologi, agama, suku, sepanjang menerima sebagai saudara dalam satu keluarga, saya yakin semua dapat terlewati. Lazimnya sebuah interaksi antar anggota keluarga, saling mengalah, saling mendengarkan, memberi kesempatan, saling menjaga dan memelihara dan tentu saja tidak ada anggota keluarga yang menginginkan anggota keluarga yang lain menjadi pencuri dan perampok. Sebab yang demikian akan mencemarkan nama baik keluarga.
Membangun relasi yang sehat dalam keluarga, dalam arti sesungguhnya dan dalam arti luas sebuah negara, adalah jalan termudah yang mungkin dilakukan setiap orang. Dalam keluarga kita tidak membutuhkan martir sebab satu nyawa anggota keluarga adalah sangat berharga untuk dikorbankan. Keluarga dan kekeluargaan adalah wujud nyata dari setiap doa yang diucapkan. Kita tidak mungkin menunggu segala sesuatu Tuhan yang mengerjakan. Keluarga itulah yang harus mewujutnyatakan setiap doa dan harapan. Keluarga menjadi tempat bernaung bagi orang asing, tempat yang lapar dikenyangkan. Tempat yang sakit disembuhkan, tempat yang lemah dikuatkan. Dengan demikian keluarga menjadi doa syukur kepada Tuhan atas semua berkat dan limpahan kasih-Nya.
Semoga.
Silahkan berdoa untuk Sondang, keluarganya dan bangsa Indonesia.

Spongebob-isme: Sebuah Pengantar

image from google.co.id
Bikini Bottom adalah sebuah kota yang indah. Kota ini berada dalam lautan pasifik. Atau mungkin lebih tepatnya kota yang tenggelam di lautan. Hampir setiap orang dari berbagai umur menyukai kota ini. Bayangkan segerombolan mahkluk hidup yang gembira ria tinggal di selembar bikini yang melekat di bottom (=pantat). Saya termasuk yang menyukai tinggal dekat pantat itu.
Pagi itu, Bikini Bottom belum ramai. Spongebob hendak pergi ke luar. Mungkin hendak belanja bahan-bahan untuk membuat burger Kraby Patty. Sekembali dari “pergi ke luar” SpongeBob menemukan Patrick sedang asyik duduk menonton TV di restoran Krusty Krab.
“Jadi begini kerjamu? Duduk dan menonton TV?” sembur Spongebob pada Patrick.
“Hey, ini tidak segampang yang kamu lihat Spongebob. Kadang saya kehilangan remotenya, kadang saya harus memperbaiki antena tv, dan kadang pantat saya sakit!” jawab Patrick.
Spongebob merupakan tokoh sentral yang memiliki karakter polos, optimis, selalu ceria, dan memiliki prasangka baik terhadap siapapun. Tidak jarang Spongebob mendapat kesulitan karena terlalu “antusias” membantu orang lain. Di sisi lain, Patrick adalah tokoh yang didominasi karakter malas, bodoh yang mendekati idiot dan menimbulkan banyak kelucuan karena pertanyaan-pertanyaan atau jawaban “bodoh”. Percakapan Spongebob dengan Patrick seringkali “menyedihkan” seperti percakapan di atas. Dan percakapan menyedihkan itu menjadi humor segar yang dinikmati semua usia. Coba simak juga percakapan berikut ini:
Patrick : Spongebob? Psstttt, Spongebob? Pssst. Saya mau mengatakan sesuatu, sesuatu yang sangat penting!
Spongbob : Apa?
Patrick : Hai…
image from poster.net
Dan para penonton tertawa terpingkal menyaksikan “ketololan-ketololan” yang ada di Bikini Bottom. Penonton mentertawakan Patrick yang “idiot” mengucapkan “hai”. Atau tertawa mendengar jawaban Patrick yang membenarkan dirinya sendiri dengan alasan yang menurut kelaziman “tidak masuk akal”. Apakah percakapan yang ada di kartun Spongebob itu hanya lelucon biasa? Banyak pemirsa yang mengatakan “tidak”. Banyak pesan-pesan bernas yang belum saatnya dicerna pikiran anak-anak. Misalnya saja, mengapa kota dinamai “pantat (ber)bikini”? Atau mengapa tokoh yang begitu baik di kota lebih mudah dinamai “alat cuci piring”. Atau mungkin lebih tepatnya “sponge pengelap pantat?” Dan memang, pada kenyataanya orang baik hanya menjadi “alat pengelap pantat”. Itu sesuatu yang lucu. Begitulah SpongeBob-isme. Isme yang kental dengan nuansa sarkastis, sinis dan anarkis terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak pada tempatnya. Di Bikini Bottom, hidup hanyalah lelucon menyedihkan dan tidak semua orang sanggup mengakuinya. Nasehat dan kata-kata bijak seringkali disampaikan. Kiasan dan kata-kata indah pun tidak kurang. Simak misalnya ucapan Spongebob,”jika kamu ingin terbang, maka yang kamu butuhkan adalah persahabatan.” Atau ucapan Sandy si tupai cantik,” Jika kamu ingin jadi sahabatku, maka jadilah dirimu sendiri.”
Tetapi kata-kata bijak semacam itu hanya membuat orang tersenyum dan tidak segera membuat orang beranjak bangkit dan tetap “status quo” seperti Patrick yang meraih penghargaan sebagai “Yang Tidak Melakukan Apa-apa dalam Waktu Paling Lama.” Hidup menjadi semakin tampak menyedihkan bukan? Dan kehidupan yang semacam itu membuat frustasi setiap orang. Yang rajin berbuat baik seperti Spongebob menjadi malas, tertular kemalasan Patrick. Yang malas menjadi semakin tidak perduli. Dan yang perduli namun tidak mampu berbuat apa-apa menjadi marah seperti Squidward. Simak saja percakapan Spongebob dengan Squidward berikut ini:
Spongebob : Adakah yang lebih baik dari “melayani dengan tersenyum”?
Squidward : Mati! Atau ada yang lain?

Siapa yang Masuk ke Surga?

Renungan Kandjeng Pangeran Karyonagoro
Suatu kali pada jam istirahat, sehabis menggoda manusia, sebagai setan, saya menemui Tuhan.
“Selamat siang Tuhan. Salam hormat.”
“Maaf, saya bukan seorang militer.”
“Oh maaf Tuhan.”
“Langsung saja pada pokok persoalan.”
“Hmm … begini Tuhan. Saya jadi ragu.”
“Kenapa?”
“Memangnya ukuran manusia yang akan Engkau masukan ke sorga itu apa Tuhan?”
“Ya seperti kamu “
“Ah Tuhan bisa aja. Saya serius Tuhan.”
“Apa yang membuat kamu ragu?”
“Saya lihat kok manusia yang beragama banyak yang kasar, sok suci, munafik dan .. tidak toleran ya Tuhan?”
“Oh itu masalahnya. Itulah manusia yang pertama saya tendang masuk neraka.”
“Yang berdoa menangis-nangis bagaimana Tuhan?”
“Oh itu juga. Masak tidak bisa menerima kenyataan yang saya berikan.”
“Yang minta-minta sumbangan di jalan dan mengajukan proposal kemana-mana dengan alasan pembangunan rumah ibadah Tuhan?”
“Itu yang lebih parah. Menjual nama saya demi keuntungan dunia. Bohong itu.”
“Yang tidak beragama tapi berkepribadian baik bagaimana Tuhan?”
“Itu yang penting.”
“Jadi untuk apa agama Tuhan?”
“Itu kan buatan manusia.”
“Yang buatan Tuhan?”
“Hati mereka. Nurani mereka. Itu kuncinya.”
“Jadi agama itu salah Tuhan?”
“Bukan salah. Apa saja boleh asal hati manusia itu baik. Mau beragama atau tidak sama saja. Yang penting hatinya.”
“Maksudnya Tuhan?”
“Yang beragama ada juga yang berhati baik. Yang tidak beragama juga ada yang berhati baik. Begitu juga sebaliknya. Intinya pada kebaikannya. Bukan pada beragama atau tidaknya”.
Salam Welas Asih, Rahayu.