Gerundelan Ragil Koentjorodjati
Saya cukup tersentak kaget ketika membaca berita seorang demonstran membakar diri tanpa sebab yang jelas. Demonstran itu bernama Sondang Hutagalung, mahasiswa semester akhir Universitas Bung Karno (UBK). Beberapa situs saya telusuri dan mungkin beberapa informasi cukup membantu saya memberi jawab mengapa Sondang melakukan aksi bakar diri.
Ia seorang aktivis gerakan mahasiswa. Anak bungsu dari empat bersaudara. Berayah sopir taksi dan ibunya tidak bekerja. Meski demikian, ia tercatat sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi di UBK. Hidup yang cukup hebat, saya kira. Lalu mengapa ia melakukan bakar diri?
Saya tidak ingin mengatakan bahwa ia kurang beriman. Latar belakang keluarga cukup memberi gambaran bagaimana Sondang dan keluarganya bertahan hidup. Tidak mudah mengkuliahkan anak di Jakarta. Mungkin setiap pagi dan petang bibir mereka menyebut nama Tuhan agar meringankan beban dan mempermudah terjadinya perubahan. Tetapi bagi Sondang, mungkin Tuhan terlalu banyak diam. Dan ia mencoba mengubah keadaan dengan caranya sendiri, aksi membakar diri. Mungkin awalnya adalah aksi teatrikal kecil-kecilan. Namun siapa sangka bahwa itu akan menjadi sebuah drama tragedi yang membakar seluruh bangsa.
Publik tersentak. Bangsa ini rabun. Seorang martirkah ia? Dalam kondisi yang serba abu-abu, ia bisa menjadi siapa saja. Ia bisa jadi pejuang HAM karena kejadian mendekati hari peringatan HAM Internasional. Ia juga bisa jadi pejuang anti korupsi. Bisa juga menjadi pejuang anti kekerasan. Tetapi apa makna dari semua sebutan itu ketika segala sesuatu tetap berjalan seperti biasa. Pejabat biasa bersilat lidah. DPR menjalani hari-hari biasa dengan segala kebiasaannya. Para pejuang perubahan seperti biasa terkagum-kagum, “masih ada ya orang yang demikian”. Opportunis menjalankan kebiasaannya. Lalu semua kembali menjadi seperti biasa. Keluarga Sondang pun menjalani hari-hari biasa dan mulai harus membiasakan diri tanpa Sondang. Ia hanya menjadi setitik hiburan di tengah bangsa yang frustasi. Tidak lebih, tidak kurang. Sebab nurani bangsa ini sudah sakit parah.
Setiap orang menginginkan perubahan. Tetapi setiap orang ingin orang lain yang melakukan perubahan. Setiap orang ingin hidup lebih baik. Tetapi setiap orang ingin orang lain melakukan segala sesuatu untuk membuat hidupnya lebih baik. Setiap orang ingin orang lain hidup lurus, tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Lalu nurani kita semakin kebal dan bebal. Aksi-aksi yang menyentak publik tidak terasa lagi. Pengusaha semakin banyak yang bunuh diri. Orang patah hati semakin banyak bunuh diri. Kesulitan ekonomi, bunuh diri. Tapi semua sudah tidak berarti. Mungkin akan menyusul sondang-sondang yang lain, itu pun akan menjadi tidak berarti. Sebab ternyata nurani kita tidak sakit parah lagi, tetapi telah mati.
Terkadang menjadi pertanyaan, terlalu sulitkah berbagi? Sedikit berbagi kekuasaan. Sedikit berbagi kekayaan. Sedikit berbagi pengetahuan. Dan tentu saja sedikit berbagi penderitaan. Sedikit berbagi keluh kesah. Ketika setiap orang rela sedikit berbagi itulah arti sebuah keluarga. Keluarga besar bangsa Indonesia. Tanpa rasa kekeluargaan ini, sungguh sulit bagi setiap orang mengatasi pergolakan batin dan depresi yang mendera hampir setiap hari. Setajam apapun perbedaan, entah ideologi, agama, suku, sepanjang menerima sebagai saudara dalam satu keluarga, saya yakin semua dapat terlewati. Lazimnya sebuah interaksi antar anggota keluarga, saling mengalah, saling mendengarkan, memberi kesempatan, saling menjaga dan memelihara dan tentu saja tidak ada anggota keluarga yang menginginkan anggota keluarga yang lain menjadi pencuri dan perampok. Sebab yang demikian akan mencemarkan nama baik keluarga.
Membangun relasi yang sehat dalam keluarga, dalam arti sesungguhnya dan dalam arti luas sebuah negara, adalah jalan termudah yang mungkin dilakukan setiap orang. Dalam keluarga kita tidak membutuhkan martir sebab satu nyawa anggota keluarga adalah sangat berharga untuk dikorbankan. Keluarga dan kekeluargaan adalah wujud nyata dari setiap doa yang diucapkan. Kita tidak mungkin menunggu segala sesuatu Tuhan yang mengerjakan. Keluarga itulah yang harus mewujutnyatakan setiap doa dan harapan. Keluarga menjadi tempat bernaung bagi orang asing, tempat yang lapar dikenyangkan. Tempat yang sakit disembuhkan, tempat yang lemah dikuatkan. Dengan demikian keluarga menjadi doa syukur kepada Tuhan atas semua berkat dan limpahan kasih-Nya.
Semoga.
Silahkan berdoa untuk Sondang, keluarganya dan bangsa Indonesia.
Ia seorang aktivis gerakan mahasiswa. Anak bungsu dari empat bersaudara. Berayah sopir taksi dan ibunya tidak bekerja. Meski demikian, ia tercatat sebagai mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi di UBK. Hidup yang cukup hebat, saya kira. Lalu mengapa ia melakukan bakar diri?
Saya tidak ingin mengatakan bahwa ia kurang beriman. Latar belakang keluarga cukup memberi gambaran bagaimana Sondang dan keluarganya bertahan hidup. Tidak mudah mengkuliahkan anak di Jakarta. Mungkin setiap pagi dan petang bibir mereka menyebut nama Tuhan agar meringankan beban dan mempermudah terjadinya perubahan. Tetapi bagi Sondang, mungkin Tuhan terlalu banyak diam. Dan ia mencoba mengubah keadaan dengan caranya sendiri, aksi membakar diri. Mungkin awalnya adalah aksi teatrikal kecil-kecilan. Namun siapa sangka bahwa itu akan menjadi sebuah drama tragedi yang membakar seluruh bangsa.
Publik tersentak. Bangsa ini rabun. Seorang martirkah ia? Dalam kondisi yang serba abu-abu, ia bisa menjadi siapa saja. Ia bisa jadi pejuang HAM karena kejadian mendekati hari peringatan HAM Internasional. Ia juga bisa jadi pejuang anti korupsi. Bisa juga menjadi pejuang anti kekerasan. Tetapi apa makna dari semua sebutan itu ketika segala sesuatu tetap berjalan seperti biasa. Pejabat biasa bersilat lidah. DPR menjalani hari-hari biasa dengan segala kebiasaannya. Para pejuang perubahan seperti biasa terkagum-kagum, “masih ada ya orang yang demikian”. Opportunis menjalankan kebiasaannya. Lalu semua kembali menjadi seperti biasa. Keluarga Sondang pun menjalani hari-hari biasa dan mulai harus membiasakan diri tanpa Sondang. Ia hanya menjadi setitik hiburan di tengah bangsa yang frustasi. Tidak lebih, tidak kurang. Sebab nurani bangsa ini sudah sakit parah.
Setiap orang menginginkan perubahan. Tetapi setiap orang ingin orang lain yang melakukan perubahan. Setiap orang ingin hidup lebih baik. Tetapi setiap orang ingin orang lain melakukan segala sesuatu untuk membuat hidupnya lebih baik. Setiap orang ingin orang lain hidup lurus, tetapi tidak untuk dirinya sendiri. Lalu nurani kita semakin kebal dan bebal. Aksi-aksi yang menyentak publik tidak terasa lagi. Pengusaha semakin banyak yang bunuh diri. Orang patah hati semakin banyak bunuh diri. Kesulitan ekonomi, bunuh diri. Tapi semua sudah tidak berarti. Mungkin akan menyusul sondang-sondang yang lain, itu pun akan menjadi tidak berarti. Sebab ternyata nurani kita tidak sakit parah lagi, tetapi telah mati.
Terkadang menjadi pertanyaan, terlalu sulitkah berbagi? Sedikit berbagi kekuasaan. Sedikit berbagi kekayaan. Sedikit berbagi pengetahuan. Dan tentu saja sedikit berbagi penderitaan. Sedikit berbagi keluh kesah. Ketika setiap orang rela sedikit berbagi itulah arti sebuah keluarga. Keluarga besar bangsa Indonesia. Tanpa rasa kekeluargaan ini, sungguh sulit bagi setiap orang mengatasi pergolakan batin dan depresi yang mendera hampir setiap hari. Setajam apapun perbedaan, entah ideologi, agama, suku, sepanjang menerima sebagai saudara dalam satu keluarga, saya yakin semua dapat terlewati. Lazimnya sebuah interaksi antar anggota keluarga, saling mengalah, saling mendengarkan, memberi kesempatan, saling menjaga dan memelihara dan tentu saja tidak ada anggota keluarga yang menginginkan anggota keluarga yang lain menjadi pencuri dan perampok. Sebab yang demikian akan mencemarkan nama baik keluarga.
Membangun relasi yang sehat dalam keluarga, dalam arti sesungguhnya dan dalam arti luas sebuah negara, adalah jalan termudah yang mungkin dilakukan setiap orang. Dalam keluarga kita tidak membutuhkan martir sebab satu nyawa anggota keluarga adalah sangat berharga untuk dikorbankan. Keluarga dan kekeluargaan adalah wujud nyata dari setiap doa yang diucapkan. Kita tidak mungkin menunggu segala sesuatu Tuhan yang mengerjakan. Keluarga itulah yang harus mewujutnyatakan setiap doa dan harapan. Keluarga menjadi tempat bernaung bagi orang asing, tempat yang lapar dikenyangkan. Tempat yang sakit disembuhkan, tempat yang lemah dikuatkan. Dengan demikian keluarga menjadi doa syukur kepada Tuhan atas semua berkat dan limpahan kasih-Nya.
Semoga.
Silahkan berdoa untuk Sondang, keluarganya dan bangsa Indonesia.