Arsip Tag: narita

Puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin

The Tibetan Book of Dead

 

Satu gerbang terbuka. Foton-foton karma

    melompat ke lorong warna: Cahaya hijau

sehitam cahaya biru, cahaya merah seputih

    cahaya ungu. Biri-biri tembaga merumput

di padang air mata. Debu kembali ke debu,

    cahaya kembali ke pusar waktu: Samudra

 

hening tanda tanya. Para tulku mulai berjapa,

    burung-burung hering mematuki biji mata.

Fajar telah kembali dengan cambuk apinya.

    Sepasang dakini menendang gerbang kedua,

juga milyaran gerbang lainnya. Kau terkunci

    di ruang hampa. Kau ingin pergi, tapi tak bisa.

 

Kau terpaku menunggu perahu jemputanmu,

    tapi tak ada perahu itu. Sebentang cakrawala

menderu: Kau telah kembali ke rahim ibumu.

    Semua proyeksi itu terjadi di batang otakmu:

Tepat sebelum kauhembuskan napas terakhirmu.
 

Lirik Narita

    Kaumasuki wajahku. Sebuah ruang tunggu

kini terbuka. Satu elevator dari pecahan mimpi,

    kebohongan bagai kertas tisu di toilet usia,

 

dinding menara pemantau dari sayatan luka:

    Bandara dari serpihan tanda tanya. Cermin

di mataku telah menyusun lekuk hidungmu,

    kerut keningmu, juga seuntai tanka pada maut

dan permainan warnanya. Tak ada yang mesti

    kautunggu. Misteri itu telah jadi sebutir salju.

 

Lalu kau ingat sepoi angin di teras rumahmu,

    menjadi film-film kosong di layar batinku.

Kumasuki wajahmu. Detik-detik berguguran

    menjelma laron-laron cahaya, juga metafora

tentang api lilin yang membakarnya. Cermin

    telah pecah di matamu. Satu ilusi telah sirna.

 

Sekarang, ruang tunggu itu kembali terbuka.

    Namun, telah kubatalkan jadwal terbangmu,

dan telah kupilih sunyi untuk menghantarmu:

    Pulang ke rumah hati.

 

keindahan bawah laut
ilustrasi diunduh dari impactlab.net

Kitab Laut

Kini pendar lampu bulan
dipadamkan cahaya pagi
seekor semut-api terjun
ke laut setetes air mata.

Di arus-dalam keheningan
waktu pelan-pelan beringsut
menyulurkan alga merah
ke mulut dua ekor kuda laut.

Seekor cumi dari palung utara
menutup pintu rumah kerang
menghitamkan karang-karang
menyusun rencana tertunda.

Kau berdiri di bawah tatapan
sepasang mata beku seperti maut
mengawasi ikan-ikan berebut
plankton hijau terbawa arus selatan.

Kau mulai bergerak di antara
dua jeda: yang satu berdesis
di tengah tenggorokan, yang lain
bersisik mencium pipi mutiara.

Seekor cacing terusir dari terumbu
karang mencatat persekongkolan ini
Tak heran mereka telah membuihkan
hatimu seasin rasa bersalah yang abadi.

Seekor hiu terpilih sebagai putra matahari.