Arsip Tag: hanya satu

Alkisah

Puisi Titarubi Tita
sendu
Gambar oleh styvob, diunduh dari bp.blogspot.com
panji-panji tampaknya mulai diacungkan, bahkan oleh tuan dan puan yang paling terhormat yang mengaku paling jernih pikirannya dan yang merasa paling waras sekalipun. hingga dipanggil dan diseru setan dan malaikat sejagat. Tuhan yang hanya satu-satunya itu, geming, diperebutkan sedemikian banyak pasukan, bahkan orang per orang, terserah orang berteriak hingga parau atau mulutnya sampai sobek sekalipun. Dia hanya menunggu laporan malaikat dan mengawasi setan. penilaian toh akan dilakukan di hari kemudian.

lalu mereka: “sebaiknya masing-masing dari kita mulai membentuk pasukan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, satu agama atau kepercayaan beda pasukan, tak apa-apa, asalkan mampu. mereka yang tak mampu harus berusaha, tugas manusia adalah berusaha”. orang-orang tak mampu dan mampu berusaha dengan berbagai cara yang bisa. untuk mampu dan lebih mampu. jika tak bisa, maksa.

semakin banyak pasukan tampaknya memang dibutuhkan, karena perang saudara sudah mulai dikibarkan. segera dicanangkan. kalau bisa jangan tunda. jika tak turut ke kancah, maka setidaknya untuk bertahan kalau-kalau tiba-tiba ada serangan—beralasan ataupun tidak— atau yang salah sasaran.

begitulah: jika pun termasuk kaum yang selamat, sebaiknya menyiapkan bendera putih—bukan tanda menyerah bukan pula tanda suci, hanya untuk menyeret mereka yang merah: mayat-mayat atau yang sekarat. tak bisa mengandalkan tentara dan polisi, mereka terlalu sibuk untuk lebih tambun. begitu pun mereka yang meminta suara— hanya rakus dan penuh hasrat untuk bertambah gembul. jangan berharap pula pada penguasa ruang-ruang sidang untuk minta keadilan, karena mereka hanyalah orang-orang kelaparan, kalau tak minta disuapkan makanannya, maka tubuh pemohonlah yang jadi suguhan altar untuk sesaji, semakin sedikit pasukanmu semakin berani, semakin irit koneksimu semakin bernyali, apalagi jika kau sendiri.

entah mengapa mereka begitu membenci negeri ini dan ingin mengubahnya menjadi negeri-negeri jauh di seberang sana. hingga menangis darahpun tak akan pernah diketahui jawabannya.

jika memang begitu benci pada negeri ini, sebenarnya mudah: mintalah semua orang secara bersama-sama untuk meludah. pulau per pulau. di mana bisa dimulai dari yang paling kecil jika untuk membuktikan. bahwa dengan ludah bersama-sama ini, jika bersama-sama kompak, dengan mudah pulau-pulau bisa tenggelam. kalau pun semua jadi manusia perahu, setidaknya itu dilakukan bersama-sama, tanpa perang saudara, dan bukan tenggelam oleh darah yang tumpah. itulah salah satu cara jika begitu benci, ingin mengakhiri negeri alkisah. memang sungguh mudah.

Candik Ala 1965: Luka Sejarah di Mata Bocah

Resensi Ragil Koentjorodjati
novel tinuk yampolskySatu pikiran terlintas di benak saya ketika mata saya tertahan pada sebuah novel berjudul Candik Ala 1965 karya Tinuk Yampolsky adalah hal baru apa yang ditawarkan pengarangnya. Kita tahu, sudah banyak cerita berlatar belakang apa yang disebut banyak orang sebagai “Pemberontakan G 30 S PKI”. Beberapa dari kita yang lahir pada masa orde baru telah begitu karib dengan kekerasan fisik seperti pembunuhan sadis, sayatan silet serta teror mental seiring dengan pemutaran film G 30 S PKI yang itu-itu saja. Masih lekat di benak saya bagaimana serombongan bocah SD digiring untuk nonton film itu ramai-ramai. Setiap tahun. Mengenang jasa para pahlawan revolusi. Dan pada saat itu tidak ada yang lebih mengasyikkan selain berpelukan atau berhimpit saling mendekap sesama kawan karena ketakutan tiada tara. Beberapa kawan perempuan ada yang sekedar ngompol saking jerihnya. Hanya karena sebuah film. Lalu bagaimana jika kekerasan fisik dan psikologis itu terjadi di depan mata?
Menyelami kepribadian Nik, tokoh dalam novel Candik Ala itu, serasa saya diajak mengenang kembali ke masa awal orde baru. Kemiskinan yang meraja lela, makan telor-terigu dadar – saya sebut telor terigu dadar karena lebih banyak tepung terigunya ketimbang telurnya yang hanya satu-, lalu juga penculikan-penculikan dan penembakan misterius (petrus). Agak merinding juga mengikuti cerita Nik ini, apalagi ketika bersamanya menyaksikan banyak orang di jemur di bawah terik sambil mata mereka harus menatap matahari. Seperti menonton film perang Indonesia-Jepang. Mengasyikkan sebagai sebuah tontonan. Sekaligus mengerikan!
Lalu saya teringat cerpen Candik Ala karya GM Sudarta yang juga berlatar belakang tahun 65-an. Secara tidak sengaja nalar saya membandingkan antara novel dengan cerita pendek berjudul nyaris sama, hanya berbeda pada ‘1965’. Meski sebenarnya tidak dapat diperbandingkan, candik ala – candik ala tersebut sepertinya mengangkat hal yang nyaris sama: luka sejarah di mata bocah. Satu hal yang pasti, tahun 65-an telah mempopulerkan istilah ‘candik ala’ yang sangat digemari banyak penulis. Kita tahu, candik ala adalah ketika warna jingga kemerah-merahan mengembang di barat cakrawala senja. Itu selalu memunculkan rasa sepi dan kehilangan yang menyedihkan. Dulu, pada saat seperti itu, (bukan mengutip cerpen GM Sudarta) ibu saya selalu mengingatkan untuk segera masuk ke dalam rumah sebab Bathara Kala sedang mencari mangsa. Aroma kengerian yang sangat, persis kengerian tokoh ‘aku’ dalam cerpen Candik Ala dan tokoh Nik dalam novel.
Hal yang cukup berbeda dalam novel Candik Ala adalah nuansa sekarat lalu bangkitnya kembali sebuah pemahaman pada masa peralihan (awal tahun 80-an). Sehingga sepintas novel ini lebih mirip balada ideologi ketimbang perjalanan hidup seseorang, meski banyak catatan-catatan semacam buku harian seorang militan sehingga kadang saya merasa sedang membaca novel dan pada saat yang sama juga membaca kumpulan cerpen. Ada bagian-bagian novel yang asyik dinikmati sebagai sebuah fragmen yang terpisah dari alur utama novel. Mungkin model kisahan seperti itu juga hal baru yang ditawarkan novel ini, seperti misalnya mengubah tokoh Nik dari ‘ia’ menjadi ‘aku’.
Jika ada hal yang sedikit mengganggu, mungkin lebih pada masalah teknis bahasa. Awalnya saya ingin menjadikan “tata cara penulisan” pada novel itu sebagai salah satu acuan menulis. Tentu saja saya punya alasan kuat terkait hal ini. Lihat saja, orang-orang besar dalam dunia sastra seperti Goenawan Mohamad dan Joko Pinurbo terlibat dalam pembuatan novel ini. Namun, saya menjadi sedikit kecewa dan ragu-ragu setelah meneliti lebih lanjut. Banyak hal berbeda dalam cara penulisannya. Saya berpikir, mungkin saya ketinggalan pedoman penulisan karya sastra.
Tetapi, tentu saja soal sastra tidak melulu soal teknis bahasa. Itu hal yang sangat mudah diperbaiki. Di lain sisi, malah bahasa yang digunakan dalam novel ini menjadi daya ungkit tersendiri sehingga nuansa geger 65 di kota para priyayi jawa menjadi begitu hidup dan nyata. Hal-hal yang ‘waktu itu’ hanya sekedar tontonan menjadi tampak jelas ‘kekerasan psikologinya’ terhadap seorang anak. Dan itu mencipta trauma berkepanjangan. Tidak hanya bagi seorang bocah bernama ‘Nik’ tetapi sebuah generasi yang harus ikut merasakan sakitnya luka sejarah bangsa ini. Meski mungkin sebagian hanya tahu lewat cerita.

novel tinuk yampolskyJudul : Candik Ala 1965 – sebuah novel
Pengarang : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit : Katakita
Tahun : Juni 2011
Tebal : 222 hal
ISBN: 978-979-3788-66-2

Kini

Puisi Binandar Dwi Setiawan

renungan
Gambar diunduh dari kompas.com
Tetapi setiap mata memang berada pada urusannya masing masing. Bahwa tak ada satu pun pembicaraan yang benar benar membicarakan hal yang sama, bilangan perbedaan terlalu mustahil untuk dilenyapkan. Ada yang menyembunyikan mengapa semuanya menjadi sebegini tak tersatukan. Rentang perjalanan telah menemukan terlalu banyak hal yang seharusnya tak penting untuk ditemukan. Pakaian kita berlimpah, senjata kita terlalu beragam, pemandangan kita terlampau luas, bukan hendak aku mengatakan bahwa kita belum siap akan apa yang secara angkuh kita terjang bersama, tetapi memang kita tak pernah memandang diri kita setajam yang seharusnya, dan itu pula yang menutupi kita dari memandang apa yang seharusnya terpandangkan bagi kita. Menyedihkan sekali bahwa telah tercipta terlalu banyak dahaga yang tak memungkinkan terpuaskan. Apakah kita harus mencari sesuatu yang lain, yang sangat kita tahu, pasti mencurigakan. Seakan setiap dari kita berada dalam kebingungan yang hebat, sebuah ruangan luas dengan seribu pintu keluar, yang hanya satu pintu saja yang benar benar mengeluarkan, maka apakah yang bisa kamu dan aku lakukan untuk kerumitan berlipat tak terbatas ini.

Ah, bukan. Aku masih mengetahui apa yang hendak engkau tuju dari sejuta cabang yang maya. Untuk mengakhiri ini. Menuju sebuah tempat yang bisa dikatakan akhir, jika toh memang yang seperti itu ada. Masih ada yang bisa kupantaskan sebagai yang mengemudi kendara yang tak berkesudahan, bukan berarti aku tak mengambil peranku. Hanya saja aku mengakui akan siapa mata yang menembus pandang dalam haq yang sepenuhnya benar. Dan aku sebagai ksatria, sangat mempunyai keberanian untuk bertindak sendiri maupun bertindak tak melibatkan diri. Keindahan hanya bisa dimenangkan melalui apa yang tak berada dalam kendalimu. Pintu yang itu memang nyata adanya, dan kamu tahu, dia terbentuk dari sejuta bekasan kegetiran yang setiapnya bagaikan sakaratul anak anak perasaanmu. Aku tak sedang menakut nakutimu, tetapi memang kamu sangatlah bodoh jika tak sanggup menatap nyala ketakutan yang tak bisa diriasi dengan apapun ini. Kutelanjangkan kepadamu akan siapa aku, hanya kamulah wadahku, yang tak sedikitpun bergeser dari tempatmu berada saat ini.

Bukan berarti, ketika seperti ini aku tak menghargaimu, sebab hanya telingamulah yang bersetuju kepada suaraku, akan seperti apa merdu itu. Carilah tempat di sana seperti ketika aku mencari tempat di sini, kamu yang menuntunku dan aku yang menuntunmu, dan kita lihat betapa kebingungan tak akan pernah bertempat. Tak usah mencari tahu dengan apa kita tersambungkan, kekasih, aku mendengar suaramu bagai kamu di sini. Maka, setujuilah segala hal yang dinuranikan oleh hatimu, sebab di situ tak ada yang kamu dengar kecuali suaraku. Ketika pertemuan terjadi, ketika nanti, kamu sudah mengenal siapa aku, dan aku sudah mengenal siapa kamu. Ketika itu cinta telah sangat sangat bertanggungjawab. Dan, pasti, kita bisa membicarakan hal yang sama, benar benar sama. Kini.