Flash Fiction Martin Siregar

Gara gara baca tulisan Tantri di komunikasi sastra, Bason terkejut. Rupanya Pak Badrun Kemis masih dengan watak lamanya yang aneh dan masih bertani. Padahal ketika masa pelarian Bason, Pak Badrun mengaku sudah jenuh jadi petani.”Ah !!! Saya ingin merantau ke kota”. Sejak nenek moyang zaman dahulu, sampai masa saya sekarang ini — nasib kami belum berubah —. Saya mau pindah ke ibukota negara. Banyak kawan saya walau hidup susah tapi bisa menikmati kemewahan kota. Waktu itu Bason sudah merekomendasi beberapa kawan akrabnya yang mengorganesr buruh.”Ini nama dan alamat kawan kawanku”. Pak Badrun jual saja namaku, pasti akan mereka terima dengan senang hati.
Kisah itu berlangsung 25 tahun yang lalu, ketika Bason frustasi bertengkar keras dengan pastor Simon pimpinan lembaga pelestarian hutan. Lantas secepat kilat meninggalkan lembaga tersebut patah arang melanglang buana secara pribadi investigsi penggudulan hutan. Pada saat itulah Bason berkenalan dan menjalin cinta kasih dengan gadis Biyok yang sekarang menjadi istrinya.
*) Baca cerpen : Kawanku Bason Kumpulan Cerpen Unkonvensionil Jilid II Martin Siregar.
Bulan lalu aku heboh ngurus Kantril yang ingin kembali ke tabiat lama. Mabok ganja Jhoni Walker bersama Payman yang sedang mumet gara gara rencana kawin. Waktu itu Pak Longor marah besar sama Payman. Dan, syukur Kantril pasrah dituntun Bason bermeditasi, sehingga Kantril kembali ke jalan yang benar.
Sekarang wajah dan tingkah laku Pak Badrun kembali lagi menghiasi khayal Bason. Kasus Kantril dan Pak Badrun hampir sama saja. Frustasi jenuh sangat monoton menjalani kehidupannya yang sama sekali tidak menjamin kehidupan lebih baik. Tapi. Level sosial si Kantril sangat bertolak belakang dengan Pak Badrun. Berarti aku harus temukan kiat khusus tuk membahagiakan Pak Badrun. Hua….ha…ha…Bason tertawa puas menikmati kehidupan sarat dengan keanekargaman perkawanan yang berasal dari level sosial berbeda ekstrim. Hua….ha…ha….Kantril anak jutawan yang anti kemapanan, sedangkan Pak Badrun seolah ditakdirkan(Tuahan) sengsara sepanjang hidup. Hua…ha….ha…Akan kucurahkan energiku tuk membahagiakan Pak Badrun yang ditulis miskin oleh si Tantri (?) Hua…ha…ha…
“Dua hari ini aku tak masuk kantor”. Ada kerja mendadak, harus ke desa beberapa hari. Di telepon Bason ajudannya di kantor.”Iya…iya Pak Bason”. Apa yang perlu kami sediakan untuk bapak ke desa?”. Feodalisme ternyata masih melekat kuat di kantor yang sudah sangat profesionil. Bahasa kaum paria mental kaum budak sangat sangat dominan didengar setiap hari. Bahasa kaum bawahan tak ada beda dengan abdi dalem dinasty kerajaan sekitar 300 tahun yang lalu. Hal ini sering membuat Bason jengkel dan tak kuasa lagi merombatk mental budak feodalisme di kantornya.”Tak ada yang perlu kau siapkan”. Kau monitor saja Payman apa masih isap ganja atau tidak. Lantas kau jumpai Kantril sepulang kantor, kau tanya pengalaman empiriknya dalam bermeditasi. Awas !! Kalau tak kau kerjakan kedua tugas itu. KU-SIKAT KAU!!! Hua…ha….ha..Bason tertawa di telepon, membuat Wawan ajudannya ketakutan suaranya gemetar:”Baik…baik Pak Bason”. Lantas telepon ditutup.
Dikeluarkannya mobil BMW mewah dari garasi.”Biyok, aku mau jemput Pak Badrun ke desa. Dua hari ini nginap dirumah kita. Kau siapkan kamar serta fasilitasnya ya… Biyok istri Bason terkejut mendengar rencana suaminya.”Jadi, kau ngak ke kantor ???”. Gila !!! Kok suka suka kau saja yang hidup ini ?????. Biyok suntuk melihat suaminya yang terlalu santai dalam hidup ini. Hua…ha…ha…Tenang kau sayangku. Pak Badrun adalah orang yang memberi konstribusi dalam kehidupan kita. Kalau ngak ada dia, mana mungkin kita kawin Hua….ha…ha…Memang hidup ini sangat ringan dijiwa Bason. Walau kadang suntuk berat menghadapi kawan kawannya yang tidak memperdulikan kesehatan tubuh jiwa dan roh. Dua minggu lalu kembali lagi Bason harus repot ngurus Isim yang mendadak pingsan di bandara.
Dibelinya 2 bungkus rokok merah di kedai kecil langgannya , milik Bik Iyem yang sudah jadi janda. Sambil dengar lagu Startway to Heaven milik Led Zeplin ditinggalkannya kota menuju desa Pak Badrum.
Cerita ini bisa bersambung, apabila aku punya waktu berimaginasi menikmati tekanan hidup ini Hua…ha…ha…Matilah kita ini.