Arsip Tag: richard oh

Seni dan Penafsiran Seni

Oleh Richard Oh

prosa lirisDalam ‘What is Literature?’, Jean Paul Sartre mengatakan “sebuah karya seni tidak bisa direduksi menjadi sebuah pemikiran, pertama-tama karena seni adalah produksi atau reproduksi dari keberadaan, being, sesuatu yang tak akan membiarkan dirinya dipikirkan sebab keberadaan ini dipenetrasi sepenuhnya oleh sebuah eksistensi, yakni sebuah kebebasan yang menentukan nasib dan nilai dari pemikiran itu.”
Kalau pernyataan ini punya validitas, bagaimana seharusnya kita tanggapi buku-buku karya akademisi itu? Apa guna concordance tentang kebobrokan humanitas dalam novela Joseph Conrad, Heart of Darkness? Apa guna menulis makalah akademis? Menurut saya, tulisan akademisi hanya berguna bagi dan membantu pengembangan sastra bila mencerahkan dan memandu apresiasi atas karya sastra itu tanpa mencoba merangkumnya ke dalam suatu teori seperti yang terjadi pada Ulysses. Bayangkan, sejak buku itu tampil tahun 1920-an hampir bersamaan dengan puisi Eliot, ribuan bahkan jutaan buku akademisi telah diterbitkan mengupas makna terpendam Ulysses. Sampai hari ini ia masih diperdebatkan di bar-bar di Irlandia. Ada lelucon: kalau ada yang berani mengaku memahami sepenuhnya Ulysses, ia akan menjadi orang pertama yang dilempar keluar dari bar itu. James Joyce, sang penulis Ulysses, dalam pengakuannya menyatakan ingin menulis satu buku yang akan dibahas oleh para profesor selama seratus tahun. Keinginannya jadi kenyataan. Apakah karyanya punya makna yang dalam tentang humanitas? Apakah ia membantu pengembangan sastra?
Saya mengambil beberapa kutipan untuk membantu memperdalam pemahaman kita. Virginia Woolfe menulis dalam catatan hariannya, Rabu 6 September 1922, “Saya menyelesaikan Ulysses dan merasa bahwa karya ini meleset. Kejeniusan memang ia punyai, tapi bukan karya unggul. Buku ini kurang fokus. Terlalu keruh. Pretensius. Ia kurang kaya, bukan saja dalam arti yang sudah jelas, tetapi dalam arti literer sekalipun. Penulis kelas teratas, menurut hemat saya, terlalu menghargai penulisan untuk sengaja membuatnya menjadi berbelit-belit, sengaja mengagetkan, memamerkan kehebatan.”
Pada Selasa 26 September 1922 Virginia Woolfe mengutip komentar Eliot tentang buku Ulysses, “Buku ini akan jadi tonggak karena ia melumatkan seluruh abad ke-19. Ia bahkan tidak menyisakan apa-apa lagi bagi Joyce untuk menulis. Ia menunjukkan betapa sia-sianya semua gaya penulisan Inggris. Dia (Tom) merasa di beberapa bagian penulisannya sangat indah, tapi tidak ada suatu konsepsi mutakhir. Itu memang bukan tujuan utama Joyce. Dia berpikir, Joyce melakukan sepenuhnya seperti apa yang dia inginkan. Namun, Tom merasa Joyce tidak memberikan gagasan baru apa pun bagi sifat manusia -tidak mengungkapkan sesuatu yang baru seperti Tolstoy. Bloom tidak menyampaikan apa pun kepada kita.”
Di zaman ini kita tentu paham yang dimaksudkan Eliot dengan ketiadaan konsep besar dalam karya ini adalah pendekatan Joyce melalui teknik Epiphany, yaitu pencerahan demi pencerahan dari momen-momen kecil. Yang mungkin bisa dikagumi dari prestasi buku ini adalah bahwa hingga hari ini ia masih jadi bahan bahasan di mana-mana. Apakah ia memajukan pengembangan sastra?
Karya ini-seperti juga The Waste Land-menciptakan satu generasi kritikus dan penulis yang, menurut saya, tidak memajukan sastra, melainkan membuat sastra jadi kompleks seperti yang disebut Siegel: membuat membaca sastra seperti memerlukan sertifikat mengendalikan mobil. Untung di zaman ini kita punya Jose Saramago, Gabriel Garcia Marquez, dan Julio Cortazar yang melepaskan kita dari belenggu sastra sarat referensi dan erudikasi ini.

Sastra: pendekatan alami
Saya kira pendekatan Robert Pinksky, yang pernah jadi poet laureat di Amerika dulu, terhadap sastra lebih menarik. Dia mengatakan, “Pengetahuan dari pendengaran kita untuk memahami satu larik puisi adalah pengetahuan pola bahasa yang sudah terbiasa pada kita sejak masih bayi.” Pada intinya puisi bisa kita nikmati, seperti kita menikmati percakapan, lagu, tanpa perlu pengetahuan khusus sebab puisi dan rima-rimanya mengetuk hati kita bagai detak jantung. Bila ingin mempelajari metrik tradisional, kita hanya perlu baca kumpulan puisi William Butler Yeats atau Ben Johnson. Untuk memahami free verse, baca dua volume kumpulan puisi William Carlos Williams dan Wallace Stevens. Untuk memahami linea pendek, baca kumpulan puisi Emily Dickinson. Tentang adaptasi metrik balada ke dalam puisi modern, baca kumpulan puisi Thomas Hardy. Menurut Robert Pinsky, tak ada manual instruksi yang bisa lebih membantu memahami puisi selain mendengar dengan cermat bunyi yang tebersit dalam setiap puisi yang dibaca.
Lee Siegel dalam pengantar novel DH Lawrence, The Lost Girl, yang diterbitkan kembali setelah ditelantari sekian tahun, mengatakan, “Sebagai akibat diakademikannya sastra, orang-orang literer ketika mengapresiasi fiksi menganggap perasaan dan persepsi merupakan ungkapan bagi seorang amatir. Bahkan di luar tembok universitas, dalam kritik sastra kita masih juga menemukan bahasan tentang alam sadar dan ironi, karakter dan karikatur, realisme sejarah dan realisme psikologis, dan lain sebagainya. Pembaca mulai merasa tak punya kualifikasi membaca, bagai mengendarai mobil tanpa SIM. Namun, sebenarnya tak ada sesuatu yang literer tentang sebuah novel yang efektif. Ia tak ubah laksana ekspresi kreatif sealami pernafasan kita.”
Kutipan ini sangat menarik untuk beberapa hal. Yang pertama, menyangkut beda persepsi seorang akademikus dengan seorang penulis. Bagi seorang penulis sastra, penulisan merupakan reaksinya pada tempat, mood, waktu, dan kenyataan di sekelilingnya. Mereka menulis tanpa memikirkan teori, tanpa mengikuti metode pemahaman sastra baik dari buku sastra maupun dari universitas, sebab reaksi tiap penulis pada suatu kenyataan berbeda-beda. Hal kedua adalah bila penulis sastra menulis dengan “ekspresi kreatif sealami pernafasan”, maka menikmati karya-karya penulis sastra seharusnya tak memerlukan analisis yang membuat kening berkerut.

Sebuah metode alternatif mengapresiasi sastra
Setelah berkeliling mengitari berbagai pokok persoalan, sekarang saya ingin kembali ke topik pembahasan kita: cara terbaik mengembangkan sastra. Saran saya adalah merebutnya kembali dari para ahli sastra. Saya percaya pada kata-kata Sartre bahwa seni tidak bisa direduksi ke dalam sebuah pemikiran. Nah, kalau seni tak bisa direduksi ke dalam satu pemikiran, pendekatan akademisi yang cenderung ingin meneorikan semua hal sangat bertolak belakang dengan premis ini. Bagaimana bisa kita menghargai sebuah karya seni, yang merupakan produk atau reproduksi keberadaan, being, dengan bahasa yang kaku dan cara pembahasan yang rigid pula?
Karya seni sebaiknya tidak ditelaah hingga titik koma sebab itu menjadikannya kering kerontang. Saya setuju bahwa untuk menikmati suatu karya, sedikit pengetahuan sebagai prerequisite bisa membantu menghargai seni. Namun, seperti kata Robert Pinsky, manusia sebenarnya secara alami sudah dibekali menghargai seni dari rima bahasa sehari-hari, panca indra, dan nalar halus. Yang dibutuhkan bukan lebih banyak teori lagi, tapi cara mengupas dan menyerap esensi karya seni dengan cara sangat alami.
Penelaahan yang terlalu kritis pada sebuah karya seni akan menakutkan para pemula dan pencinta seni mendekati seni itu, seperti yang sudah terjadi di Amerika: banyak mahasiswa merasa tak punya kualifikasi menikmati puisi Ezra Pound atau TS Eliot. Tujuan utama suatu karya seni adalah ia bisa dinikmati lapisan permukaan dan dihargai lebih dalam sewaktu ia dikupas lapisan lain. Semua karya seni yang berhasil sukses karena semua elemen dalam karya itu hold true, bentuknya boleh tidak menyatu tapi konsisten dan mencerminkan visi individualisme sang pencipta.
Dengan membebaskan karya sastra dari akademisasi berlebihan, mungkin ia bisa berkembang lebih baik. Di masa yang didominasi oleh media elektronik dan mainan virtual ini, banyak distraksi kehidupan yang jadi penghalang bagi perkembangan sastra. Untuk bisa bersaing dengan media elektronik, sekelompok penulis muda yang terdiri dari Alex Garland, novelis The Beach, dan 14 rekannya dari Inggris memproklamasikan manifesto baru yang diterbitkan dalam buku All Hail the New Puritans. Berikut butir-butir manifesto itu:
1. Kepada pengrajin cerita, terutama, kami patuh pada bentuk narasi 2. Kami adalah penulis prosa dan tahu bahwa prosa adalah bentuk ungkapan dominan. Karena itu, kami menghindari puisi dan lisensi puitis dalam bentuk apa pun. 3. Walau mengakui nilai sebuah genre fiksi, dalam bentuk klasik atau modern, kami akan selalu bergerak menuju ungkapan-ungkapan baru, menghancurkan ekspektasi genre yang ada. 4. Kami percaya pada kesederhanaan teks dan berjanji akan menghindari segala alat pengungkapan: retorika maupun teknik pengomentaran serampangan pengarang. 5. Atas nama kejernihan, kami mengakui pentingnya prosa linier dan menghindari kilas balik, narasi tempo ganda, dan teknik foreshadowing, serta menanamkan simbol- simbol pada awal narasi. 6. Kami percaya akan kemurnian gramatika dan menghindari tanda-tanda baca rumit 7. Kami mengakui bahwa karya yang diterbitkan juga merupakan dokumen bersejarah. Sebagai fragmen dari masa kita, semua teks tercatat dalam waktu dan berpacu pada masa ini. Semua produk, lokasi, seniman, dan objek yang disebut adalah seperti yang sebenarnya. 8. Sebagai representasi setia pada zaman ini, semua teks akan menghindari spekulasi yang muskil atau yang tak dapat dipastikan tentang masa lampau atau masa depan. 9. Kami semua moralis, jadi semua teks merangkum suatu realitas etika yang mudah dikenal. 10. Walau demikian, tujuan utama kami adalah integritas ekspresi diletakkan di atas dan terlepas dari komitmen apa pun pada bentuk.
Ada beberapa butir dalam manifesto ini yang tak saya setujui. Butir 5 yang mengacu pada keberatan pada linear temporal satu arah tanpa kilas balik atau narasi ganda suara. Butir 8 yang menganjurkan agar penulis menghindar dari spekulasi fantastis masa lampau atau masa depan, yang sebenarnya lahan bagi penulis fiksi sains. Menurut saya, kedua butir ini mengekang kebebasan penulis dalam berkreasi. Saya sangat setuju dengan butir 2 yang menyatakan penulis sebaiknya menghindari prosa puitis dalam karya prosa karena bahasa puitis cenderung jadi distraksi dan menghambat kelancaran cerita. Yang paling saya suka adalah butir 10: tujuan utama penulis prosa adalah integritas ekspresi ketimbang komitmen pada bentuk. Jadi, penekanannya pada integritas ekspresi, bukan kreativitas kata atau permainan metafor.
Seperti juga Karr yang membebaskan rasa takut saya terhadap puisi The Waste Land, saya juga ingin pecinta sastra di negeri kita tidak ditakut-takuti oleh Nirwan Dewanto atau ahli sastra di universitas yang sering mengintelektualkan sastra. Mungkin ini reaksi berlebihan dari seorang penulis. Saya kadang suka terkagum-kagum mendengar analisis seorang kritikus. Begitu dahsyat analisisnya hingga penulis sastra tiba-tiba terheran sendiri, “Oh ya, saya benar menulisnya seperti itu?”
Saya juga paham yang mengatakan begitu sebuah karya lepas dari penulisnya, ia punya nyawa sendiri. Pramoedya Ananta Toer menggambarkan buku-buku yang ia tulis sebagai anak-anak spiritualnya. Dalam perjalanan hidup mereka, ada yang berhasil, makmur, dan tak berhasil. Biarkan anak-anak spiritual penulis ini mengembara terus dan mencari pembacanya masing-masing. Seperti juga Siddharta yang memilih mendapat pelajaran tentang hidup dengan mengarungi kehidupan itu sendiri, tak seperti temannya, Govinda, yang memilih belajar dari seorang guru bijak, namun hingga akhir hidupnya tak menemukan pencerahan, pembaca sastra sendiri yang menentukan nasib anak-anak spiritual penulis.

Diambil dari makalah “Siapa Takut, Nirwan Dewanto? Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra” pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

Sumber: Richard Oh.net

Pemahaman Keliru Tentang Lirisisme Dalam Prosa

Oleh Richard Oh

prosa lirisPerkembangan sastra dalam negeri saat ini, menurut saya, cukup memprihatinkan karena penekanannya lebih pada sintaksis ketimbang integritas dan keunikan ekspresi. Maka, sering kita baca betapa dahsyat Cala Ibi karena pengungkapannya yang unik. Ia bahkan dianggap memperbarui bahasa dan lain-lain. Kenyataannya, setelah membaca beberapa halaman novel ini, pembaca akan menemukan paragraf demi paragraf sarat purple prose. Saya jadi ingat kata-kata Virginia Woolfe “mannered, self-conscious”. Kalimat yang seharusnya tak perlu kompleks dan bisa ditulis sangat sederhana dipuisikan, dinyanyikan, dibuat keruh serasa pembaca senantiasa dibombardir oleh aliterasi. Rima haram bagi novelis di mana saja karena ia menjadi distraksi tersendiri dan mengganggu laju arus cerita. Metafor ataupun simbolisme yang dalam kamus seorang penulis seharusnya diungkapkan untuk memperkuat makna keseluruhan satu karya-seperti kejadian di awal bab novel Anna Karenina di mana seorang wanita mencampakkan diri ke dalam rel kereta meramal kematian Anna Karenina sendiri pada akhir novel- disalahpahami oleh penulis Cala Ibi sebagai kreativitas dalam berbahasa. Penggalan ini saya ambil secara acak dari novel itu.
Bapakku bening air kelapa muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary. Jumat malam alkoholik, happy hours, Jumat pagi robotik. Kadang aku minum jus tomat, dan merasa sehat. Kadang berseru alhamdulillah, ini hari Jumat-atau Ahad, Rabu, hari apa saja. Kor lepas dengan beberapa temanku di sore-sore hari, seraya aku membayangkan gelas berkaki tinggi dan hijau margarita dan kristal garam berkilau di bibir gelas, seperti sesosok perempuan, datang dari kejauhan.
Bayangkan ini hanya satu penggalan kalimat. Begitu padat dengan informasi, berputar-putar tidak menuju satu tujuan yang memberikan pencerahan makna. Apa artinya “Bapakku bening air kelapa muda”? “Ibuku sirup merah kental manis” saja sudah membingungkan, tetapi kemudian ditambah dengan “kental manis buatan sendiri”. Dan, apa pula artinya “Jumat pagi robotik”? Ada kesan, dalam menulis kalimat-kalimat ini penulis ingin memaksakan makna ke dalam tiap baris prosa, seperti seorang penyair karena keterbatasan ruang memadatkan larik dengan makna. Kalimat demi kalimat kalau dibaca bagaikan puisi sahut-menyahut, namun jadi sangat mengganggu kelancaran cerita novel ratusan halaman ini selain menambah kelelahan. Di sini terlihat jelas penulisnya tidak paham sama sekali penggunaan puisi dalam penulisan novel.
Sebelum meninggal, Italo Calvino menulis buku tipis Six Memos for the New Millenium. Ia menurunkan kepada penulis generasi penerus enam hal penting tentang penulisan, elemen-elemen pembangun sebuah karya sastra. Dia membicarakan tentang lightness, ringan yang membebaskan tapi berbobot, dengan mengutip Paul Valery, “One should be light like a bird, and not like a feather.” Dia juga bahas quickness, kegesitan prosa, dengan mengambil contoh keefektifan struktur sebuah dongeng rakyat. Kita bisa memahami makna sebuah dongeng rakyat dengan begitu mudah karena rentetan cerita bergerak maju cepat tanpa hambatan detail yang mengganggu. Dia membahas exactitude, presisi bahasa ungkapan, dan visibility, kekuatan visual dalam prosa. Dia kemudian mengupas multiplicity, yaitu suatu karya seni harus punya ambisi dan mencakup semua seperti pada novel ambisius Flaubert, Bouvard et Pecuchet, yang mencoba menuangkan semua pengetahuan dunia dalam satu buku. Untuk menulis buku ini, Flaubert membaca ribuan buku dalam pelbagai bidang disiplin.
Dengan tolok ukur Calvino ini, banyak aspek dari Cala Ibi yang perlu dipertimbangkan. Ia terlalu lamban, maka kurang quickness, seperti sebuah dongeng rakyat. Ia kurang lightness karena prosanya tak mengalir. Mungkin cukup kaya dengan visualisasi, tapi kurang exactitude sebab kreativitas dalam kata tak berarti presisi kata. Ia terlalu memikirkan permainan kata dan irama daripada ketepatan frase bagi suatu ungkapan. Untuk aspek multiplicity, di sini mungkin terlihat cakupan ambisinya, tapi tetap miskin karena kurang konsisten. Kritikus yang mencintai permainan kata dan kekayaan sintaksis memuji karya ini karena merasa novel ini telah memperbarui bahasa dengan padatnya metafora dalam kalimat-kalimat, tapi membutakan mata memeriksa integritas ungkapan yang memperkukuh makna utama novel itu.
Namun, tak satu pun kritikus yang dapat mengungkapkan secara konkret apa sebenarnya yang ingin disampaikan novel ini. Apakah lantas kita juga harus menyukainya dengan cara pembacaan yang dianjurkan oleh Karr terhadap puisi The Waste Land, yaitu menikmatinya segmen demi segmen tanpa terlalu memikirkan kesempurnaan struktur keseluruhan. Untuk bisa menikmati sepenuhnya, kita perlu menilai segi presisi bahasa, problema overwriting, dan kelancaran cerita yang terhambat oleh metafora yang berkelebat dan saling tubruk tanpa menciptakan makna, mengevokasi mood, atau aksen yang jelas. Sangat berbeda dengan The Waste Land atau Ulysses yang, walau sangat susah dipahami secara keseluruhan, bisa dinikmati dalam momen epiphany demi epiphany.

Diambil dari makalah “Siapa Takut, Nirwan Dewanto?
Mengembangkan Sastra dengan Merebutnya dari Para Ahli Sastra”
pada sidang pleno Konferensi Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia di Manado, 25-27 Agustus 2004.

Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?

Gerundelan Richard Oh

seni dan moralSelain bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini, menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam detail-detail yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos batas-batas kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, “Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?” Sastra menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita. Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka. Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang tidak dapat dikompromikan.

Sumber: Blog Richard Oh 18 January 2008