Cerpen Indah Margaret
Editor Ragil Koentjorodjati

Jakarta, 1998
“Dinara! Aku dapat sepuluh. Aku yang menang!” Ranum tertawa riang sambil menari-nari di bawah cahaya senja yang mengabur perlahan menjadi malam.
“Ah, curang kamu Ranum. Pasti tadi sudah kamu bawa dari rumah. Masa baru berapa menit sudah dapat sepuluh?” aku menyahut tidak terima. Namun ia malah ikut menari bersamaku.
“Eh..eh..wah gerombolannya datang lagi. Itu..sstt..happ!” Ranum menghentikan tariannya, lalu berlari perlahan meraih dedaunan yang menjuntai lembut menyentuh rambutnya yang berwarna cokelat emas. Dengan cekatan ia menangkap satu kunang-kunang baru.
“Huwa..! Dapat lagi! Sekarang aku dapat sebelas kunang-kunang!” Serunya puas.
“Haaaa.. Ranum sekarang punya sebelas kunang-kunang. Aku hanya punya satu..” keluhku sambil memandangi kunang-kunang hasil tangkapannya di dalam sebuah kotak transparan.
“Ini. Aku berikan lima kunang-kunangku buatmu.”
Aku terdiam. “Ah..Ranum..”
“Jadi sekarang kita sama-sama punya enam kunang-kunang.” Ranum tersenyum puas saat memandangi kotak milikku yang sudah berisi lima kunang-kunang miliknya.
“Terimakasih ya, Num.” Kami saling melempar senyum, kemudian duduk menyandarkan tubuh yang mungil pada dinding jembatan yang kokoh. Air sungai menderai sejuk seperti suara burung-burung gereja di pagi hari.
“Num, kenapa sih kamu sebut tempat ini Ponte Vecchio? Ini kan hanya kolong jembatan saja?” Ranum hanya memandang langit, sambil menghamparkan hatinya yang damai tertiup angin malam yang mesra.
“Nenekku sering bercerita tentang kisah jembatan Ponte Veccio. Kisah dalam sebuah lagu klasik, tepatnya.”
“Lagu klasik?”
“O Mio Babbino Caro[1]. Nenekku sering sekali menyanyikan lagu itu. Kisahnya tentang seorang perempuan yang bercerita pada Ayahnya tentang rasa cinta pada kekasihnya. Dia ingin Ayahnya merestui cinta untuk kekasihnya itu. Seandainya Ayahnya tidak setuju, perempuan itu akan pergi ke Ponte Vecchio, dan menceburkan diri ke sana.”
“Maksudmu?”
“Dia mau mati.”
“Lalu, apa dia mati?”
Ranum mengangkat bahu.
“Aku tidak tahu. Ceritanya hanya sampai di situ.”
“Memangnya, apa itu Ponte Vecchio? Jauh tidak dari sini? Ayo kita ke sana!”
“Mana bisa kita ke sana, Nar. Ponte Vecchio itu nama sebuah jembatan di Italia.”
“Oh.. ya ampun! Kamu sebut tempat ini Ponte Vecchio karena cerita itu?” Dipandanginya jembatan yang melingkar menyambung sungai di atas kami dengan wajah jenaka. Ranum yang dari tadi bertindak sebagai pencerita itu tersenyum menerawang cahaya senja di depannya yang mulai menghitam.
“Aku kan tidak bisa ke sana. Tempatnya jauh sekali. Tapi aku suka sekali lagu itu. Jadi..” Ia terdiam sesaat, kemudian melanjutkan ceritanya lagi. “Kusebut saja tempat ini, Ponte Vecchio kolong Jakarta.” Senyumnya cerah seperti sinar matahari yang membias di balik kelopak bunga mawar di pagi hari.
“O mio babbino caro. Mi piace è bello, bello..”
Ia pun mulai bersenandung.
***
Jakarta, 2012
Ranum, kita harus bertemu.
Kularikan ragaku menembus udara sore yang entah mengapa terasa cukup pengap untuk kuhirup. Sejauh mataku memandang, hanya ada lautan manusia yang semerawut menjejaki aktivitas sore kota Jakarta yang rimbun dan sesak. Ada yang dengan tanpa bersalah menerobos si tuan lampu merah dengan percaya diri, ada yang memaksakan bunyi klakson mobilnya dengan penuh kemarahan, ada yang pasrah saja melepas kopling mobilnya karena yakin bahwa kesemerawutan ini hanya akan menimbulkan kemacetan tanpa pergerakan sedikit pun.
‘Tin, tin, tiiiiiiiiiiin…’
Kutekan klakson mobilku dengan geram. Kenapa tiba-tiba sore ini rimbunnya jalanan sudah lebih-lebih dari pasar ikan pagi hari di pinggir kota? Akh!
‘Tin, tiiiiiiiiiiiiiin..’
‘Ngeng..ngeeeeng.’ Seorang pengendara sepeda motor mengepulkan asap dari knalpot motornya di depan mobilku, sambil membalikkan wajahnya yang tertutup helm ke arahku. Tampaknya pria dengan jaket kulit cokelat itu kesal dengan bunyi klakson mobilku.
“Apa? Apa lihat-lihat?” Aku bergumam kesal ketika si tuan lampu merah berubah warna menjadi hijau. Semua makhluk di jalanan seketika melakukan pergerakan dengan kendaraan masing-masing, Begitu pun denganku. Kupandangi langit sekilas, lalu kembali melemparkan pandanganku ke arah jalan yang ada di depanku.
Ranum, kita harus bertemu.
Kupegang erat kemudi mobilku, berusaha menekan perasaanku sendiri yang terlalu berkecamuk untuk mampu kulukiskan. Tiba-tiba saja aku merasa ingin sekali menghilang dari dunia. Aku tahu entah bagaimanapun keadaanku, toh langit tetap masih biru, dan udara masih tersisa banyak untuk membiarkanku tetap hidup. Namun ternyata, itu tak mampu menggoda hatiku untuk merasa lebih baik saat ini. Bukankah seharusnya hari ini aku berbahagia? Bukankah seharusnya hari ini akan menjadi hari terindah setelah esok? Aku menarik nafas panjang.
Ranum, kita harus bertemu.
Dan meskipun mobilku sejuk karena air conditioner yang menunjuk tombol ON, namun entah mengapa udara semakin lama semakin terasa sesak untukku. Kunyalakan audio mobilku, menekan tombol yes pada sebuah lagu favorit. Namun ternyata, suara merdu Elton John pun tak mampu meredam kegundahanku. Malah, resahku semakin menjadi-jadi. Kuputuskan untuk mematikan audio mobil. Sepertinya, sunyi lebih baik. Ingin sekali rasanya memejamkan mata untuk beberapa menit, dan melepaskan diri dari kemudi yang sebenarnya semakin membuatku takut. Namun tentu saja itu tidak bisa. Mobil ini harus terus berjalan menembus jalan. Mobil ini harus mengantarku pada sebuah kejelasan. Mobil ini harus kulajukan demi menebus resah yang membuncah tidak karuan.
Ranum, kita harus bertemu.
Mobilku melaju melewati sebuah gereja tua di pinggir kota.
Tidak pernah berubah..
Aku berbisik pelan berdialog dengan diriku sendiri saat sebentar kupandang gereja tua itu. Masih saja kucintai, bunga-bunga Lily yang cantik itu, juga halaman yang tak terlalu besar namun cukup lega untuk tempat aku bermain semasa kecil dulu. Ranting-ranting kecil yang jatuh menyebar di kaki pohon, daun-daun hijau yang seringkali berguguran saat angin menghembus di kala terik, bunga madu yang seringkali kupetik sampai gundul karena rasa penasaranku untuk menghisap madunya; semua mendesirkan jiwaku. Rindu ini menggumpal di pembuluh darahku. Lalu, apakah aku akan menangis sekarang? Atau lebih tepatnya, apakah aku cukup pantas untuk menangis sekarang?
Kulajukan terus mobilku tanpa henti. Kutelusuri jalan berbatu yang semakin lama semakin menyempit. Dari sini, wangi desa mulai terasa meskipun aku tidak membuka kaca jendela mobilku. Ingin benar rasanya berhenti sebentar dari lintasan ini, dan mencium satu per satu kerinduan yang merogoh hatiku sejak tadi. Namun, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus bergerak cepat sebelum senja mencuri kesempatanku. Kuinjak pedal gas mobilku, merasakan adrenalin semakin menghujamku bagai cambukan yang melukai punggungku dengan beraturan. Suara air sungai yang teduh menjadi gerbang yang kutunggu-tunggu. Baiklah..
Ranum, kita akan bertemu.
Kuhentikan laju mobilku, dan menyandarkan diri sejenak pada kecamuk yang merindangiku. Kutarik nafas dalam-dalam, dan menguatkan diri untuk sanggup membuka pintu mobil dan berdiri menghadapi kenyataan. Namun sebelum aku mampu melakukan itu, kupandangi sebuah kotak transparan yang kuletakkan di sampingku. Kupandangi kotak itu dengan kerinduan dan irama lain yang sungguh terlalu sulit untuk kujelaskan. Kuraih kotak itu, dan kugenggam dengan kedua tanganku. Perlahan kubuka pintu mobil, dan saat itu pula, jantungku seperti tertohok sesuatu yang keras. Seperti ada lonceng besar yang berdentum keras di kerongkonganku. Kubiarkan kakiku melangkah menyusuri tepian sungai yang wanginya segar seperti wangi pepohonan Cytrus. Di depanku, awan menyulam tarian-tarian malaikat lewat angin yang bertiup mesra. Seperti yang aku tahu, angin membawaku ke tempat di mana aku harus berada hari ini.
Dan di depanku, aku melihat Ranum.
Ia berdiri menahan sinar matahari yang mulai menjingga di pelupuk mataku dengan tubuhnya. Bayangan tubuh rampingnya jatuh remang menghampar di atas bebatuan. Rambut cokelat emasnya terhempas-hempas oleh angin sore yang merinai mesra menjemput malam. Wajahnya yang lembut berkilau-kilau tersiram cahaya langit sore.
“Dinara..” Ia menyebut namaku saat melihatku datang.
Ranum.. Ranum.. Maafkan aku..Maafkan aku.. Belum saja aku sanggup berkata-kata, mataku sudah perih menahan air mata.
“Apa kabar, Nar? Seperti sudah begitu banyak hal yang berubah, ya?” Kedua mata sendu itu tenggelam memandangi aliran air sungai yang tampak seperti anak-anak kecil yang berlarian hendak pulang ke pangkuan ibunya.
Aku bahkan tidak sanggup memandang kedua mata itu. Kubuang saja pandanganku ke arah jembatan besar yang melenggang gagah di atas sungai ini. Jembatan besar yang tampak seperti lembayung romansa setiap kali aku menghabiskan waktu bermainku bersama seorang sahabat kecil di kala senja dahulu. Kurasakan perih meluruh dalam hatiku.
“Bagaimana rasanya, Nar?” Ranum tetap tidak bergerak dari tempatnya.
“Bagaimana rasanya akan menikah dengan orang yang kau cintai esok hari?”
Tiba-tiba aku merasa seperti ada malaikat menamparku keras-keras. Ranum memandangiku dengan tatapannya yang penuh luka.
“Ranum.. Maafkan aku..” Aku menangis saat kupandangi wajahnya. Tapi Ranum hanya terdiam.
“Aku tidak pernah berniat merebut kekasihmu. Aku juga tidak mengerti mengapa aku tidak bisa berhenti mencintai Adian. Aku merebut Adian darimu. Aku jahat kepadamu. Maafkan aku, Ranum..” Tangisku pecah.
Kenapa harus kekasihmu, Num? Kenapa harus laki-laki yang paling kau cintai? Kenapa harus sahabat yang paling kusayangi? Kenapa harus kau yang sudah begitu baik kepadaku? Kenapa harus aku? Kenapa harus kita?
“Kenapa tidak dari awal kau katakan? Kenapa kau harus menusukku dari belakang? Kenapa harus kau yang merebut Adian? Kenapa?” Suara Ranum terdengar pelan dan tenang. Namun, aku dapat merasakan luka dari suara itu. Luka itu menggetarkan dan semakin meyesakkan hatiku.
“Maafkan aku, Num..” Kusentuh kedua lengannya, sementara ia tetap diam.
“Semoga kau bahagia dengan hidup barumu, Nar. Maaf, besok aku tidak bisa datang ke pernikahan kalian.” Suara Ranum bergetar.
“Aku akan pindah ke Italia.” Ucapan Ranum barusan membuatku nyeri sampai ke ujung kepala.
“Kenapa, Num? Apa karena..”
“Aku akan melanjutkan studi ke sana. Mungkin..” Ia terdiam sejenak.
“Akan menetap selamanya..” Ranum memandang nanar ke arah langit. Wajahnya sudah basah karena air mata.
Selamanya? Selamanya? Aku merasa seperti ada badai berputar-putar di belakangku.
Apakah karenaku, Num? Apakah karenaku kau akan pergi jauh? Lalu, apakah kau akan melupakanku? Kalau kau pergi, aku tidak akan pernah punya sahabat lagi. Tidak akan pernah ada yang sebaik engkau, Num. Tidak akan ada..
Kurasakan duka mencambuk hatiku keras-keras.
“Aku akan merangkai hidupku dari awal. Lagipula sudah lama Paman memintaku untuk tinggal di sana. Kau tahu, aku selalu ingin berkunjung ke Ponte Vecchio.” Ranum tersenyum simpul. Namun senyum itu malah semakin melukaiku.
Ponte Vecchio.. Ponte Vecchio.. Bukankah kita biasanya mencari kunang-kunang di Ponte Vecchio kolong Jakarta ini bersama-sama? Lalu, apakah kita tidak akan pernah lagi..?
“Semoga kau bahagia, Dinara. Aku hanya bisa bilang itu..” Ranum memandangi wajahku dengan kedua matanya yang menyiratkan luka. Perlahan, Ia melangkahkan kakinya beranjak melaluiku, meninggalkanku.
“Ranum.” Ia menghentikan langkahnya saat aku memanggilnya, namun tak sedikit pun ia membalikkan tubuhnya.
“Ini.” Dengan hati bergetar aku memberikan kotak transparan yang dari tadi kugenggam dengan tanganku. Ranum menerima kotak itu, dan memandanginya selama beberapa detik.
“Ini.. ada sebelas kunang-kunang di dalamnya. Kau ingat? Dulu kau pernah memberikan lima kunang-kunangmu untukku. Padahal, seharusnya kau punya sebelas kunang-kunang dan aku hanya punya satu. Tapi kau malah memberikan lima kunang-kunangmu untukku. Sehingga kita sama-sama punya enam kunang-kunang.” Aku melihat Ranum terdiam saat menerima kotak berisi sebelas kunang-kunang itu, sebelum ia mulai menangis lagi.
Aku menghambur memeluknya.
“Maafkan aku, Ranum. Aku jahat kepadamu. Seandainya aku bisa memilih, aku tidak ingin melukaimu. Kumohon, maafkanlah aku..”
***
Hari ini adalah sebuah sore yang tak terlukiskan ketukannya. Seperti sebuah sore yang datang terlambat atau terlalu cepat dari rotasi waktu yang seharusnya. Suara angin riuh lelah seperti puing-puing hujan yang beku. Di sekelilingku, daun-daun bergoyang anggun bagaikan tirai pagelaran yang membuka sebuah pementasan yang indah. Namun ironisnya, pementasan itu adalah sebuah panggung tanpa warna. Tidak ada violinis yang memainkan melodi-melodi adagio yang menyayat hati, tidak ada pianis yang memainkan irama staccato yang melonjak-lonjakkan nadi, tidak ada timbaland yang memainkan dentuman ketukan dengan gagah, tidak ada suara. Ini adalah sebuah pementasan kosong. Yang ada hanya orang lalu lalang di atas panggung melafalkan setiap dialog bisu, tanpa irama.
Lalu, di atas sana, kulihat beberapa burung-burung kecil menari-nari lugu membelah udara. Dua di antaranya terbang beriringan, ikut mengikuti satu sama lain. Dua yang lainnya menari dengan irama yang berbeda. Lebih bebas, lebih luwes. Empat burung kecil itu seolah membentuk rasi bintang termanis yang tak pernah tertulis dalam kisah sejarah astrologi. Kubayangkan aku dan sahabat kecilku berlari-lari mengejar kunang-kunang senja di Ponte Vecchio. Aku tersenyum saat mulai menangis.
Ranum.. Apa kabarmu, sekarang?
Aku merindu.
[1] O Mio Babbino Caro adalah sebuah lagu klasik dari opera Gianni Schicchi, 1918.