cerpen anak malang

Paninea

Cerpen Gui Susan

Jika kita tahu rasanya lapar, maka, ketika kita merasakan perasaan kenyang, kita akan bersyukur dan terberkati.

cerpen anak malang
gambar diunduh dari nosirds-files-wordpress.com

Paninea menutup bukunya, tulisan yang sederhana itu cukup menghibur hatinya. Tapi, tetap tidak bisa membohongi dirinya dari rasa lapar. Paninea mengelus perutnya, seperti ingin sekedar menabahkan perutnya yang sedang digerus rasa lapar.

Paninea menatap ke sekeliling pasar, banyak orang berhilir mudik. Kebanyakan mereka membawa kantung-kantung belanjaan yang diisi sayuran, daging, atau baju. Hari raya, seharusnya Paninea pun merasakan makan daging. Tidak dia pikirkan baju baru, Paninea sangat mendambakan makan daging. Dalam benaknya ada terselip doa, semoga tetangga di samping-samping rumahnya bersudi diri untuk memberikan semur daging dan ketupat ketika hari raya nanti. Di kehidupan keseharian, untuk memakan daging, Paninea harus mengikhlaskan kakinya dipukul ibunya.

“Apa kau bilang Nea? Kau mau minta dibuatkan semur daging? Buta mata kau itu? Orang miskin kaya kita harus pandai bersyukur! Ketemu nasi sudah cukup, jangan minta macam-macam,” hardik Ibu sewaktu Paninea merenggek ingin merasakan semur daging. Dan hardikan ibu itu disimpan baik dalam hati Paninea. Angin berhembus kencang, orang masih banyak berlalu lalang, ada juga penjual sayuran yang berleye-leye karena dagangannya tidak laku.

Paninea membuka lagi bukunya, dengan tangan gemetar dia mulai menyusun kembali kata-kata.

Apa kabar bapak? Apa bapak ingat kalau Nea masih hidup dengan ibu? Katanya bapak akan jemput Nea dan bawa  Nea makan enak, main komidi putar terus beli gulali. Apa bapak tahu apa yang ibu lakukan setelah bapak pergi?

***

Paninea hanya gadis kurus berkulit coklat, rambutnya sepunggung, matanya cokelat, dan kukunya panjang-panjang. Paninea adalah gadis kecil yang menjual plastik di pasar dari jam enam pagi sampai jam dua siang, lalu Paninea akan bergegas menuju surau kecil yang terletak di ujung lorong. Di saku belakang celana Paninea selalu ada buku notes kecil dan pensil yang panjangnya tidak lebih dari jari kelingking. Paninea suka menulis, itu alasan kenapa dia selalu membawa buku notes dan pensil ke mana-mana.

Jam sepuluh pagi, Paninea berjalan gontai menawarkan plastik ke ibu-ibu yang dilihatnya kesulitan dengan barang belanjaannya. Sejak dari jam enam pagi, Paninea hanya dapat uang lima ribu rupiah. Keringat keluar dari kulit jangatnya. Wajah Paninea memucat, karena biasanya sebelum jarum jam menunjuk angka sepuluh, dia sudah bisa menjual plsatik dan mengumpulkan uang hingga lima belas ribu rupiah di saku bajunya. Hari itu, sepertinya akan menjadi hari yang buruk. Paninea duduk di ujung lorong, dia mengeluarkan buku dan pensilnya.

Cuma 5000 pasti ibu marah sekali. Tidak ada beras, tidak ada daging, pasti aku dipukul lagi.

Paninea menarik nafas dalam-dalam. Ketakutan terbesar Paninea adalah rumah. Rumah di mana Paninea tinggal dengan ibunya; ibu tiri. Sudah 3 tahun kabar dari Bapak Paninea tidak terdengar lagi. Paninea ingat, Bapak Paninea pamit untuk mencari uang di kota. Itulah kabar terakhir yang bertahan di ingatannya, sejak perpisahan itu, tidak ada lagi kabar.

Paninea tinggal dengan ibu tirinya, Mak Suripah, dan Paninea kerap dijadikan bulan-bulanan kemarahan jika ibunya tidak ada panggilan nyanyi di dangdut dorong atau di pesta-pesta kawinan. Jikapun ada panggilan, ibunya kerap pulang dalam keadaan tidak sadar dan bau alkohol. Yang paling membuat heran Paninea adalah ibunya sering pulang bersama lelaki yang berbeda. Jika sudah ada lelaki yang bertandang ke rumah mereka, Paninea akan dapat uang jajan untuk beli gulali di warung, tidak banyak, cuma 4 butir tapi hal itu menggembirakan hati kecil Paninea.

Paninea mengeluarkan buku dan pensilnya.

Apa ibu sayang dengan nea?

Paninea berdiri dan kembali mencoba menjual plastik. Hingga sore, Paninea hanya dapat sepuluh ribu rupiah. Wajahnya pucat ketakutan, dengan gontai Paninea berjalan pulang ke rumahnya. Di depan pintu, Paninea melihat sebuah motor terparkir di bawah pohon mangga. Hati Paninea sedikit terhibur, tandanya ibu ada kerja malam ini. Paninea masuk ke dalam rumah, Pak Masus, pemilik orkes dangdut sedang duduk manis di samping ibu.

“Heh, dapat berapa jualannya?” tanya Ibu.

“Sepuluh ribu, Bu.”

“Ahh..kok cuma segitu!”

Pak Masus mengelus pundak Ibu.

“Sabar Jeng, nanti malam kan dapat bagian nyanyi. Sini Nea, Om kasih uang beli gulali. Belinya yang jauh ya,” Pak Masus mengeluarkan uang lima ribuan. Paninea berdiri terpaku. Ibunya menatap dengan sedikit melotot, seakan memberi instruksi untuk mengambil uang itu dan menyuruh Paninea lekas keluar dari rumah.

Paninea mengambil uang yang disodorkan oleh Pak Masus lalu pergi gegas tanpa melihat lagi ke belakang. Paninea berjalan tidak tentu arah, dia tidak pergi ke warung. Hati kecilnya berkata bahwa dia tidak ingin gulali, ini bukan uang yang baik, gumamnya pelan. Akhirnya Paninea memutuskan untuk duduk di pojok surau sembari menuliskan banyak sekali kalimat. Hingga akhirnya Paninea tertidur karena terlalu letih.

***

Paninea akhirnya terbangun ketika suara bedug dipukul; menggema ke seluruh kampung. Paninea menatap ke jam dinding, subuh. Matanya mengerjap seakan ingin meyakinkan diri kalau-kalau dia salah melihat. Tersadar kalau memang sudah subuh, Paninea langsung berdiri dan berlari pulang ke rumahnya, ibunya pasti mengamuk, pikirnya.

Sesampainya di halaman rumah, motor Pak Masus masih terparkir di bawah pohon mangga. Perasaan Paninea tercampur aduk. Pelan-pelan dia masuk ke dalam rumah, Pak Masus sedang duduk, bertelanjang dada dan terselip rokok di bibirnya. Seketika bulu kuduk Paninea meremang tidak menentu, dadanya berdegup kencang.

“Sini duduk, deket Om,” panggil Pak Masus.

Paninea diam kaku, tanpa memperdulikan ajakan Pak Masus, Paninea masuk ke dalam kamar. Tapi tiba-tiba tangannya ditarik oleh Pak Masus. Paninea terjatuh ke lantai dan pak Masus menindihnya dari atas. Paninea menangis menjadi-jadi, dan tiba-tiba ibu sudah berdiri tepat di belakang Pak Masus.

Air matanya menetes, entah mengapa, untuk pertama kali Paninea melihat ibunya menangis. Ibu berlari ke dapur, lalu tidak berapa lama kemudian ibu datang dengan membawa pisau dapur. Mata Paninea ketakutan. Ibu, sembari menutup matanya menghujamkan pisau dapur itu tepat ke punggung bagian tengah Pak Masus.

Pak Masus berteriak kesakitan sebelum kemudian jatuh ke atas tubuh Paninea, ujung pisau tepat mengenai bagian tengah dada Paninea. Darah mengalir. Ibu menarik tubuh Pak Masus dan menarik Paninea untuk berdiri. Ibu membuka baju Paninea dan memeriksa ke lukanya. Bergegas Ibu masuk ke kamar. Di tangannya terkepal segulung uang yang diikat karet gelang. Ibu mengulurkan uang itu dan menaruhnya di tangan Paninea. Paninea menangis terisak.

“Pergi sana, jangan kembali ke sini. Anggap ibu mati, ” ujar ibu pelan.

Dada Paninea sekejap nyeri. Monster yang sangat ia takuti kini bersukarela melindunginya. Paninea menggeleng, dia tidak mau berlari seperti pengecut.

“Pergi!” hardik Ibu.

Paninea menggeleng.

“Pergi!! Jangan pernah kembali, ibu sudah mati.”

Paninea menggeleng lagi.

Ibu mendorong tubuh Paninea keluar dari pintu, Paninea berontak. Lalu ibu mengunci pintu dari dalam. Paninea menangis dan mengetuk.

“Ibu!” jerit Paninea

“Pergilah Nak, ini akan berat buatmu. Itu uang untuk bekalmu hidup ke depan. Ibu sudah mati.”

Untuk pertama kali, Ibu memanggil Paninea dengan kata-kata ‘Nak’. Paninea semakin menangis tersedu.

“Pergilah Nea, beli makanan yang kau suka,” ujar Ibu.

Itulah kata-kata Ibu yang akan menjadi kata-kata terakhir yang didengar Paninea, sebab pada keesokan paginya, ketika pintu rumah dibuka paksa oleh warga kampung, Ibu sudah meninggal dengan pisau tertancap di dadanya. Paninea berdiri kaku di bawah pohon mangga. Air matanya mengalir. Tanpa henti. Kali ini, dia tidak lagi ingin menulis. Tidak ada lagi kata-kata yang pantas untuk menceritakan ini.

 

Cahaya terang berisi air itu menghasilkan buih-buih yang menutupi permukaannya, yang meghalangi kita untuk dapat melihatnya dengan sumber mata batin yang berada jauh di dalam.”

 Rumi. Matsanawi VI, 3400-3431.

*) Gui Susan,  pecinta buku dan seorang ibu, tinggal di Jakarta, berjejaring sosial di twitter @GuiSusan dan Facebook: Gui Susan. Beberapa puisi dan cerpennya pernah dimuat di Kompas.com

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s