Arsip Tag: cumbu

Kepulangan Terakhir

Cerpen Halim Bahriz

Enam tahun lalu, untuk pertama kali, aku menyukai seorang perempuan.  Perempuan itu bernama Rani. Tanpa kesengajaan, kami memilih kampus dan jurusan yang sama. Namun kedekatan geografis semacam itu tak lantas memunculkan keberanian berungkap perasaan. Tak pernah kupunyai kemampuan berbicara soal-soal demikian. Aku lebih lihai menuliskan teks orasi untuk keperluan demo. – Birokrat mulut cap kentut, Birokrat busuk, kami datang ke kampus ini bukan untuk dianakkerdilakan, bukan untuk dininabobokkan dengan bea siswa, kami muda, kami yang bicara, kami akan terus berteriak-teriak selama kalian tak becus melaksanakan kejujuran pendidikan.Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa! -. Yah, mungkin beberapa orang akan mengiranya sekedar umpatan-umpatan murah dari emosi yang gagal dipulangkan.  Saat makin sering menemukan Rani di kampus, meski hanya punggungnya, semulai itulah, ada semacam kesadaran tentang diri sendiri yang gagap, bahkan untuk sekedar berucap nama: Rani.

sendu
Gambar diunduh dari http://www.styvop.devianart.com

Rani membikin dunia lain yang tanpa sadar sering kusambang di waktu-waktu tanpa duga. Misalkan saat sedang berlangsung pertemuan sengit dengan Rektor soal transparasi pendanaan Unit Kegiatan Mahasiswa, Tiba-tiba pikiranku terbang menuju sebuah sudut sempit, dan di tempat itu aku pernah menemukan Rani bercumbu rayu dengan seorang lelaki. Ah, seingatku, beberapa kali kutemukan Rani dalam keadaan memalukan seperti itu, di tempat yang sama, di sudut itu. Setiap akan melewati sudut itu, aku selalu merasa kekurangan oksigen, dada terhimpit dan nafasku membikin dua bunyi yang mendesis. Jika tak bersungguh paksa, sekuat tenaga tak kubiarkan diriku menjadi lebih memalukan dari cumbu rayu Rani dengan melewati sudut itu.

Dikesempatan yang lain, saat sedang mendiskusikan konsep aksi turun jalan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, Tanpa sebab yang jelas, namun dengan berbekal kecerdikan (lebih tepatnya kelicikan), aku berhasil mengeluarkan seorang senior dari forum hanya karena tadi siang kupergoki dia sedang makan bakso bareng Rani di Kantin. Entalah, mengapa bisa demikian. Aku seperti berada pada satu keadaan yang mengerikan. Ada kenyataan asing yang berlangsung di tubuhku, dan pikiranku dikendalikan oleh sesuatu yang tak bisa kukenali, tak bisa kukendalikan balik.

Kenyataan-kenyataan aneh itulah yang kemudian membuatku merasa membutuhkan tempat bersembunyi. Tempat yang hanya aku dan aku yang mengetahui. Tempat menyusun rahasia-rahasia kecil soal aku dan Rani. Tentu, tempat persembunyian itu di kemudian hanya dipenuhi kepedihan-kepedihan yang sunyi.

Luka paling hebat barangkali saat kutemukan untuk pertama kalinya Rani tersedu tepi jalan yang pikuk (meski dikemudian hari datang luka yang lebih menyembilu). Dengan cepat dan sigap ia mendekap erat. Perasaanku campur aduk. “Tak baik begini di tepi jalan” ucapku setelah gemetaran yang cukup panjang. Lalu, Rani mengajakku ke atap gedung di kampus. Ia ingin melihat matahari tua yang karam. Ia biasa menenangkan diri dengan melihat senja. Namun aku sudah menyimpan curiga sekaligus tak memungkiri menimbun perasaan senang yang datang bertubi-tubi.

Dan, memang, setelah air matanya dikeringkan angin sore yang genit, Rani pun memulai ceritanya. Tentu, kisah luka. Apalagi yang membikin orang malu bertumpah air mata, selain kisah luka. Dalam tersedu ia lirih berkata “Empat jam yang lalu aku diperkosa empat lelaki mabuk yang tak kukenal” . Dengan cepat jantungku makin kecil, menjadi ringan, seperti pelepah pohon pisang yang telah mengering. Dan setelahnya, adalah puncak kecengenganku sebagai seorang lelaki sekaligus aktifis yang terkenal arogan. Tak hanya peluh mata, isak makin mendesak untuk diperdengarkan. Kali ini justru dariku, bukan Rani.

“Aku yang mendapat luka, mengapa kau yang menangis lebih deras?”.

Aku hanya terdiam, gemetaran mengusapi air mata, sembari pelan-pelan menenangkan isak dan menyusun keberanian untuk berbicara.

“Aku, telah menyukaimu sejak enam tahun lalu. Saat kita masih sama-sama berseragam putih abu-abu. Saat kau begitu menyukai Es Krim, Bakso, nyala lilin. Saat kau begitu rajin menuliskan namamu pada tempat-tempat yang sebenarnya tak menyimpan kenangan apapun. Saat kau masih sering lupa mengerjakan PR dan lebih rajin menuliskan catatan-catatan menyedihkan, lalu, tanpa perasaan malu, kau memajangnya di mading-mading, terutama mading dekat kamar mandi laki-laki. Mungkin air mata ini sebentuk pernyataan rasa suka yang hingga hari ini tak juga reda,  meski enam tahun telah terlewat tanpa percakapan apa-apa denganmu, mungkin rasa suka itu sederas air mata yang kini kau saksikan sendiri. Bukankah sangat manusiawi jika aku menangis karena seseorang yang menjatuhkanku ke hatinya? Aku juga tak ingin secengeng ini sebenarnya, tapi, bagaimana lagi, segalanya tak mampu tertahan, tak lagi mampu ditahan”.

“Kenapa kau tak pernah mendekatiku?”.

“Aku pengecut, Aku hanya berani menikmatimu tak kurang dari jarak 20 Meter”.

“Hahaha…bukankah kau aktifis?”.

“Lalu?”.

“Aku sering melihatmu berteriak-teriak di jalan, mengumpati Dosen-Dosen, bahkan Rektor. Aku tak melihat rupa pengecut seberkas pun di wajahmu ”.

“Jangankan kau, aku pun tak mengerti kenapa demikian”.

“Aneh”.

“Ya memang aneh. Mana ada lelaki yang menyukai seseorang selama enam tahun, lalu mengungkapkan perasaan sukanya setelah perempuan yang disukainya diperkosa oleh empat lelaki lain”

“Hahaha…”.

Rani seperti tubuh terbelah. Menangis deras, segegas, lekas, berbahak-bahak ia tertawa.

“Kau tak bersedih?” selipku dalam bahaknya.

“Tentu saja, Tapi hidupku memang sejak dulu telah terbiasa pedih. Aku juga terlahir dari sebuah pemerkosaan. Kesedihan berkepanjangan juga tak merubah apapun. Tak ada masa lalu yang bisa diperbaiki. Ia hanya bisa ditinggalkan”

Sejak itu, Kami bersepakat saling mengerti dan mengingatkan. Kami berbagi apapun tanpa keberadaan rahasia sama sekali. Aku tak perlu lagi tempat persembunyian. Rani, adalah tempat bersembunyi terbaik yang pernah kudatangi. Rani membuatku menyadari hal-hal yang selama ini kubengkalaikan. Semisal, Rajin mandi pagi hari, menyetrika pakaian juga minum air putih yang cukup. Dan yang membuatku merasa beruntung:kusembuhkan luka dengan menyembuhkan luka.

Tapi, kisah dari senja itu tak berlangsung lama. Seperti senja, sebentar, lekas karam dan menyisa rindu juga kehilangan.

Pesimisme itu muncul setelah Rani memasrahkan tubuhnya kurebahi dengan birahi, pada saat itu pula tanpa kendali kupelihara kecemasan demi kecemasan. Awalnya, Aku menolak melakukan hal seronok semacam itu. Tapi, tubuh, memiliki keinginan dan kehendaknya sendiri. Makin lama, Kami makin keterlaluan melakukan transaksi ketubuhan, membiarkan kebinatangan menjadi penguasa, dan aku, seperti mendiami tubuh yang salah. Bahkan, di tempat-tempat yang tak sepenuhnya kami miliki berdua, tanpa malu, kami saling menelanjangi. Kami makin tolol, makin tak terkendali, dan makin menyedihkan sebagai manusia. Hingga perasaan jijik pada diri sendiri memilih keputusan untuk membikin jeda.

Rani sigap menolak. “Jangan ada jeda!”, Selanya.

Tapi aku keras bersikukuh. ”Aku hanya menginginkan kita saling berfikir dan merenung, apakah hubungan ini masih berlangsung dalam semangat saling memperbaiki diri?”.

Lalu, kami saling memperdengarkan suara isak, membiarkannnya mengguncangi sekujur badan, hingga perlahan suara isak itu saling menjauh, melirih, membikin jarak dan menggantarkan kami berdua pada waktu bernama Jeda.

Dalam jeda itu, nampaknya aku kelabakan memperlakukan rindu. Aku mulai menemukan Rani dengan cara-cara yang memalukan. Dari tempat-tempat yang juga memalukan. Seperti penyair-penyair tengil yang mengingat kekasihnya. Aku tak mengerti kenapa musti menyukai bau pagi, desah  hujan,  dengkur kesunyian. Bahkan dari uluran memilukan seorang pengemis, empatiku bisu, aku justru khusuk mengingat Rani hanya karena mereka memiliki letak tahi lalat yang sama dan bentuk hidung yang sangat mirip.

Tak lama, rindu itu sungguh keterlaluan. Memaksaku mengakhirkan jeda secara sepihak. Keputusan untuk menemui Rani di rumahnya malam itu juga tak bisa dicegah lagi. Aku bersiap dengan kejutan-kejutan kecil yang memang selalu kita bawa pada setiap pertemuan. Tapi, justru Rani yang pada akhirnya lebih mengejutkan meski Rani tak bermaksud menyiapkan kejutan apapun buatku. Malam itu, kedatanganku tak lebih dari sebuah pengantaran diri pada liang luka.

Aku memang telah terbiasa selonong ke dalam rumah Rani. Awalnya, kukira kami saling merindukan. Kukira, kedatanganku juga akan menenangkan kerinduan Rani atas diriku. Tapi, itu hanya prasangka yang pada akhirnya tak pernah terbukti. Sama sekali tak kumiliki duga akan menemukan Rani bertumpang tindih dalam birahi dengan lelaki lain. Malam itu, aku sepenuhnya percaya, bahwa tak ada yang lebih pilu selain memergoki dua mulut yang saling menggilas, empat paha yang saling menjepit, empat mata yang saling melenyapkan dan dua kelamin yang saling mengutuhkan. Sedang separuh dari itu, adalah rupa birahi milik kita yang dirampas. Malam itu, yah, malam itu, rinduku lunas, lunas selunas-lunasnya, dan, jeda memang benar telah usai, benar telah selesai.

Kenyataan pahit semacam itu tak pernah terbayangkan akan mampu mengurungku hingga berhari-hari di dalam kamar yang kini kubiarkan selalu gelap dan pintu selalu tertutup. Keseharianku adalah rebahan luka, menjadikanku lelaki cengeng yang menghabisi waktu dengan mengkasihani diri sendiri, menjadi tubuh yang terkeping-keping oleh kepedihan-kepedihan picik. Membiarkan belatung-belatung kenangan menyicitiku.

Kemarin, Rani mengirim pesan singkat. Ia meminta maaf. Ia juga memberikan bonus kejujuran, bahwa ia tak pernah diperkosa oleh siapapun. Ia menangis di tepi jalan hanya karena tubuhnya telah ditolak oleh lelaki idamannya minggu itu. Aku pun telah sepenuhnya mengerti bahwa Rani tak pernah jadi tempat persembunyian. Rani tak lebih dari tempat penyekapan, Ia menyekapku, dari banyak hal, dari banyak keseharian, bahkan dari diriku sendiri.

Dalam pengurungan diri itu,  jejak sepanjang perjalanan hidupku berdatangan. Tapi aku hanya menuliskan tentang Rani. Halaman demi halaman dalam Buku harianku hanya dipenuhi oleh kisah luka memilu sekaligus memalukan tentang Rani. Hingga kisah itu musti dihentikan paksa.

“Sudah! tangisan telah kehabisan akal menenangkanku. Kisah ini musti berakhir atau diakhiri, sebelum segalanya menjadi semakin rumit. Aku harus berdiri, kembali berjalan, menapaki waktu yang makin menjauh. Yah, berjalan, karena hanya dengan cara itu segalanya bisa ditinggalkan. Dan kukabulkan maafmu, Rani, mungkin memang hanya dengan maaf masa lalu akan menjinak dalam ingatan”

Kunyalakan lampu kamar. Mencoba berdiri lebih lama, tubuhku makin kurus, meringan. Lalu,  kucoba melangkah ke luar kamar, dan tubuh ini memang benar-benar terasa sangat ringan, telapak kakiku terasa tak menyentuh apapun.

Rumahku masih sangat singup senyap. Tapi memang beginilah rumahku. Debu-debu menebal di sana-sini; di muka lantai, di muka perabotan-perabotan, di muka kaca jam dinding, dan foto – foto aksi turun jalan milik Ayah dan Ibu juga nampak begitu buram. Pintu dan jendela masih pekat mengunci. Sementara sepi, lebih hebat lagi mengutuki rumahku. Rumah ini memang nyaris tak pernah riuh, gemericik dari kamar mandi pun hanya terdengar jatuh dari gayungan dan air mataku sendiri, bahkan bau sarapan juga nyaris tak pernah tercium sejak bertahun lalu.

Ibuku seorang aktifis gerakan perempuan yang jarang pulang. Ia menyibuk diri mengurusi perempuan dan anak-anak yang nasibnya tak karuan setelah perceraian. Ia juga mencoba memberikan edukasi bagaimana berdiri sama tegak sebagai seorang perempuan tanpa meninggalkan peran sebagai seorang Istri, tentu juga sebagai Seorang Ibu. Sementara Ayah, lebih tak kumengerti lagi perihal kesibukannya. Ia bahkan sekedar kukenal dengan sebutan Ayah, selebihnya mungkin hanya wajah kami yang sangat mirip.  Dan sebutan itu, tak lebih dari panggilan lain bernama saku bulanan.

Di luar rumah nampak langit telah gelap. Aku merindukan warung kopi Cak.Ipul, menemui teman-teman segenggaman, membicarakan kepalan tangan, teriakan, juga darah, bukan embun, bukan hujan apalagi air mata. Karena kami percaya, antara air mata dan darah, siapa yang lebih gagah tertumpah di tengah arena peperangan.

Sesampainya, Aku hanya menemukan Cak.Ipul sendirian, matanya penuh sesal, dan nafasnya seolah terus-terusan menghitungi waktu. Tak biasanya Cak.Ipul terlihat angker seperti itu Aku duduk di sampingnya, lutut kami saling berciuman. Sepertinya antara aku dan Cak.Ipul sedang berada dalam kelumit pikiran yang sama.

“Kopi Pahit Cak.Ipul” tegurku sepenuh rindu.

Cak.Ipul hanya mengangguk, tak hendak berdiri, matanya bersikukuh pada satu tempat, entah dimana.

“Sekarang Hujan?” lirih ia membalas pesanan kopiku.

Aku semakin tak mengerti, kenapa tiba-tiba ia menanyakan hujan. Aku hanya diam.

“Apakah Sekarang sedang hujan?” ujarnya lebih keras.

“Sepertinya tidak” jawabku.

“Apa kau tak mendengarnya? Bukankah itu suara hujan”.

“Suara?  Hujan?”.

“Yah, suara hujan”.

“Cak.Ipul lihat sendiri kan, semuanya masih kering, tak basah sama sekali”.

“Tapi suara itu nyata sekali. Bukankah suara hujan hanya dari hujan? Suara hujan teramat sulit dipertirukan oleh apapun. Apa kau tak mendengarnya? Coba pejamkan mata dan sedikit lebih tenang”.

“Begitukah?”.

“Coba saja”.

Sejenak aku memejam dan menenang. Aku tak mendengar apa-apa, apapun. Bahkan, desah nafas Cak.Ipul sama sekali tak sampai di telinga. Sepi sekali. Tapi, lamat-lamat ada suara hujan mendekat ke arahku.

“Yah, yah, aku mendengarnya. Itu memang suara hujan. Lalu ada apa dengan suara itu”

“Apa kau tak pernah merindukan hujan?” .

“Beberapa waktu yang lalu, hujan membikinkanku rindu”

“Hari ini, pertama kalinya aku merindukan hujan”.

“Begitukah? Apa karena malam ini Cak.Ipul kesepian?”.

“Tidak, Aku hanya merasa hampa, hampa sekali”.

Kami saling berdiam, menepi pada nasib masing-masing. Dan memang, malam itu suasana begitu lain, jalanan yang biasanya ricuh oleh suara-suara motor, malam itu, mereka memakai laju yang sangat lambat, nyaris tak menyuarakan apa-apa. Tak ada tarian angin di dedaunan, Tak ada kerasak tikus dari tumpukan sampah. Tak ada suara sendal menjejal di atas trotoar. Hanya suara hujan yang datang tanpa air, yang aneh, yang sesekali secara mengejutkan menjadi suara tangisan lirih yang dekil.

“Apa kau pernah menangis?”, Cak.Ipul memulai lagi percakapan yang semakin aneh.

“Beberapa waktu yang lalu, aku rajin sekali menangis. Mungkin jika air mata itu tak menguap akan menggenang seperti  comberan”

“Apa saat itu kau terluka?”

“Yah, Sangat terluka ”

“Apa kulitmu juga pernah mendedarah?”

“Tentu saja, Waktu itu sedang demo besar-besaran, kisruh dan kepalaku kena kemplang polisi. Sudah berulang kali, bekasnya juga masih bisa diraba. Apa Cak.Ipul ingin merabanya?”

“Ah, tidak tidak! Itu tak penting”

“Kau tahu? Kalo antara keduanya sama ada karena luka?”

“Tentu saja, dan aku menyadari betul tentang luka yang tak pernah sederhana itu, hehe…”

“Memang luka yang kau tangisi masih ada bekasnya? Mana? Aku ingin merabanya”

“Oh, tentu ada. Tapi tak bisa diraba”

“Hmmm…Aku juga pernah rajin sekali menangis, meskipun sekarang sudah tak bisa lagi. Dan bekas lukanya masih ada. Mau kau merabanya?”

“Hah? Bagaimana bisa begitu?”

“Mana tanganmu. Coba buktikan sendiri”

Belum kusentuh luka Cak.Ipul, tiba-tiba ia hilang, menghilang tanpa cara apapun. Perlahan, warung Cak.Ipul menghitam, menjadi pepuingan. Sebuah Police line mengitari warung Cak.Ipul yang telah menjadi bangkai dari lahapan api. Tiba-tiba angin menderu-deru, aku tercekam, seolah mengerti tentang angin itu, ia seperti sedang mengatakan sesuatu, entah apa. Tapi aku tahu ia sedang mengatakan sesuatu. Tubuhku gemetar, kedinginan, angin itu makin mendekat, mendekap, membikin tarian kunang-kunang di sekujur tubuhku. Aku tak tahan lagi, benar-benar tak sanggup dengan keadaan itu. Aku berlari sekencangnya, menjauh tanpa menyempatkan diri menoleh sesudut pun. Sepanjang lariku, aku  seolah berpapasan dengan banyak masa lalu, ia seolah mendekat lalu dengan cepat meninggalakanku. Aku seperti berlari di tempat. Hingga tanpa sadar aku telah berada tepat di depan gedung wakil rakyat. Aku berhenti dan diam.

Aku bertahan di tempat itu nyaris sampai matahari terbit. Aku duduk bersama segenap keasingan dan keterasingan, mencoba menyusun kepingan masa lalu saat begitu gegap kita menggenggam, berteriak-teriak, sesekali melempari gedung itu dengan batu dan telur busuk. Tapi, kepingan-kepingan itu tak juga membentuk masa lalu yang utuh. Keasingan dan keterasingan lebih bingar mengumpatiku dari pada kepingan ingatan masa-masa kegemilanganku menjadi seorang aktifis itu.

Keadaan begitu sepi, sepi sekali. Aku bahkan meragu apa memang keadaan seperti ini masih bernama sepi. Aku seperti sedang berada di tempat yang salah.

Subuh meraba telinga. Aku semakin merasa aneh, seperti mendengar suara subuh yang datang dari jantungku sendiri. Keadaan semakin nyinyir. Tubuhku seperti dicincangi waktu. Tapi suasana yang memedih itu tak lantas memancingku untuk menangis lagi. Aku telah lupa menenangkan diri dengan air mata.

Lamat-lamat, suara hujan mendekat. Tapi, air tetap tak mengguyur. Tubuhku kembali gemetar, dingin. Dikejauhan terlihat uap embun yang terangkat, mirim fatamorgana di atas jalan aspal yang panas. Perlahan, kulihat teman-teman seperjuangan menderap dengan teriakan-teriakan. Kepalan tangan juga terlihat meninju-ninju ke udara. Yah, mereka memang teman-temanku, tanpa pikir panjang dalam, aku bergabung dengan mereka. Tanganku mengepal, meninjui langit, sembari mengumpat-ngumpat dengan sepenuh amarah. Lalu, dari jauh Rani tertangkap mata. Ia juga mendekat.

Tiba-tiba teman-temanku menguap satu demi satu, hanya tersisa celana, rok, kaos, ikat kepala, batu-batu, telur busuk, arloji, anting, cincin, kalung dan meninggalkannya semua berserak di jalanan. Sementara itu, Rani semakin dekat, sangat dekat, hingga Ia berhenti tepat di depanku. Pelan-pelan, ia menangis kecil, sangat sederhana, ia kelihatan sangat cantik, begitu manis. Ia tak pernah terlihat secantik itu sebelumnya. Ia membawa sekeranjang bunga warna-warni, entahlah untuk apa ia membawa bunga padaku. Ia sangat tahu, aku, sama sekali tak menyukai bunga. Sama sekali tak menyukai wewangian apalagi bunga. Tapi bunga yang dibawa Rani menyerbakkan ketenangan. Hingga mataku berpejam khusuk menikmati aroma wewangian itu.  Wangi itu seperti mengantarku pada dunia yang sama sekali belum kuketahui. Tapi, tak kurasakan keasingan, tak kurasakan keterasingan. Mungkin aku sedang bermimpi. Aku seperti tertidur, aku seperti bermimpi, tapi aku sepenuhnya menyadari sedang tertidur dan sedang bermimpi.

Dalam pejam itu, aku merindukan hujan untuk pertama kali. Dan aku mengerti perihal rindu yang dimaksudkan Cak.Ipul. Yah, rindu pada hujan, bukan rindu karena hujan. Lalu, suara isak Rani memaksaku membuka mata pelan-pelan, sejenak waktu melenyap, kosong, benar-benar kosong. Kupejamkan mata lagi pelan-pelan, dan setelah itu Rani menaburkan bunga ke wajahku.

 

Di sekitar tahun yang keruh

: Jember 2011

 

 

 

 

Halim Bahriz

Lahir di Lumajang-Jawa Timur pada 1989. Kedekatan dengan dunia seni diawali dari kegemaran melukis meski kemudian agak ditinggalkan. Keseharian bersama UKM Kesenian UNEJ mengepingi aktifitas seninya. Selain puisi dan fotografi, ia menyukai teater dengan menulis naskah drama dan sesekali memproduksi pementasan. Pada November 2010 berpartisipasi dalam acara ‘Tribute To Rendra’dengan mementaskan reportoar PENJARA-PENJARA: Perlakuan yang Tak Semestinya di Taman Budaya Jawa Timur bersama para penggiat teater lintas komunitas kampus UNEJ. Naskah PENJARA-PENJARA: Perlakuan yang Tak Semestinya Sempat memenangi sayembara penulisan kreatif sastra mahasiswa tingkat Jawa Timur (2010) dan Naskahnya yang lain, ‘KEMATIAN’ terpilih sebagai nominasi naskah terbaik Sayembara penulisan naskah drama (FTI) Federasi Teater Indonesia (2011). Saat ini sedang mempersiapkan antologi puisi pertamanya ‘Punggung Dada (PD)’ dan membikin keseharian baru dengan Kelompok Belajar ‘TIKUNGAN :Tak Harus Lurus.