Puisi Agung Triatmoko
Aku pernah membuat sebuah kotak tanpa ukiran dan tanpa kaca, agar tak nampak istimewa dan timbul alasan untuk diperebutkan.
Bagian dalam kotak aku buat nyaman dengan lapisan karpet merah jambu yang aku pintal sendiri, bahannya aku ambil dari benang-benang yang lembut namun kuat, yang aku kumpulkan dari hari-hari aku merayu semesta.
Di kotak itu……
Aku letakkan setangkai kembang liar yang aku petik dari kerumunan duri dan auman serigala-serigala garang.
Pelahan aku letakkan kembang liar di pembaringan kotak, aku selimuti tubuhnya dengan do’a, aku terangi ruang kotak dengan puisi-puisi, dan aku hembuskan kesejukan dengan harapan.
Di kotak itu……
Aku sematkan sebuah nama…….. namamu.
Aku tak pernah pergi tanpa kotak itu.
Sesekali, aku letakkan kotak itu di tepi pantai, agar sang kembang liar pandai menirukan gemulai ombak yang sering membuatku terpesona.
Sesekali, aku letakkan kotak itu di tepi riuhnya jalanan, agar sang kembang liar menjadi cerdas dan tangguh seperti angin dan debu.
Sesekali, aku letakkan kotak itu di puncak gunung tandus, agar sang kembang liar mampu memandang dunia dengan tatapan pasti.
Sesekali, aku letakkan kotak itu disampingku berbaring, agar dapat kuhirup aroma wanginya.
Suatu hari, sesaat setelah seribu kepenatan mulai hendak beranjak pergi, saat kerinduan akan aromanya memuncak, kucoba membuka kotak itu, namun tak kutemukan lagi kembang liar di dalamnya, yang tertinggal hanya sisa aroma yang mengabarkan sebuah kepergian.
Kini kotak itu tak berpenghuni, tak akan pernah lagi mengabarkan harapan, kapan dapat kugenggam tangkainya yang lembut, sembari kuhirup aromanya.

Ya sudah…, aku simpan saja kotak ini untuk menyimpan bulir demi bulir
air mata yang membatu. Lantas kutulis sebait puisi di dinding luarnya, “Terimakasih kembang, aroma rindumu yang kemarin dulu masih aku simpan jauh di dalam hati”.
Related articles
- Beautiful In White (shineexoworld.wordpress.com)
- Puisi Ramadan (eriksanderblog.wordpress.com)