pantai singkawang

Pasir Panjang

Cerpen Weny Widianti

pantai singkawang
ilustrasi dari univpancasila.ac.id
Berdiri di Pasir Panjang memang mengasyikkan. Sekedar untuk menantang angin laut yang berhembus, menerbangkan helai-helai rambut dan mengobrak-abriknya dengan sukses. Cukup membuat mata pedas dan mengeluarkan air. Atau bermain dengan ombak Selat Karimata yang berbuih pelan. Desirannya mengalun lembut merasuki jiwa. Dasar laut yang beriak tergulung laju ombak, begitu juga pasir putih yang terhampar luas di tepian pantai. Ada banyak goresan pasang surut laut di sana. Jika diperhatikan butiran-butirannya yang halus seakan terikat satu sama lain oleh asinnya air laut.
Sigit sedang berdiri di sana, menghadap matahari yang pelan-pelan sedang turun ke peraduannya di ufuk barat. Setiap hari Sigit melakukan ini. Sejak menginjakkan kaki di Singkawang, melepas kepergian matahari merupakan kegiatan favoritnya seolah-olah dia sedang melaporkan diri bahwa kehidupannya hari ini telah bergulir. Tiap kali Sigit datang ke Pasir Panjang, dia akan berdiri berlama-lama menatap sinar matahari. Dia akan merentangkan tangannya lebar-lebar sambil memejamkan mata. Dia tak peduli pada orang lain yang membicarakan tingkah anehnya dengan berbisik-bisik. Bisa juga dia berjalan menyusuri Pasir Panjang sementara kakinya mempermainkan air. Terkadang dia duduk, tangannya meraup-raup pasir dan berusaha membuat gunungan tak jelas. Barangkali dia ingin meniru gaya orang bule yang membuat istana pasir, tapi yang terjadi malah gundukan rumah keong yang abstrak. Sigit selalu menertawakan hasil karyanya itu.
Banyak orang hilir mudik di Pasir Panjang. Sepasang kekasih yang bergandengan tangan atau berpelukan mesra menjadi pemandangan yang biasa. Anak-anak kecil hingga remaja berlarian seraya berteriak-teriak. Suara lantang mereka mengalahkan suara ombak. Para orangtua yang mengajak anak-anak mereka jalan-jalan tampak sibuk mengawasi buah hati mereka yang sedang bermain pasir. Sesekali terdengar teriakan seru mereka ketika menemukan keong, siput atau kepiting di antara lubang-lubang kecil di pasir.
Sigit tidak peduli. Bila dia memperhatikan semua orang yang bertingkah segala rupa itu, dia akan teringat rumahnya di Tuban, sebuah kota kecil di pesisir pantai utara Jawa. Pemandangannya tak jauh beda dengan Singkawang. Sepanjang jalan yang akan ditemukan adalah laut. Melihat para orangtua dan putra putrinya, dia teringat pada kedua orangtua dan adik-adiknya. Sigit terpaksa meninggalkan mereka untuk merantau di Singkawang, bertugas demi negara. Konsekuensi menjadi pegawai negeri sipil adalah demikian, mesti bersedia berpisah dengan keluarga untuk ditempatkan di seluruh wilayah negara Indonesia. Tidak mudah memang. Berkali-kali Sigit menahan tangisnya agar tidak pecah sebab menahan rindu pada orang-orang di kampung halamannya.
“ Mas Sigit, kapan pulang?,” tanya Dika, adiknya yang paling kecil, pada waktu Sigit menelpon ke rumah.
“ Nanti kalau lebaran, Mas Sigit pulang ke rumah,” jawab Sigit lembut.
“ Bagaimana pekerjaanmu disana?,” tanya bapaknya.
“ Lancar, Bapak. Alhamdulillah tidak ada halangan.”
“ Kamu tidak mengajukan pindah kemari, Git?” kata ibunya.
Sigit tersenyum pahit. “ Ibu tahu aku ingin sekali, tapi masih belum bisa. Aku belum ada lima tahun kerja di sini.”
Hm, bisa dimaklumi seandainya pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu dihujamkan pada Sigit. Bekerja di tanah perantauan dan jauh dari keluarga, yang ada dalam kepala adalah pertanyaan “kapan Sigit pulang?”
Bicara mengenai teman, Sigit sempat mengalami sindrom friendness. Itu hanyalah sebutan fiktif untuk kerinduan kepada kawan-kawan lamanya di Tuban. Melihat remaja-remaja bergerombol, berteriak-teriak dan tertawa lepas, membuat penyakit friendness-nya kambuh. Dulu saat usianya masih belasan tahun, dia selalu turun ke pantai bersama teman-temannya di setiap hari Minggu. Dia akan menghabiskan waktu berlama-lama berkecipak dengan air laut pantai utara Jawa. Konyolnya, mereka tidak akan pulang sebelum baju dan celana mereka basah kuyub.
Sigit ingat betul bagaimana kehebohan yang terjadi gara-gara Heri, salah satu teman karibnya, kehabisan napas karena hampir saja ditenggelamkan oleh Sigit, Hamdan, Budi dan Tono. Di antara mereka berlima, hanya Heri yang tidak bisa berenang.
Pada hari itu, mereka beruntung mendapat pinjaman sampan dari nelayan yang berdomisili sekitar pantai.
“Aku tidak mau ikut,” kata Heri. Dia kelihatan ketakutan.
“Kenapa?” tanya Budi.
“Kalau tenggelam bagaimana?” kata Heri.
“Tidak akan tenggelam,” sahut Tono.
“Aku tidak bisa berenang.” Heri benar-benar gemetar.
“Tenang! Kalau perahunya terbalik dan tenggelam, kami kan bisa berenang,” kata Sigit.
“Sudahlah, Her, ayo ikut! Kau mau ketinggalan pengalaman mengasyikkan bersama kami?” desak Tono.
Heri akhirnya menurut. Wajahnya pucat pasi. Ketika Tono dan Budi mulai mendayung dan mengarahkan sampan ke tengah lautan, tangan Heri berpegangan kuat pada sisi sampan dan mulutnya komat-kamit tiada henti. Tiap sampan bergetar terkena laju ombak, dia yang pertama kali berteriak keras. Mengetahui kepanikan Heri yang sedemikian rupa, semangat jahil Hamdan timbul. Tiba-tiba saja dia menggoyang-goyangkan sampan dan berteriak,” Ada ikan hiu menyerang kita!”
Sigit, Tono dan Budi tahu bahwa itu konyol. Mereka sedang berada di pantai utara Jawa, bukan di Samudra Pasifik, dan di kedalaman beberapa meter tidak mungkin ada hiu berkeliaran, tapi Heri termakan gurauan Hamdan. Emosinya benar-benar tidak bisa dikendalikan.
“Hiu? Ada hiu? Bagaimana ini?” teriaknya. Dia sudah melakukan gerakan jongkok berdiri. Seandainya sampan ini tidak kecil, mungkin dia juga melakukan salto dan jungkir balik.
“Heri, tenanglah!” kata Sigit. Dia, Tono dan Budi berusaha tidak tertawa, sementara Hamdan terus membuat sampan kami bergoyang bahkan semakin kencang.
“ Bagaimana bisa tenang? Keselamatan kita terancam!” teriak Heri.
Hamdan mendoyongkan sampan ke kiri, membuat Heri oleng dan tercebur ke laut. Heri berteriak keras,”Tolong! Tolong aku!” Tangannya menggapai-gapai permukaan laut.
Bodohnya, saking tertegun dan ingin tertawa, Sigit dan yang lain hanya menonton dari tepi sampan. Senyum mereka lenyap ketika Heri beserta tangannya menghilang dari permukaan. Buru-buru Hamdan menceburkan diri ke laut untuk menolongnya. Sesampainya di pantai, mereka segera melarikan Heri ke rumah sakit yang letaknya tak seberapa jauh. Jelas mereka takut terjadi sesuatu yang fatal terhadap Heri sebab menurut Hamdan tadi, Heri sempat tak bernapas. Syukurlah, Heri selamat. Dia hanya kehabisan napas dan banyak minum air laut. Dalam sekejab dia sudah diperbolehkan pulang dan keesokan harinya dia sudah badung lagi seakan-akan peristiwa kemarin tak pernah terjadi padanya.
Sigit tersenyum geli mengingat kejadian itu. Seandainya kala itu nyawa Heri tidak terselamatkan, barangkali beritanya akan masuk ke surat kabar dengan judul besar-besar “Seorang Bocah Tenggelam Karena Takut Hiu” dan foto mayat Heri terpampang di sana.
Yah, home sweet home. Sesukses apapun pekerjaannya di Singkawang, Sigit tetap merasa hidup di rumah sendiri lebih nyaman meskipun penuh dengan semak berduri. Untuk mengatasi kesendiriannya, Sigit pergi ke Taman Bougenville, sekedar berkumpul dengan teman-teman kantor dan kenalannya sembari duduk mengopi. Letaknya yang di atas bukit sehingga memudahkan kita menatap sekeliling. Jika malam tiba, kota Singkawang terlihat seolah dipenuhi kunang-kunang. Lampu-lampu rumah dan jalan berkelap-kelip warna-warni. Mobil dan motor yang melintas tampak seperti titik cahaya kecil yang bergerak. Pemandangan yang luar biasa. Bandingannya adalah Kecamatan Grabagan di Tuban. Sepanjang yang dilihat adalah gundukan-gundukan batu kapur, jalan yang berkelok dan naik turun, serta tanah merah nan subur. Dari atas bukit kapurnya, kita bisa melihat hijaunya sawah dan padatnya rumah-rumah penduduk. Sungai Bengawan Solo, sungai yang terkenal karena dijadikan judul lagu itu pun, tampak meliuk membelah Kecamatan Rengel, Plumpang dan Widang. Kalau musim penghujan tiba, kita bisa menyaksikan sang bengawan legendaris itu murka hingga memuntahkan airnya ke daratan.
Suara burung-burung terdengar berkoak-koak memecah langit senja Pasir Panjang. Menjelang matahari terbenam, Pasir Panjang dipenuhi manusia berbagai rupa, sedangkan angkasa dipenuhi oleh burung berbagai jenis. Tak dapat dikenali satu per satu. Mungkin ada camar, walet atau bahkan elang. Mereka keluar masuk Pulau Lemukutan. Pulau kecil yang berada di selatan Pasir Panjang itu adalah surga bagi segala jenis burung liar yang menggantungkan nasib dari laut Pasir Panjang. Disanalah burung-burung itu berlabuh dan menghabiskan malam setelah seharian mengais makanan.
Langit sudah berpendar merah, memantulkan sinar matahari menembus awan-awan tipis yang bergerak. Tidak semua momen yang terjadi di pantai adalah momen yang menyenangkan untuk dikenang. Sigit pernah menghabiskan senja terburuk dalam hidupnya di pantai utara Jawa Tuban. Ironisnya, bersama Rini, perempuan yang berhasil menggetarkan hatinya. Secara fisik, Rini tidak cantik. Dari postur dan bentuk tubuh, Rini tidak ada apa-apanya. Dia juga tidak sehalus dan secerdas putri keraton. Yang jelas Sigit mencintainya. Sepengetahuan Sigit, Rini pun demikian. Tidak mungkin dia tidak mencintai Sigit bila dia rela menjalin cinta jarak jauh dengan Sigit. Barangkali kesabaran dan kesetiaan Rini lah yang membuat Sigit tak sampai hati mengkhianatinya. Namun, sore itu merupakan malapetaka terdahsyat bagi Sigit ketika kalimat “Aku ingin mengakhiri hubungan kita” keluar dari mulut Rini.
Sigit terpaku di tempatnya. Wangi dupa dari Klenteng Kwan Sing Bio yang terletak di depan pantai utara Jawa Tuban menyusup ke hidung Sigit. Angin laut menerpa tubuhnya, membuatnya terhuyung miring. Salahkah pendengarannya?
“Rini, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan?” kata Sigit.
Rini menitikkan air mata. “Aku minta maaf, Sigit. Aku tidak sanggup melanjutkan hubungan kita. Terlalu sulit dan banyak godaan.”
“Tapi selama ini kita baik-baik saja.”
“Aku berbohong. Sudah lama aku tidak nyaman dengan keadaan kita. Aku tidak bisa bersikap tidak ada apa-apa. Aku tidak mau menyembunyikannya lagi.”
Sigit terdiam.
“Aku minta maaf, Sigit. Maafkan aku.”
Sigit menghembuskan napas panjang. Mengingatnya membuat hatinya sakit. Sekuat mungkin dia berusaha menghapus pita-pita rekaman pahit itu dari kepalanya. Terlalu menyakitkan untuk disimpan. Dia tidak sanggup. Hidupnya sudah cukup menyedihkan untuk ditambah dengan hal-hal melankolis macam itu.
Perlu waktu untuk menyembuhkan luka-luka yang menggores ulu hatinya. Bahkan ketika perempuan-perempuan Singkawang datang silih berganti, menjejali ruang di hati Sigit yang telah penuh, dia masih belum bisa melupakan Rini seutuhnya. Padahal tak sedikit tangis dan air mata mereka yang tumpah di dada Sigit. Tak sedikit pula tawa riang dan senyum manis mereka mengembang di pelupuk mata Sigit yang kering. Ada Mona dan Adies yang berwajah oriental khas Singkawang; juga Rachel, gadis keturunan suku Dayak secantik Natalie Sarah; atau Sutra, gadis asal Rembang, Jawa Tengah yang kemudian pulang kampung karena menikah dengan tetangganya sendiri.
Matahari sudah benar-benar tenggelam. Bulan tampak mengintip dari balik tirai langit. Kehadirannya menyambut malam, memberi salam penghormatan pada matahari yang bersiap menutup lembaran siang hari ini.
“Ayah…”
Seorang gadis cilik berusia empat tahun teriak sembari berlari kecil. Bocah laki-laki berjalan di belakangnya, tertatih-tatih mengatasi kaki kecilnya yang terjerembab dalam pasir putih. Seorang wanita muda berjilbab mengawasi bocah laki-laki itu dengan sabar dan sesekali menggandeng tangannya.
“Ayah,…,” gadis kecil itu berteriak lagi. Rambutnya yang ikal dan dikuncir kuda berlarian mengikuti langkah kaki kecilnya menapaki Pasir Panjang, kemudian dia memeluk kaki Sigit. Dengan gembira Sigit meraihnya, menggendongnya dan menciumi kedua belah pipinya yang gemuk. Gadis cilik itu adalah Nabila, sedangkan bocah laki-laki itu adalah Nail. Mereka adalah anak pertama dan kedua Sigit dari pernikahannya dengan Mia, wanita asal Tuban, sama seperti dirinya.
Mia menggendong Nail sambil berdendang, menyusul Sigit dan Nabila. “Sudah selesai, Ayah?” tanya Mia.
Sigit mengangguk. Dia kembali menatap langit Pasir Panjang. Dulu dia menghabiskan waktu di pantai ini sendirian. Kini setelah sepuluh tahun berlalu sejak kedatangannya di Singkawang untuk pertama kalinya, dia berdiri menghadap matahari bersama Mia, Nabila dan Nail, bersama keluarga yang dia bangun di Singkawang.
Ini adalah terakhir kalinya mereka melakukan ritual kepada matahari Pasir Panjang sebab besok si burung besi Garuda akan mengantarkan mereka pulang keharibaan tanah kelahiran Sigit dan Mia di Tuban. Sigit pindah tugas di Jawa, akhirnya. Impiannya berkumpul dengan keluarganya terwujud. Meskipun dia akan berdinas di Madiun, setidaknya jarak yang ditempuh untuk bersilaturahmi dengan keluarga di Tuban tidaklah sejauh di Singkawang.
“Beri salam pada Pasir Panjang, Nabila, Nail. Besok kita tidak bertemu dengannya lagi,” kata Sigit.
Nabila dan Nail melambaikan tangan kecil mereka dengan semangat sembari berseru,” Dah…”
Sigit, Mia, Nabila dan Nail berjalan memunggungi Pasir Panjang, meninggalkan segala kenangan manis yang terpatri dalam setiap butiran pasirnya. Singkawang tinggal kenangan. Pasir Panjang akan selalu diingat. Pulau Lemukutan tetap menjadi tempat singgah. Taman Bougenville tetap indah dan ramai. Para gadis berwajah oriental masih ditemui di setiap sudut kota Singkawang.
“Selamat tinggal, Singkawang. Aku pulang,” batin Sigit. Untuk kesekian kalinya, dia menoleh ke Pasir Panjang.

Penulis tinggal di Tuban

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s