Puisi Ragil Koentjorodjati
puisi ini semestinya aku juduli apa.
Ketika bahasa kita bahasa diam,
polahku tibatiba begitu payah,
mimik rumit,
berkelindan dengan keringat yang datang tidak pada waktunya,
lalu gerhana yang seharusnya tiba setelah purnama,
sempurna lelap menutup bola mataku.
Aku melakukan halhal yang tak kauharapkan,
dan kamu mengucap katakata yang tak kauinginkan,
di ujung malam yang akut,
kita mendengar lebih keras lolong sakit hati
Kapankah?
bibir kita menyungging senyum yang sama,
tanpa pretensi.
mungkinkah?
:Kata pretensi itu semakin membuatku patah hati,
melenting liar dan menggoyang harapan yang telah lelah menggantung di embun subuh dini hari,
sisa gerhana semalam.
Saat, entah setan mana yang menarik lidahku mengucap aku menyayangimu tetapi aku tidak tahu bagaimana menyayangimu.
Entah,
puisi ini semestinya aku juduli apa.
Saat dedaun berkisah tentang rindu,
yang lebih sering dan tidak jarang menggelepar di ujung senar gitar,
Terpahami tanpa pretensi.
:sungguh, kata pretensi ini merusak semua kata rindu.
Tolong, jangan hanya diam.
2 Desember 2011