agama cinta

Overdosis Beragama

Gerundelan Hendi Jo

agama cinta
Mahatma Gandhi, gambar diunduh dari Kaskus

New Delhi, 30 Januari 1948. Hari baru saja memasuki malam. Seorang lelaki tegap bemata tajam memasuki Gedung Birla. Sejenak ia terdiam dan beberapa detik kemudian dengan langkah santai menuju seorang renta yang tengah berdoa. Sambil sedikit membungkuk, tangan kanannya yang menggengam sepucuk Baretta lantas diacungkan ke tubuh ringkih nan kurus tersebut. Tiga kali senjata semi otomatis itu menyalak. Dan dunia kemudian kehilangan seorang humanis besar bernama Mahatma Gandhi.
Godse Nathuram, sang eksekutor tersebut bukan seorang penjahat kambuhan. Alih-alih dikenal sebagai pendosa, ia kadung dikenal sebagai seorang Hindu yang sangat “saleh”: rajin pergi ke kuil dan aktif di Mahasabha Hindu, sebuah organisasi nasionalis Hindu yang selalu memilih jalan berlawanan dengan Liga Muslim pimpinan Ali Jinnah. Rupanya Godse kecewa dengan Gandhi. Ia menilai tokoh Hindu India itu memiliki sikap lemah sehingga menjadikan orang-orang Islam memisahkan diri dan membentuk Pakistan.
Empat puluh tujuh tahun kemudian hal yang sama dialami oleh Yitzhak Rabin. Perdana Menteri Israel yang memilih jalan kompromis dengan Palestina itu pun harus tewas dengan cara dan motif yang sama di tangan kaum ekstrimis agama. Yigal Amir, sang pembunuh mengaku marah kepada Rabin yang ia nilai “tidak peka terhadap harga diri orang Yahudi dengan meretas jalan damai dengan kaum goyim (orang luar Yahudi yang memiliki derajat rendah)”.
Ada rasa arogan dan paling benar sendiri dalam gaya beragama seperti Godse dan Yigal ini. Mereka seolah lupa, jalan kekerasan tak akan pernah menemui jalan keluar. Ia hanya akan menjadi sejenis cul de sac yang berapi-api dan alih-alih berakhir sentosa malah akan membakar dirinya sendiri. Bahkan bukan hanya dirinya sendiri, orang-orang yang tak berdosa dan tak memiliki keterkaitan apapun ikut menjadi korban termasuk para bocah dan tua renta.
Inilah yang disebut Erich Fromm sebagai gaya beragama yang otoriter (authoritarian religion). Biasanya gaya beragama seperti ini hanya akan bermuara kepada kekerasan dan kekerasan semata. Tak ada damai dan saling hormat. Para penganutnya selalu mengapreasiasi dirinya tak lebih sebagai para serdadu tuhan. Tuhan yang mana? Kita tak pernah bisa memastikan itu.
Dr. Yusuf Qadharawi, seorang pemikir Islam dari kalangan Ikhwanul Muslimin pernah menyebut sikap ini sebagai sikap ghuluw (berlebihan) alias overdosis beragama. Menurut ulama asal Mesir itu, sikap ghuluw akan selalu berkelindan dengan sikap-sikap negatif lainnya seperti tanatthu’ (arogan secara intelektual) dan tasydid (mempersulit).
“Semua sikap itu tentunya sangat dikecam dalam Islam,”tulis Qadharawi dalam Islam Ekstrem. Di Sorbone, seorang pemikir Islam sekelas Mohammad Arkoun bahkan menyebut ekstremisme adalah perubah puisi Islam dari sesuatu yang ekspresif menjadi sebuah ideologi yang formalistik serta elitis.
Sikap ghuluw di setiap agama memiliki sikap universal: pro terhadap kekerasan dan meyakini diri sebagai “yang terbenar”. Mereka merasa apa yang diyakininya merupakan jalan terbaik buat dunia. Anehnya, realitas ambigu justru terpapar di antara orang-orang ini dengan saling mengakbarkan permusuhan abadi. Hingga rasanya tidak salah jika saya meyakini: pusat konflik dunia sebenarnya terletak di orang-orang ekstrem ini. Sungguh, di antara kita sebenarnya tak memiliki masalah. “Perang agama” yang terjadi hari ini tak lebih perang antara mereka: kaum ekstremis vs kaum ekstremis, bukan agama vs agama.(hendijo)

Beri Tanggapan