AJISAKA
Bapak moyang saya seperti ayat
Dicatat pagi jadi sesayat mata mayat
Menatap kosong angkasa, kemukus
Melintas sekejap, saya tersadar
Sebentar pikiran saya akan berkisar
Pada sebelas bintang rasi dan arah angin
Jadi pedoman para pelaut pemburu paus
‘Lemparkan mata tombak itu, cepat!’
Tapi saya ganti lihat kilasan yang lain
Sebelum pecah perang paling keji
Tanpa musuh, cuma virus buatan berbiak
Menyantap habis neuron di otak
Dalam ruang kemudi pesawat antariksa
Terakhir saya tatap stratosfer planet biru
Saya mesti pergi menuju pusat paling sunyi
Ke inti Bima Sakti, menyingkap teka-teki
Sejarah 200.000 tahun para dewa bintang
Pembiak bibit genetik para pemburu binatang
Sebelum seorang perawi pelan terhisak
Mencatat laung kisah peradaban yang hilang
Pada tabula berkilat darah di ujung duri landak
Bandarlampung, 20 Mei 2013
THE NEW LEMURIA
Jalan-jalannya terbuat dari wangi bunga.
Setiap orang bebas memilih harumnya,
dan tak ada orang akan bilang: ‘Dusta!’
Gedung-gedungnya beratap tawa canda.
Seluruh terminal, stasiun, dan bandara
dibangun dari tepung kerang-suka-cita.
Setiap rumah semata pintu yang terbuka.
Jendelanya sepoi angin di daun angsana.
Halamannya tak lain jiwa-jiwa merdeka.
Warganya bebas memilih kertas atau palu
sesuka mereka. Tak ada tuan atau hamba.
Di sana senyum tulus adalah bahasa utama.
Para bocah selalu berbinar saat membaca,
tapi hati mereka bebas bermain di angkasa,
melayang bersama kakatua dan elang raja.
Kebahagiaan adalah hukum pertama. Musik,
tarian, dan pantun itulah samadi mereka.
Misteri adalah cahaya lilin beraneka warna.
Kini, aku tak mungkin pulang ke kotaku,
karena mimpinya tengah berlayar ke hatimu.