
Desa Gubuk Klakah yang makmur dengan masyarakatnya yang ramah adalah potret desa di perbukitan, berudara sejuk dengan pemandangan alamnya yang indah. Desa ini terletak di lereng bukit dengan udara sejuk dengan kemiringan tanah cukup serta memiliki kesuburan tanah yang tinggi, sangat cocok untuk ditanami buah “apel Malang” yang rasanya manis-masam. Desa ini diapit perbukitan hijau lereng gunung Semeru. Desa Gubuk Klakah ini tidak terlalu jauh dari kecamatan Tumpang, kabupaten Malang. Dari desa ini kita dapat menuju ke kawasan wisata gunung Bromo melewati sisi Timur gunung. Menurut beberapa wisatawan, pemandangan alam ke gunung Bromo melewati jalur ini jauh lebih indah, kita akan menjumpai pepohonan rindang dengan suara-suara burung hutan yang saling bersautan merdu. Dari desa Gubuk Klakah itu kita ke akan ketemu desa Ngadas, kemudian diteruskan dengan menuruni jalanan di pinggiran tebing sampai akhirnya bertemu lautan pasir gunung Bromo.
Kembali ke event ini, adalah seorang Takim, pegiat seni Bantengan yang juga ketua Padepokan Galogo Djati, pada event Gebyak Bantengan Mahandhaka Semeru 2012 ini, ia ditugasi sebagai koordinator Bantengan Wilayah Timur. Lelaki ganteng berjanggut, berkacamata minus dengan gubatan ikat kepala khas suku Tengger, menjelaskan kepada penulis “Saya masih belajar dengan event ini, mas” katanya merendah “… semoga tahun depan akan lebih baik sehingga dapat menjadi agenda tetap pariwisata kabupaten Malang” tambahnya berharap.
Gebyak Bantengan Mahandhaka Semeru 2012 diikuti group-group Bantengan berkwalitas baik. Mereka hadir dari wilayah Timur, maksudnya dari wilayah Kabupaten Malang sebelah Timur. Kalau ada group tamu yang ikut nimbrung di acara tersebut adalah Group Bantengan dari kota Batu yang dipimpin oleh mas Agus Tobron. Group Bantengan yang ikut pada acara “Gebyak Bantengan Mahandhaka Semereu 2012” antara lain: Group Bantengan “Giras” dari Poncokusumo, “Singo Barong” dari Gubuk Klakah, “Maeso Lawong” dari Wringinanom, “Bromo Kembar” dari Pakis, “Lembu Gumarang” dari Petung Sewu dll.
Ada hal menarik dalam gebyak ini yakni para pemain Bantengan-nya yang rata-rata ber-usia muda. Mungkin dikarenakan jenis permainan ini memerlukan olah fisik dan stamina yang cukup prima. Bayangkan saja seorang pemain Bantengan mesti kuat mengangkat kepala banteng yang besar dan terbuat dari kayu berjenis keras. Kepala bantengan itu masih harus dimainkan (ditarikan) sambil lari ke sana dan kemari mengejar para penggodanya. Di sisi lain kita dapat melihat para pemain Bantengan yang tengah kerasukan roh (trance), dalam ketidak sadarannya tetap saja mereka menari hingga bermandikan keringat dan nafas terengah-engah.
Kemudian kalau mau disampaikan kritik pasti diseputar masuknya budaya modern (barat) ke dalam seni tradisional. Perhatikan saja uniform pemain yang rata-rata anak muda, mereka ikut bermain di acara tradisonal (Bantengan) dengan memakai kaos oblong bertulis jargon-jargon budaya pop (lihat foto). Kondisi begini tentu perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, bukan untuk melarang atau mengijinkan, tapi lebih jauh lagi adalah untuk dijadikan bahan kajian budaya menyoal pada perkembangan seni-budaya dalam masyarakat post tradisional.
Meyakini kesenian Bantengan akhir-akhir ini sangat populer di masyarakat Malang Raya, maka rasanya sudah diperlukan sebuah “strategi budaya” yang disusun dan disepakati bersama oleh berbagai pihak, agar kesenian yang tumbuh akan semakin berkembang secara mantap. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat menjadi motor penggerak yang cukup siknifikan bersama-sama para budayawan, pelaku seni , lembaga kesenian, media, journalis, sejarawan dan masyarakat. Semoga!
Malang, 8 oktober 2012
ditulis oleh: AW/IDD