Puisi Wong Karang

1. Maya, Bukan Penyamun
Di tebing tahun ini legenda kata menyerut nyali kidung kidung debu suci penyair.
Pijahan kata menguak mata jendela yang mungkin di setiap sirat terlafal sarat mengaramkan rasa.
Secantik romannya mengemban santun di setiap gelaran naluri imajinasinya meraba, mengulum magma roh rabbani.
Gema disudut catatan sunyi hati, dendam kerinduan, terjal kasih berbara sarat menyapa asma asma pemabuk yang kehausan renungan tuk memercikan air suci di jiwanya.
Maya, tundukkanlah raut muka di setiap lengang parit hati pemuja, dendangkan lekuk ranting jari jari tangan di antara pelataran malam.
Teriakkan sekeras petir, bait bait relung dari dasar laut. Raih dan gelorakan jati diri yang tersembunyi dari sebuah sekian tanya. Dan sembunyikan yang seharusnya kaukaramkan di pijakkan telapak kaki.

Maya,,, pastikan di sana selalu berkata dan jawab sendiri…
Maya,,,

2. Hampar Malam
Sepanjang mata bercahaya temaram malam
Terdengar bisik kata atas hijau hamparan
Jemari tangan menjelajah menggetarkan rasa
Dada dingin tersaput embun memejam malam
Bibir bibir merah lumat berdecak
Saling menuang haus liur hitam

Bulan tertutup awan di sepanjang gairah
Rumput tergilas perhelatan
Sesaat, diam…
Sesaat, bergetar…
Cahaya lampu di sudut kejahuhan
Tenggelam dan padam
Hanya dentang suara hati
Tak ada janji suci
Tak ada kembali
Yang adanya tissu basah usap keringat
Pengganti lenyapnya dahaga
Pelampias cowong muka tua
Menghabiskan garis di larut hitam
Nafsu hitam…
Malam hitam…
Kesetiaan beradu samar cahaya bulan
Berlimut gerayang menguak sela airmata dosa

3. Cacing Tanah

cacing cacing tanah
hak terampas

tak ada hidup,
rumput rumput digilas

tak lagi tergali,
bajak membajak tanah

cacing cacing tanah
tertindas

Beri Tanggapan