Biasanya orang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk beragama. Hak asasi, begitu katanya. Kalau tidak percaya, lihat saja pasal 28I ayat 1 UUD’45, hak beragama merupakan salah satu hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Lalu bagaimana dengan hak untuk tidak beragama? Adakah pasal yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak untuk tidak beragama? Tidak ada pasal itu di UUD’45. Jika tidak ada di UUD’45, apakah kemudian itu sama artinya dengan bahwa “hak untuk tidak beragama” tidak ada?
Istilah “hak untuk tidak beragama” sama menariknya dengan ungkapan “hak untuk tidak memilih” dalam pemilu. Bedanya, “hak untuk tidak memilih” lebih populer karena hampir setiap tahun ada saja yang meneriakkan. Tentu saja setiap tahun, karena setiap tahun selalu ada yang menyelenggarakan pemilihan, entah legislatif maupun eksekutif. Namun, meski seringkali diteriakkan, “hak untuk tidak memilih” tetap tidak diakui baik secara de facto maupun de jure. Yang umum diterima adalah golput, golongan putih atau bisa juga golongan putus asa. Celakanya, golput justeru dianggap orang-orang di luar sistem, pengacau dan tidak bertanggung jawab atas keadaan. Memang terkadang lucu cara berpikir bangsa ini. Tersesat dengan pembodohan terus menerus.
Pertanyaan sederhana yang tidak pernah terselesaikan: Apakah salah jika orang tidak melaksanakan haknya? Supaya sangat mudah analoginya, bayangkan jika anda punya gaji kemudian gaji anda tidak diambil. Mendapat gaji adalah hak anda. Jika anda tidak merasa perlu untuk mengambil gaji, adakah yang melarang anda untuk tidak mengambil gaji. Anda senang, dan pemberi gaji anda juga senang karena uangnya tidak berkurang. Lalu masukkan analogi tersebut dengan hak untuk tidak memilih. Lebih jauh lagi, masukkan pada kontek hak untuk tidak beragama. Tidak ada yang dirugikan kan dengan tidak dilaksanakannya hak untuk tidak beragama?
Lain lagi ceritanya menurut orang hukum. Kalau yang dianut adalah hukum positif maka sepanjang suatu tindakan tidak diatur dalam suatu ketentuan, maka itu tindakan tersebut bukan suatu pelanggaran. Jadi, jika tidak ada pasal yang mengatur “hak untuk tidak beragama” sebagaimana diulas pada alinea pertama di atas, maka jika ada orang yang tidak beragama, itu bukan suatu pelanggaran. Akan menjadi pelanggaran jika disebutkan dengan jelas dalam suatu pasal, misalnya setiap warga Negara wajib beragama. Atau berbunyi: Setiap warga Negara dilarang untuk tidak beragama.
Saya tidak pandai hukum. Jadi boleh saja penjelasan tersebut diabaikan. Tidak kompeten. Saya lebih senang pada filsafat. Sehingga, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah apakah adanya pasal dalam UUD 45 itu lebih mengarahkan ke menjadi manusia Indonesia seutuhnya? Apakah UUD’45 sebagai hukum telah menempatkan manusia sebagai subyek atau hanya obyek semata? Menurut saya, meski sangat buram, dalam kasus hak beragama, Pasal 28I UUD’45 sudah menempatkan manusia sebagai subyek, artinya, manusia indonesia mempunyai pilihan bebas untuk beragama maupun tidak beragama. Sayangnya hak tersebut tidak dijamin oleh Negara jika mengacu pada Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, belenggu hak tersebut ditambah lagi dengan adanya istilah agama resmi yang diakui pemerintah, yang hanya mencakupi 6 Agama yang diakui. Sehingga berakibat pada manusia yang hanya menjadi obyek hukum, manusia hidup untuk hukum. Bukan sebaliknya, hukum ada untuk melayani manusia menjadi lebih manusiawi.
Memang terlalu jauh angan-angan untuk tidak beragama dinyatakan dalam hukum positif. Hal yang sudah nyata dalam pasal 29 ayat 2 saja masih banyak yang mengeluhkan. Masih banyak agama yang tidak diakui pemerintah dengan peraturan yang justru memandulkan Pasal 29 ayat 2 tersebut. Kebebasan beragama memang selalu menjadi persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika pemerintah justeru mengambil keuntungan dari keruwetan antar umat beragama, akan semakin jauh bangsa ini dari kebebasan yang cinta damai. Ingat! Kebebasan yang cinta damai, bukan kebebasan yang kebablasan!
Istilah “hak untuk tidak beragama” sama menariknya dengan ungkapan “hak untuk tidak memilih” dalam pemilu. Bedanya, “hak untuk tidak memilih” lebih populer karena hampir setiap tahun ada saja yang meneriakkan. Tentu saja setiap tahun, karena setiap tahun selalu ada yang menyelenggarakan pemilihan, entah legislatif maupun eksekutif. Namun, meski seringkali diteriakkan, “hak untuk tidak memilih” tetap tidak diakui baik secara de facto maupun de jure. Yang umum diterima adalah golput, golongan putih atau bisa juga golongan putus asa. Celakanya, golput justeru dianggap orang-orang di luar sistem, pengacau dan tidak bertanggung jawab atas keadaan. Memang terkadang lucu cara berpikir bangsa ini. Tersesat dengan pembodohan terus menerus.
Pertanyaan sederhana yang tidak pernah terselesaikan: Apakah salah jika orang tidak melaksanakan haknya? Supaya sangat mudah analoginya, bayangkan jika anda punya gaji kemudian gaji anda tidak diambil. Mendapat gaji adalah hak anda. Jika anda tidak merasa perlu untuk mengambil gaji, adakah yang melarang anda untuk tidak mengambil gaji. Anda senang, dan pemberi gaji anda juga senang karena uangnya tidak berkurang. Lalu masukkan analogi tersebut dengan hak untuk tidak memilih. Lebih jauh lagi, masukkan pada kontek hak untuk tidak beragama. Tidak ada yang dirugikan kan dengan tidak dilaksanakannya hak untuk tidak beragama?
Lain lagi ceritanya menurut orang hukum. Kalau yang dianut adalah hukum positif maka sepanjang suatu tindakan tidak diatur dalam suatu ketentuan, maka itu tindakan tersebut bukan suatu pelanggaran. Jadi, jika tidak ada pasal yang mengatur “hak untuk tidak beragama” sebagaimana diulas pada alinea pertama di atas, maka jika ada orang yang tidak beragama, itu bukan suatu pelanggaran. Akan menjadi pelanggaran jika disebutkan dengan jelas dalam suatu pasal, misalnya setiap warga Negara wajib beragama. Atau berbunyi: Setiap warga Negara dilarang untuk tidak beragama.
Saya tidak pandai hukum. Jadi boleh saja penjelasan tersebut diabaikan. Tidak kompeten. Saya lebih senang pada filsafat. Sehingga, pertanyaan yang menarik untuk diajukan adalah apakah adanya pasal dalam UUD 45 itu lebih mengarahkan ke menjadi manusia Indonesia seutuhnya? Apakah UUD’45 sebagai hukum telah menempatkan manusia sebagai subyek atau hanya obyek semata? Menurut saya, meski sangat buram, dalam kasus hak beragama, Pasal 28I UUD’45 sudah menempatkan manusia sebagai subyek, artinya, manusia indonesia mempunyai pilihan bebas untuk beragama maupun tidak beragama. Sayangnya hak tersebut tidak dijamin oleh Negara jika mengacu pada Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, belenggu hak tersebut ditambah lagi dengan adanya istilah agama resmi yang diakui pemerintah, yang hanya mencakupi 6 Agama yang diakui. Sehingga berakibat pada manusia yang hanya menjadi obyek hukum, manusia hidup untuk hukum. Bukan sebaliknya, hukum ada untuk melayani manusia menjadi lebih manusiawi.
Memang terlalu jauh angan-angan untuk tidak beragama dinyatakan dalam hukum positif. Hal yang sudah nyata dalam pasal 29 ayat 2 saja masih banyak yang mengeluhkan. Masih banyak agama yang tidak diakui pemerintah dengan peraturan yang justru memandulkan Pasal 29 ayat 2 tersebut. Kebebasan beragama memang selalu menjadi persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apalagi jika pemerintah justeru mengambil keuntungan dari keruwetan antar umat beragama, akan semakin jauh bangsa ini dari kebebasan yang cinta damai. Ingat! Kebebasan yang cinta damai, bukan kebebasan yang kebablasan!