musim

24 Posisi Matahari (1)

Kolom John Kuan

☉冬至

——— cacing tanah memilin; rusa bersalin tanduk; mata air menetes

Semangkuk ronde. Tiga warna. Merah dan hijau isi kacang tanah, putih isi kacang merah. Ada wangi jahe, kenyal ketan, gurih kacang. Sedikit pedas, hangatkan tubuh di hari hujan. Setelah semangkuk ronde, kekuatan [ yin ] perlahan pupus, alam akan kembali memasuki suasana [ yang ]. Di malam dingin sering teringat berbagai macam sup. Saya periksa dapur, ada sepotong labu, dipotong dadu campur irisan bawang bombai, rosemary, kulit kayu manis, garam dan sedikit minyak sayur, direbus perlahan dengan api kecil, tambah sedikit susu, saat disajikan di atas meja tambah lagi sesendok keju Mascarpone. Demikian sudah semangkuk kuah labu yang membawa suasana kuning emas musim panas. Atau siapkan seekor ikan mas, dilumuri garam Himalaya dan diamkan sebentar lalu digoreng hingga harum, masukkan air didih, setelah itu ikan bersama kuah dituangkan ke dalam sup tahu, biarkan mereka perlahan menyatu di atas api kecil, tambah arak, jahe, daun bawang, takaran sesuai kata hati, pindahkan ke dalam periuk sapo, mengitarinya di bawah cahaya lampu sudah suatu kebahagiaan.

Sup selain hangatkan tubuh juga hangatkan persaudaraan yang mungkin telah renggang, dingin, membeku, atau retak, basi, dan lapuk. Dengan semangkuk sup kita bisa saling mengalirkan sedikit sorotan mata hangat, tegur sapa akrab, merapatkan hati, mencairkan hubungan yang telah beku, atau mungkin hatimu mendadak bergetar karena nama kecilmu tiba-tiba dipanggil setelah dua tiga puluh tahun tidak pernah terdengar lagi. Begini ceritanya, suatu kali Du Fu dan sekeluarga dalam pelarian, setelah menderita beberapa hari di hutan, suatu malam sampai di tempat seorang kawan lamanya, Sun Zai. Cara Sun Zai menyambut penyair kita adalah terlebih dahulu menyiapkan semangkuk sup ——— [ Sup hangat menyusup hingga ke ujung kakiku ] demikian penyair mencatat, hangat yang menyebar dari telapak kaki ke seluruh tubuh itu, menghilangkan letih, menggetarkan hati puisi, selamanya dikenang penyair.

Semua sup selalu di malam dingin di bawah sebuah lampu mengepul uap panas, adalah sebuah tegur sapa lembut ribuan tahun, embun beku dan salju musim dingin tiga ribu tahun di bawah telapak kaki.

 

☉小寒

——— angsa liar mudik utara; kucica mulai bikin sarang; ayam hutan saling bersahut

Tertidur di dalam suara hujan. Saat bangun pagi cerah. Sekelompok pipit berkelakar di luar jendela, terbang berputar saling mengejar, dengan tepat dan serentak terbang ke segala arah menyelidik. Tiba-tiba mendarat di atas rumput di bawah pohon mencari makanan. Saya duduk hadap jendela memperhatikan mereka, memperhatikan mereka seperti beberapa waktu lalu di negeri lain. Juga suatu pagi yang cerah, seluruh pekarangan dan jalan telah tertutup salju, mereka juga dengan riang terbang dan saling mengejar, kadang-kadang juga berputar ke halaman belakang yang penuh bertaburan buah-buah apel yang jatuh di musim gugur, hari itu satu per satu mencuat setelah salju mulai mencair, pipit bergiliran mematuk, tidak sampai sehari sudah bersih. Langit amat benderang. Jendela tercetak pantulan matahari. Saya masuk ke ruang tengah, sesekali terdengar bunyi benturan keras, itu adalah pipit menabrak kaca jendela. Setelah mendengar satu benturan sangat keras, saya periksa ke depan, jendela telah menempel dua helai bulu abu-abu dan setetes darah, buka pintu keluar melihat, seekor burung jatuh di samping rumah, sayapnya bergerak sedikit, ternyata sudah mati.

Saya gali satu lobang kecil di bawah pohon pinus, angkat burung itu dengan sebuah sekop kecil, bersiap-siap menguburnya. Seorang anak lelaki tetangga berdiri di sisiku memperhatikan, ada semacam sedih atau iba di matanya. Dia berkata: [ Mata pipit sudah mengatup ] Lalu bertanya: [ Mengapa mesti menguburnya? ]

[ Ia sudah mati, sebaiknya memang dikubur ]

[ Lalu setelah dikubur? ]

[ Setelah dikubur? ] Saya berkata: [ Tahun depan dia akan terbang kembali ]

[ Oh ——— tahun depan pipit akan terbang kembali ]

 

☉大寒

——— induk ayam mengeram; elang lincah berburu; sungai beku ke dasar

Sebelum gelap mesti periksa pemanas. Satu musim dingin itu saya hampir lewati sendiri di Brooklyn. Pemanas sering tidak berfungsi, tetapi malam itu pemanas bekerja sempurna, seluruh ruangan ada semacam bau kain disetrika. Duduk membaca, setumpuk koran golongan kiri, setumpuk golongan kanan, saya terbakar sendiri digosok ke dua tumpuk kertas dingin itu. Menjelang dinihari, salju turun lagi.

Waktu itu saya sedang menyelesaikan sebuah tulisan, sebentar tulis sebentar edit, setiap malam, dari meja tulis melihat ke luar, melihat salju turun lagi, gelisah dan putus asa ——— namun pemandangan salju di malam hening sesungguhnya sangat memukau, kadang berdiri di depan jendela menatap, agak lama, setelah merasa seluruh ruangan seolah dingin kembali, baru bergegas ke arah pemanas memeriksa, kemudian membenamkan kepala ke dalam tumpukan kertas lagi. Sering tidur terlambat, bangun juga terlambat, tetapi tidak begitu peduli, saya seperti terperangkap di dalam suatu kurun waktu yang sangat tua. Bahan yang saya pelajari adalah puisi-puisi klasik yang setidaknya sudah berumur dua ribu tiga ratus tahun sampai tiga ribu tahun, himne, drama, heroisme, epik, definisi terhadap ketidak-beradaban, simbol, parabel, coba menyatukan berbagai kerangka pikiran, coba menyelidik gaya dan warna Cina Kuno, namun bolak-balik yang muncul di benakku adalah Dante, Shakespeare, Cicero, Aristoteles, Boccaccio, Eliot, Plato dan Yeats

Saya coba merangkai beberapa kerangka pikiran, mengarang sebuah buku, namun buku ini mesti lain daripada yang lain. Yeats pernah menulis sebuah puisi:

 

Because I seek an image, not a book

Those men that in their writing are most wise

Own nothing but their blind, stupefied hearts

I call to the mysterious one who yet

Shall walk the wet sands by the edge of the stream

( Ego Dominus Tuus )

 

Setelah salju leleh, saya bangun dari mimpi, sekelompok pipit terbang berputar di luar jendela, bercericit riuh rendah, menguasai pagiku yang setengah terjaga. Saya teringat orang-orang yang begitu serius dengan sastra sebagai tumpuan cita-cita ——— ataupun dengan cita-cita ingin membentuk kembali roh sastra, terpikir orang-orang ini di dalam hari-hari yang perlahan melemah dan muram, pada sebuah jaman yang segalanya begitu deras terlupakan, serius mengarang sebuah buku, mengejar, namun yang dikejar bukan buku, hanya beberapa citra.

 

☉立春

——— angin timur melepas beku; serangga telah keluar sarang; ikan mengibas es terapung

Sisa-sisa salju jatuh dari ujung ranting ceri hitam.

Air genangan di bawah sorotan matahari memantul berbagai bentuk awan. Kali terakhir salju meleleh, sesungguhnya musim semi sudah agak terlambat datang, tiba-tiba di saat saya masih setengah sadar akan peralihan musim, daun-daun muda yang kurang lebih sekecil pangkal jarum telah memenuhi ranting-ranting gemuk, anggun, lincah, serasi.

Dedaunan tumbuh pesat, setelah ditinggal beberapa hari, bagian ceri hitam yang menghadap ke arahku telah merentang berlapis-lapis jala hijau. Di dalam ini mungkin saja mengandung suatu isyarat atau filsafat, namun saya tidak ingin menyelidik. Di saat dedauan masih belum sepenuhnya tumbuh sempurna, ceri hitam ini seolah di ujung ranting-rantingnya telah berbunga ——— seolah saja, seolah juga belum pasti. Cuaca kadang hangat kadang dingin, kadang di belakang hujan deras menyorot cahaya matahari, dari tengah danau memanjat selengkung bianglala menakjubkan, bagai irama musik yang berlapis-lapis mendaki, bagai Appassionata Beethoven, membuat hati seketika bergetar. Getaran hati yang demikian bersahaja, kembali ke jaman Romantis yang sederhana dan jelas, di petang yang sekejap, pelangi tinggi-tinggi melampaui pucuk ceri hitam, dua ujungnya melengkung di utara dan selatan.

Kadang hujan beku, kadang cuma angin.

 

☉雨水

——— berang-berang saji ikan; angsa liar telah tiba; rumput pohon pecah kecambah

Hari itu saya berdiri di mulut jendela menjawab telepon, sudah tidak bisa ingat apa yang diutarakan lawan bicara, mungkin tentang ketulusan dan kemunafikan, hubungan-hubungan yang payah. Mata saya memandang pohon ceri hitam dan sekitarnya, sedikit bosan mengikuti pembicaraannya. Tiba-tiba di luar jendela melayang bintik-bintik putih, ringan melintas, jatuh. Saya kaget memutuskan topik bicara: [ Turun salju ——— ] Lawan bicara berkata mungkin saya terlalu lelah dan mengalami halusinasi, ini bukan cuaca buat turun salju. Salah musim. Saya tidak ingin berdebat, memusatkan perhatian pada salju tipis yang melayang jatuh, seketika tidak tahu apa yang diucapkan lawan bicara, hanya mendengar sehamparan gaung, bagai panggilan kucing tengah malam yang tidak ingin beranjak di atas atap orang. Salju tipis pelan dan ringan menari di udara, saya berpikir. Kemudian saya berpikir lagi: Tidak mungkin, ini bukan salju, ini adalah di pangkal musim semi angin sepoi meniup jatuh serpihan bunga di ujung ranting ceri hitam, begitu mungil, begitu menakjubkan, tetapi bukan salju. Saya membiarkan kawan menyelesaikan pembicaraannya, sebelum menutup telepon saya mengulang sekali lagi [ Turun salju ], sekalipun sudah bisa memastikan itu bukan salju. Di antara kenyataan dan imajinasi selalu adalah kesia-siaan, apalagi ceri hitam sedang dengan sepenuh daya melepaskan seluruh kemewahannya, terus-menerus, membiarkan seluruh kemewahannya lepas jatuh.

Ketika cahaya matahari silau menyorot, seluruh dedaunan ceri hitam telah tumbuh sempurna, kekuatan daya hidup yang demikian jelas berlapis-lapis menunjuk ke atas, rupanya memang seperti harapan saya, samasekali tidak segan, bahkan telah menyebar ke dalam udara sekeliling. Bayangnya yang hitam pekat dilempar ke atas bumi, memanjang bergerak mengikuti matahari, pelan-pelan menuju ke tengah lapangan rumput. [ Apa itu? ] Mungkin mereka akan demikian bertanya padaku, dan saya tidak pernah merasa bosan. Saya akan berkata adalah sebatang ceri hitam: gugur daun, berkecambah, tumbuh bunga, dan akan mekar penuh, menunggu musim panas tiba.

☉驚蟄

——— persik berbunga; kepodang nyanyi; elang menjelma kangkok

Mendengar seorang ekonom ceramah teori-teori dasar ekonomi. Dia dengan penuh percaya diri berujar: Semua perilaku di dunia ini dapat dijelaskan dengan ilmu ekonomi. Misalnya, kita setiap hari pergi dan pulang, hampir selalu mengambil jalan yang sama, ini adalah karena kita ingin menghindari resiko yang akan ditimbulkan oleh ketidak-tahuan kita terhadap jalan yang lain, juga modal waktu dan pikiran yang mesti kita habiskan buat menyelidik sepotong jalan baru. Tiba-tiba saya merasa tercerahkan, berkata di dalam hati, sebab itu kita perlu penyair, sebab itu kita perlu Robert Frost.

Saya sering menyesatkan diri, dalam arti yang sesungguhnya; sering memilih jalan yang tidak saya kenal, sengaja pergi memikul [ resiko ] yang paling ditakuti ahli ekonomi, atau dengan mewah memboroskan [ modal ] yang begitu mereka peduli, sebab itu saya bagai seorang hartawan, bisa menikmati kemewahan dunia, dan tidak perlu melotot neraca untung rugi. Dengan demikian kotak-kotak semen juga bisa tampak lebih bergairah, tembok-tembok tua yang digerogoti jamur juga bisa memberi keriangan sekutum bunga kecil yang menyelip di garis usianya, apalagi di tengah jalan bisa bertemu sebatang pohon yang berusia ratusan tahun, atau mendengar dari jendela tertentu mengalir keluar dentingan piano, itu tentu sebuah rezeki nomplok, dapat durian runtuh, apalagi mau berhenti sejenak, angkat kepala, memandang cahaya merah jingga di ufuk barat, itu adalah selapis keriangan yang lebih dalam, dan musim semi telah merayap di sana.

 

☉春分

——— burung layang-layang kembali; langit gemuruh; petir bersahut

Pendaki gunung kebanyakan sangat senyap. Jalan gunung sempit sekali, tidak ada kesempatan berpapasan dengan orang lain. Di dalam perjalanan yang monoton, pelan dan panjang, selangkah selangkah, memikul beban, juga demi menghemat tenaga, tidak sudi bicara.

Terakhir, hanya terdengar nafas sendiri, teratur dan berat, membuktikan diri mampu memikul beban berjalan jauh, dan perjalanan pun terus berlanjut.

Di dalam gunung, setelah lelah berjalan, bisa duduk; tas punggung yang berat dilepas, taruh di satu sisi, bagai sebongkah batu. Sendiri juga duduk di sisi lain tidak bergerak, juga bagai sebongkah batu.

Pendaki gunung selamanya tidak pernah mengejutkan gunung. Mereka seolah memang bebatuan di sini, cuma perlu melangkah pulang, cari posisi sendiri.

Keculai saya.

 

☉清明

———  poulownia merekah; tikus sawah balik sarang; bianglala tampak

 

Kau sudah lama tahu

Gunung adalah tuan sungai adalah tuan

Kau datang kau pergi

Kau adalah tamu

 

Bunga paulownia masih di ujung ranting sayap musim semi dihujan diangin

 

Kau sudah lama tahu sudah lama tahu

Angin adalah tuan hujan juga

Kau tidur kau bangun

Kau adalah tamu

 

Dibujuk angin dibisik hujan tabur sepinggang gunung

Kupu-kupu bergaris putih

Buih bintang percikan sungai di bahu jalan bukankah kau itu

Ah bunga paulownia

 

☉穀雨

——— kiambang tumbuh; kangkok mengepak sayap; burung hud hud di dahan murbei

Sampai di bawah kaki gunung Hua Shan.

Awal bulan april, musim yang aneh. Saya seolah mengikuti jejak sastra atau ingatan purba sampai di sini, tidak ingin menelusuri. Sejak Dinasti Qin dan Han, banyak sekali alusi di dalam sastra klasik yang berhubungan dengan Hua Shan. Konon di era Qin Mu Gong ( 659 SM – 621 SM ), ada seorang musikus muda bernama Xiao Shi, suka meniup seruling di atas Hua Shan. Puteri Qin Mu Gong, Nong Yu jatuh hati padanya, puteri raja ini tidak peduli ayahnya tidak setuju, melepaskan semua kemewahan, bersusah payah, mendaki gunung mencari Xiao Shi, hingga kini di atas gunung masih ada tempat mereka main musik mengundang datang burung hong: Panggung Perindu Burung Hong.

Di ujung Dinasti Tang yang penuh gejolak sosial, cendekiawan terkenal Chen Bo undur diri menetap di Hua Shan. Zhao Kuangyin setelah mendirikan Dinasti Song, ingin mengajak Chen Bo menjadi pejabatnya, Chen Bo hindar bertemu, menolak surat perintah. Di puncak selatan Hua Shan ada satu tebing curam, diberi nama: Tebing Hindar Surat Perintah.

Kalangan rakyat sangat menyukai Chen Bo, dianggap sebagai dewa, memanggilnya [ Laozhu ]. Kalangan rakyat juga percaya terakhir Zhao Kuangyin sendiri mendaki ke atas gunung, ingin memaksa Chen Bo menjadi pejabatnya. Chen Bo mengajaknya main catur, berkata: ” Kau menang, aku turun gunung menjadi pejabat, aku menang, serahkan Hua Shan kepadaku ” Sekarang di puncak timur Hua Shan ada satu tempat diberi nama [ Pavilun Taruhan Catur ], konon ini adalah tempat Chen Bo memenangkan percaturan itu. Cerita rakyat jangan ditelan bulat-bulat, namun berdiri di Pavilun Taruhan Catur memandang gunung dan sungai, sangat membuka wawasan. Zhao Kuangyin kalah taruhan, turun gunung jadi kaisar, dan Hua Shan menyimpan watak dan kebesaran hati yang tidak mampu diatur penguasa.

Saya sampai di kaki gunung, angkat kepala lihat, gunung besar tinggi menjulang, tidak tahu mesti dari mana mulai mendaki, tiba-tiba teringat Nong Yu, tidak tahu ketika dia sampai di kaki gunung, apakah seperti saya, menarik senafas udara dingin, berpikir ingin balik badan? Waktu itu tidak ada seorang pun setuju Nong Yu ke atas gunung mengejar cintanya. Saya juga teringat Chen Bo, tidak tahu buat apa dia mesti bersikeras menetap di atas gunung.

☉立夏

——— orong-orong menyerit; cacing tanah keluar; batang labu merambat

Menginap di Hancheng. Sendiri. Tengah malam bangun membaca [ Kitab Sejarah – 史記 ], terasa di dalam udara dingin bertebaran roh Sima Qian. Tanpa [ Kitab Sejarah ], tidak tahu catatan sejarah manusia akan kurang berapa kisah? akan kurang berapa tokoh? Jing Ke, Qu Yuan, Xiang Yu, Zhuo Wenjun, Yu Rang. Juga tukang cuci baju yang di saat Han Xin melarat memberi dia semangkuk nasi itu, seringkali membuat saya ketika melangkah di sisi sungai, tidak berani memandang remeh ibu-ibu tidak kukenal yang sedang mencuci baju di sana. Nelayan tua yang bertukar pikiran dengan Qu Yuan itu, juga membuat saya percaya nelayan-nelayan di kampungku pasti bersembunyi orang bijak yang pura-pura bodoh. [ Kitab Sejarah ] menulis semacam keyakinan lain di luar nilai-nilai mainstream.

Tokoh-tokoh paling menyentuh yang ditulis di dalam [ Kitab Sejarah ] hampir semuanya adalah orang-orang kalah di dalam kehidupan nyata. Di dalam syair Tanah Chu yang lantang membahana adalah nyanyian pilu kekalahan Xiang Yu yang tulus, berpisah dengan kudanya yang selalu keluar masuk medan perang bersama, berpisah dengan perempuan yang paling dicintai dalam hidupnya, dia ternyata di ujung hidup tiba-tiba menampilkan kegetiran dan kelembutan di titik temu suka dan duka, di dalam kenyataan yang kejam meninggalkan sepenggal kelembutan hati yang indah.

Pertarungan Chu dan Han, Liu Bang adalah pemenang, [ Kitab Sejarah ] menulis Liu Bang, menyunguhkan satu sudut pandang lain terhadap pemenang. [ Pasukan kuda Chu mengejar Raja Han, Raja Han panik, mendorong jatuh Xiao Hui, Lu Yuan ], Xiao Hui adalah putera pertama Liu Bang, Lu Yuan adalah puteri pertamanya. Penguasa sukses di saat  bahaya, demi menyelamatkan diri, bisa mendorong keluar anak sendiri dari kereta. Seorang pembantunya tidak tega, turun dari keretanya menyelamatkan kedua anak itu. Namun Liu Bang yang panik ingin segera keluar kepungan, kembali mendorong keluar kedua anaknya dari kereta. [ Kitab Sejarah ] berkata: Demikian berulang tiga kali. [ Kitab Sejarah ] dengan dingin menulis penguasa kehilangan sifat kemanusiaan, satu sisi gelap yang membuat kita bergidik.

Pertarungan Chu dan Han sudah berakhir. Xiang Yu kalah, Liu Bang menang. Namun penilaian sejarah belum berakhir, di bawah pena Sima Qian ada kalah dan menang yang lain.

 

☉小滿

——— sayur pahit berbiji; camelina mati; bulir gandum mulai berisi

Setelah melewati sebuah pintu rendah, terpampang di depan mata adalah sebidang dinding kayu yang sangat tua, hanya bisa dilalui satu badan saja. Namun begitu memutar langsung akan kelihatan pemandangan di balik dinding, sungguh mengejutkan.

Sebuah ruangan besar, telah duduk sekitar seratus sampai dua ratus orang. Semuanya mengitari meja-meja kecil minum anggur, suara percakapan sangat kecil, cahaya lilin bergetar di atas meja, suasananya agak misterius. Bagian dalam ruangan ada sebuah panggung, tempat pertunjukan sebuah kelompok tari keluarga.

Cahaya panggung menyala, pertunjukan telah dimulai.

Anggun melangkah keluar tiga perempuan muda, satu lembut, satu pedas, satu agak sulit dideskripsi, ketiganya amat jelita, kuduga adalah anak perempuan atau menantu keluarga ini. Mereka maju dengan khidmat, bagai baru mengikuti sebuah upacara sekolah, atau bareng mau ke gereja. Seketika, salah satu di antaranya bagai angin puyuh naik, awan buka sayap merentang, mulai menari, dua yang lain teratur mundur ke samping. Penari samasekali tidak memandang sekeliling, hanya tertunduk dengan mata sedikit mengatup, seolah sedang introspeksi diri, tetapi lengan dan badan bergerak bagai kerasukan, angin menderu petir menyilat.

Namun pada sesaat yang tak terduga pula, dia mendadak berhenti, angkat rok tegak bangau. Seharusnya ada seulas senyum tampak di wajah, tapi tidak ada, hanya dengan keheningan mengingkari segala yang baru berlalu, membuat penonton seluruh ruangan berkedip mata curiga pada diri sendiri: bagaimana mungkin perempuan yang begini lemah lembut melakukan putaran cepat.

Lelaki kurus sewajah galau, begitu masuk panggung langsung mempercepat langkah kakinya menjadi titik-titik hujan musim panas, seolah ingin kobaran dan gerah sekujur tubuhnya tertuang habis. Dia semestinya adalah anak bungsu keluarga ini, hereditas memungkinkan dia memiliki gerak langkah yang demikian kuat.

Hening. Sangat khidmat, seorang perempuan parobaya masuk panggung, dia kiranya adalah menantu sulung keluarga ini. Kelincahan dan daya pukau yang sama ketika disajikan olehnya boleh disimpulkan sebagai suci bersih, gairah yang sama padanya menjelma jadi renungan. Akhirnya dia pun tertawa, di saat dia selesai, semua penari muda tidak tampak ada yang tersenyum atau mengiyakan, hanya dia berani tertawa, namun di dalam tawanya menyimpan sindiran. Apakah dia sedang menyindir orang lain atau menyindir dirinya? Apakah sedang menyindir dunia atau sedang menyindir panggung? Tidak tahu, hanya tahu 3/4 tawanya adalah sindiran, dengan demikian panggung ini sudah tidak biasa lagi, sudah memasuki suatu kematangan yang bisa rata memandang seribu gunung.

Satu sisi panggung berdiri seorang lelaki tua gemuk, tampaknya adalah kepala keluarga, sedang memperhatikan jalannya pertunjukan. Setelah menantu sulungnya mundur, dia sendiri melangkah ke tengah panggung. Sangka akan menyampaikan sesuatu, ternyata tidak, hanya melihat dia tiba-tiba mengangkat sedikit ujung jasnya, perlahan mulai menari. Badan terlalu gemuk dan kaku, sulit berputar cepat, namun dia memiliki sejurus daya, sudah mengental demikian tebal, ditunjukkan sedikit saja sudah bisa merasakan gerakan tangan dan kakinya yang demikian menguras, namun samasekali tidak tergesa, pelan-pelan memutar keluar daya pukau jantan, humor lelaki tua. Penari yang paling tidak mirip penari ini diletakkan di mana juga bisa, usia membuat semua gerak-geriknya menjadi sulap klasik kehidupan.

Puncak sensasi adalah ketika seorang perempuan tua masuk panggung, seluruh penari dengan hormat berdiri di tepi panggung menatapnya, termasuk lelaki tua itu, suaminya. Bahkan beberapa pekerja belakang panggung juga buru-buru ikut berdiri di satu sudut panggung, begitu lihat sudah tahu ini adalah prosesi terpenting keluarga ini. Segala gerak tari di atas panggung yang baru ditampilkan tadi adalah setetes setetes diturunkan oleh perempuan tua ini, sekarang sang maestro tampil, seluruh ruangan hening. Pada wajah perempuan tua ini, tidak ada ketenangan anak perempuannya, tidak ada kegalauan anak lelakinya, tidak ada kesinisan menantu sulungnya, juga tidak ada humor lelaki tua itu, dia hanya sedikit mengernyitkan alis dan samasekali tidak ada ekspresi, segala macam ekspresi akan menjadi terlalu lumrah baginya, setiap gerak-geriknya adalah gerakan klasik yang setiap hari mereka hadapi, namun juga seolah selamanya tidak terjangkau.

Di samping ada orang berkata: Di seluruh Spanyol sudah sedikit yang mampu seperti dia, tubuh bagian bawah demikian dashyat bergetar menari dan tubuh bagian atas bisa samasekali tidak bergerak.

Akhirnya perempuan tua selesai menari, di dalam suara tepuk tangan, mereka sekeluarga masuk ke dalam suatu kondisi pukau tari, untuk mengakhiri pertunjukan malam ini. Tetapi anehnya adalah para penari seperti tidak memiliki ikatan gerak atau saling memberi sedikit isyarat atau sapaan, juga tidak peduli penonton di bawah panggung, masing-masing seolah masuk ke dalam suasana kosong, sebab itu tidak menemukan keriangan, kegenitan, rasa terima kasih dan perpisahan yang terduga. Hanya ada keangkuhan yang membakar, kesepian yang mengalir, kelincahan yang gelisah.

Sampai di sini penonton sudah tidak merasa ini adalah sebuah pertunjukan tari keluarga di malam buta di sepotong lorong yang tersembunyi, hanya merasa kedip cahaya lilin sepenuh ruangan, telah berubah menjadi sinar matahari Andalusia.

☉芒種

——— belalang lahir; burung cendet bersiul; mockingbird senyap

Tiba di kotamu hari sudah petang. Masuk penginapan, istirahat sejenak. Sebelum langit benar-benar gelap bangun memandang keluar jendela. Bukit belakang ada sehamparan pepohonan berbunga putih, kiranya adalah pohon minyak tung, dipandang dari jauh, hamparan bukit sudah memutih, bagai salju. Saya ingat bunga tung adalah kesukaanmu.

Pagi itu kamu mengajakku pergi bersama melihat bunga tung. Sebuah pagi yang basah, baru diguyur hujan semalaman, di setapak bertaburan bunga-bunga gugur. Kita berjalan di antara pepohonan, bunga-bunga merekah di ujung ranting, sekelompok-sekelompok seolah disanjung dedauanan hijau selebar telapak tangan. Bentuk bunga samar-samar, justru di antara daun dan bunga menebar selapis cahaya matahari, di dalam cahaya melayang gemulai serpihan bunga gugur, persis salju jatuh berputar di udara. Juga menyerupai berpuluh ribu kupu-kupu, menari sepenuh langit; di tengah udara naik turun merenggang merapat, lalu bersama-sama melayang jatuh, jatuh di wajah orang-orang yang menengadah, di kepala, di badan, juga jatuh di atas tanah, di setapak, penuh bertabur bunga-bunga seputih salju.

Saya menyambut sekuntum yang melayang jatuh di depanku, seksama memperhatikan bentuk bunga. Mahkota bunga lima helai, putih bening, kuncup sangat kecil, di tengah-tengah bunga ada satu titik merah muda, apakah agar lebah lebih mudah datang melakukan penyerbukan?

Kamu berkata: Yang jatuh adalah bunga jantan, bunga betina tetap di atas pohon, mesti menjadi buah.

Bunga betina mesti menjadi buah, dengan tegar tetap berada di atas pohon; bunga jantan setelah selesai kawin, satu persatu melayang jatuh. Hidup telah rampung, pisah ranting pisah daun, sesungguhnya tidak terlalu menyedihkan.

Di telapak tanganku ada sekuntum bunga gugur, mahkota lima helai, ditopang sebuah kelopak kecil, mungkin bunga yang jatuh atau tetap di atas pohon adalah menggunakan cara berbeda merampungkan diri, pengetahuan kita sangat terbatas, sering menderita ketakutan dan kesedihan yang tidak perlu.

2 tanggapan untuk “24 Posisi Matahari (1)”

Beri Tanggapan