jo artwork

Kekasihku Pulang

Fiksi Kilat V. Fajar A.

jo artwork
gambar diunduh dari jo artwork 2010

Semua serasa tak beres di pagi menjelang kaupergi. Awan-awan hitam bergulung-gulung datang, angin dingin menusuk tulang membuatku menggigil ngilu saat membuka jendela yang kacanya masih buram tertutup embun dan percik air sisa hujan semalam. Aroma kopi hitam yang kuseduh tanpa gula memenuhi ruang makan sempit tempat kita berdua beradu pandang dalam diam yang menggelisahkan.

Kutahu kau ingin bicara, dengan serak suara tersisa, karena semalam tak kunjung henti menahan isak, hingga fajar menjemput dan memaksamu menghadapi hari dengan berat hati. Sebab kakimu akan melangkah amat jauh, menjemput entah apa yang lama bersemayam dalam pikiran sejak dulu. Lalu keheningan jadi kawan sepanjang jalan, hingga burung besi mengangkasa membawa separuh jiwaku turut serta.

Sendiri. Untuk kali ini, aku masih bisa terima, sambil diam-diam berhitung seiring hembusan nafas masygul kehilanganmu. Kutunggu, berapa lama pun itu.

—ooo—

Waktu jadi lambat. Dunia berputar di situ-situ saja. Mungkin cuma aku, sebab susah payah mengingkari betapa diri merana bila sendiri.

Tapi tak dinyana ternyata semua tak berjalan begitu lama. Tiba-tiba surat cinta dan kata manis jadi hambar tak berasa. Cerita-cerita menguap dalam ruang dan waktu yang tersia-sia. Terlampau banyak yang bisa dikerjakan tinimbang muram menunggumu datang. Pelan-pelan aku berdamai dengan sepi. Sendiri itu nikmat sekali.

—ooo—

Sudah empat kali putaran musim datang dan pergi. Ada yang tak beres di hari kaukembali. Hari begitu hangat di senja yang merona jingga. Degup jantungku berlomba dalam irama yang tak biasa. Bukankah rindu telah lama kusimpan dalam-dalam? Terkubur dalam jiwa yang kerontang tanpa pernah kusapa. Mungkin kali ini saatnya ia hadir menemukan muara.

Suara itu, langkah ringan yang mendekat, lembut sapa lewat tatapan mata penuh rasa. Entah apa. Sebab, aku hanya bisa terpaku, seperti dulu-dulu juga. Hadirku hanya buat menanti, kaupergi, kaukembali.

Senyum mengembang di wajahmu yang anggun. Kutahu, kau ingin menghambur dalam pelukku. Mendengar suaraku bergetar menyebut namamu, bukan seperti dalam surat-surat cinta itu.

Namun entahlah, apa bisa? Saat kupandangi wajahmu begitu rupa. Kucari-cari warna koral teduh matamu yang kerap kuingat dalam lamunan. Dia tak di sana. Kau tak di sana. Maafkan, tapi telah kulupa warna matamu

Isakan itu. Dua tetes meluncur di lembut pipimu. Mungkin kini kau tersadar, betapa mahal harga menunggu.

Adelaide, 19 Desember 2012

–Saat aku lupa arti merindu-

Beri Tanggapan